Sebelum Seorang Insurgen Terbunuh



Malam masih sangat muda. Di beberapa bagian langit, terlihat sisa berkas-berkas cahaya yang belum redup. Bulan seperti sedang antri menunggu waktu untuk memamerkan diri. Sementara di pinggir salah satu ruas jalan, terlihat seseorang menghisap rokok dalam-dalam.

Matanya tak memandang ke depan. Kedua bola mata yang hitam itu justru melekat pada ujung rokok yang sedang membara terbakar sedikit demi sedikit seiring tarikan nafasnya. Namun sejenak sepasang mata itu berhenti dan menjadi liar dengan pandangan yang menghambur ke sekitar ketika asap putih keluar dari mulut dan hidungnya.
 
Merokok saat ini, adalah momen paling indah dalam rentang lima menit kehidupan yang baru saja berlalu. Cukup sabar menanti rokok itu membakar dirinya sendiri hingga separuh sebelum kemudian berpindah dalam cumbu lekat bibirnya.


Penantian selalu punya bunyi lain ketika bertabrakan dengan ingatan. Nuansa yang punya warna khas karena memang setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Tiap hasrat memiliki rute terbang yang tak mungkin sepola. Jika kemudian terjadi sentuhan dengan individu yang lain, biarlah semua terjadi secara alamiah tanpa harus dipandu oleh seperangkat aturan yang akan menegasikan keindahan dari pertemuan.
 
Dia percaya dengan hal itu hari ini. Seperti kepulan asap yang malu-malu keluar dari mulut dan hidungnya yang kemudian terbang melenyap tak beraturan ke mana saja tanpa harus ditentukan kapan dan di mana.
Kepercayaan itu pula yang membuatnya tak kaget ketika kemudian dari balik topeng yang melekat menutupi wajah, terpotret ledakan emosi yang benar-benar tak terkontrol dari orang-orang yang selama ini seperti bisu. Letupan maha dahsyat dari sebuah rasa muak dan kebosanan yang telah menjangkiti secara kronis hidup seorang individu.

Kemarahan akan rasa kalah selama sepanjang hidup yang berbalik menjadi vitamin penambah tenaga hingga mampu menggerakkan ribuan pasang kaki untuk menopang setiap pertempuran di jalan-jalan. Sanggup memberi stamina kepada tangan-tangan untuk melemparkan batu dan mulai menyalakan api untuk memberi tanda bahwa karnaval perebutan hidup sedang dimulai.
Hampir tiga bulan sudah berlalu. Atau mungkin lebih tepatnya, dua bulan dengan dua puluh dua hari yang penuh kenikmatan. Sejak pidato kenegaraan oleh presiden yang menyatakan bahwa negara tak akan membayar semua uang para nasabah yang lenyap di bank-bank akibat resesi ekonomi. Pidato ini disambut dengan ratusan demonstrasi di berbagai tempat. Tak terhitung orang-orang yang turun dengan emosi yang sedang menukik mencapai titik depresi.
Hingga kemudian terjadi penyerangan secara brutal oleh polisi pada salah satu aksi di kota G. Sebuah aksi yang menyulut kemarahan dalam bentuk serangan balik oleh mereka yang sudah bosan untuk terus ditundukkan. Mereka yang memilih untuk menukar kedangkalan hidup dan mempersenjatai imajinasinya. Sebuah serangan balik.

Tindakan yang hampir serupa juga secara alamiah muncul di berbagai tempat di republik dimana banyak hidup terpenjara selama lebih dari dua puluh enam tahun kediktatoran ini. Rasa lapar dan rasa takut seperti mendapatkan kanvas untuk dimanifestasikan lebih menjadi sebuah aksi langsung. Kemuakan bersenggama dengan keberanian dan berubah tanpa bisa didefinisikan dalam bahasa teori.
 
Metamorfosis baru akibat wajah kekerasan yang selama ini telah mendidik manusia menjadi mesin tak bernyawa. Trauma akan setiap teror negara di hidup tiap individu berbalik menjadi sebuah rembesan nyala api yang belum padam hingga saat ini. Setidaknya masih ada pos pertahanan ini yang jadi saksi, di batas kota yang dulu tak pernah sepi.
 
Mungkinkah hanya dalam sekejap berubah dari seorang proletar menjadi seorang manusia bebas yang dengan penuh semangat memungut batu dan melemparkannya ke semua monumen pemasungan hasrat? Ataukah ini sesuatu yang telah direncanakan, seperti biasanya?
 
Mengapa tiba-tiba terasa dalam dirinya seperti ada kepuasan yang lepas seiring terbangnya batu-batu dan botol-botol molotov ke sasaran tembak? Bahkan untuk yang pertama kalinya, terasa ada sensasi kepuasan yang tak mampu didefinisikan lewat aksara. Ada senyum.
 
Ingatan yang kembali pulang berjalan tak seirama dengan matanya yang terus saja mengawasi sekitar. Detak jantung ikut berpacu saling mendahului dengan rembesan api di tubuh rokok yang terus dikecup. Meski tak sendiri, tapi kebekuan terlanjur mencintainya semenjak pagi tadi. Mengganggu asa tidur hingga siang hari untuk kedua kali.
 
Mengapa terlintas kebingungan ketika putaran matanya membentur semua rongsokan yang kini menjadi latar masa lalu? Apakah ia sebenarnya mencintai reruntuhan itu? Apakah memang telah dirinya diserahkan untuk selamanya mengabdi pada kepalsuan tersebut? Mengapa keceriaan pertempuran itu kini seakan menguap? Mungkinkah para aktifis itu benar? Bahwa mereka telah melampaui batas?
 
Namun, bukankah batas-batas itu yang telah memenjarakannya hingga tak utuh? Kehilangan gairah hingga terjebak pada rutinitas. Repetisi yang kemarin sudah ia ludahi. Tak mau lagi memang kembali ke titik itu. Terlalu naif dan ironis mengingat melompati pagar telah mengajari ia menempuh resiko yang lebih dari sekedarnya.

Hampir seminggu terjebak dalam sangka dan tanda tanya. Kapan giliran kota ini jatuh? Kapan ia dan orang-orang bertopeng di sekitarnya menemui terali-terali penjara? Akankah dari atas langit jatuh sebuah bom di tengah-tengah pos pertahanan sederhana yang telah berubah menjadi rumah paling nyaman untuk berbagi dan memiliki rasa cinta? Inilah masa di mana ada kesempatan untuk belajar mengenali detik demi detik.
 
Dua minggu yang lalu, keluar sebuah pernyataan sikap tak sederhana dari gedung pemerintahan yang kini di kuasai oleh para aktivis partai Komunis yang baru saja berkuasa. Ultimatum tepatnya. Sebuah pesan berisikan perintah tegas kepada mereka yang masih bertahan di tiap titik-titik kehidupan dan mempertahankan otonomi mereka selama lebih dari dua bulan.
 
Waktu yang terasa amat panjang bagi para penguasa baru itu. Meski bagi semua orang bertopeng yang tetap bertahan di pos ini, waktu itu tak setimpal dengan seumur hidup yang memangkas tiap sayap yang berusaha tumbuh di punggung imajinasi mereka. Itu tawaran sensasi rasa untuk terbang dan menjadi apapun yang selama ini tertunda karena harus bekerja dan mengejar nominal uang.
 
Tengat waktu ultimatum itu telah habis jauh-jauh hari. Kini tak ada jalan kembali. Hanya tujuh puluh dua jam yang disediakan sebagai waktu rehabilitasi untuk kembali duduk dalam penjara masyarakat dan memikul kembali tanggung jawab sebagai budak sebuah siklus ekonomi tak berpangkal. Entah dibagian mana dulu ia berada. Waktuwaktu penuh keliaran telah mengikis ingatan suram tentang kemarin dan menggantikannya dengan harapan untuk mempertahankan hari ini demi esok.
 
Hanya satu hal yang pasti, kemarin ia bukanlah berada di tingkat paling atas. Dan jelas, adalah bodoh kembali menyerahkan nafas kebebasannya ke dalam kotak-kotak pemilu untuk memilih presiden yang baru. Tepat sesuai apa yang dianjurkan oleh pemerintahan sementara hari ini. Sekelompok penguasa yang menelikung jalan terjal perang hidup mati.
 
Ini perang antara pilihan, tetap menjadi mesin atau bergerak sebagai manusia seutuhnya. Sebuah anjuran yang disertai dengan teror yang tak jauh lebih baik dari para penguasa sebelumnya.
 
Masih segar di ingatan bagaimana tampilan sebuah siaran berita dari satu-satunya stasiun TV yang masih di izinkan beroperasi di negara ini pasca kemenangan sesaat para individu sejenisnya. Sketsa gambar tentang kekerasan yang dilakukan oleh polisipolisi dan para milisi pendukung pemerintahan yang baru di daerah-daerah terhadap kelompok-kelompok atau individu-individu yang masih bersikukuh mempertahankan haknya untuk memerintah diri sendiri. Gambar yang sengaja disiarkan sebagai bagian dari taktik perang psikologis yang dilancarkan oleh penguasa.
 
Saat ini di ibukota, kotak-kotak pemilu sudah selesai diproduksi untuk menyongsong pesta perpindahan kekuasaan dari tiran sebelumnya kepada tiran yang baru. Pesta besar di mana semua yang masih bertahan di pos pertahanan sederhana di batas kota ini tahu, bahwa mereka diundang hanya untuk menyerahkan kebebasannya lalu kembali pulang ke rumah dan bersiap menanti esok sebagai budak. Sebagai budak yang harus menggadaikan tenaga, waktu, pikiran dan mimpinya untuk utopi kesejahteraan bersama yang tak akan kunjung terwujud.
 
Tapi itu pilihan yang tak mungkin lagi diambil secara sadar. Tak ada lagi ketertundukkan untuk menyerahkan diri lalu hidup dalam teror rasa takut dan rasa lapar berkepanjangan. Itu sebabnya mengapa hingga sore ini, banyak yang memilih tetap mengenakan topeng di wajahnya.
 
Termasuk sepasang mata dan hidungnya yang dibiarkan terpanggang matahari seharian tadi, sementara bibirnya tepat menghisap dalam-dalam rokok yang semakin dekat dengan ajal. Inilah identitasnya kini. Tanpa mimik dan ekspresi hidup sebelum hidup yang sebenar-sebenarnya berhasil direbut.
 
Mungkin saja tak pernah ia kenal baik dengan wajah-wajah yang sama tersembunyi di balik topeng-topeng wol itu. Tapi entah mengapa, bahwa hati mereka bertaut. Sebuah ikatan yang tak bisa digambarkan dalam hidup kemarin yang penuh dendam dan permusuhan karena kompetisi.

Di balik anonimitas ini, ada terasa sentuhan tulus dan nuansa kekeluargaan yang bahkan sepanjang umurnya tak pernah ia temui di keluarganya sendiri. Berbagi banyak hal dan banyak benda atas dasar pengertian tanpa perlu harus mempermasalahkan apa kita saling mengenal atau apakah kita punya pertalian darah.

Sebatang rokok ini adalah saksi yang tak mungkin berbohong kalau dipaksa bicara. Didapatkan dari seseorang bertopeng yang entah siapa. Itu tak masalah. Hanya perlu mengungkapkan bahwa ia juga ingin merokok. Semuanya sangat sederhana dan tak berliku-liku seperti kerumitan-kerumitan birokrasi saat harus membayar pajak dan tak boleh tahu kemana uangmu menguap. Apakah untuk kebutuhanmu atau untuk kantongkantong pejabat yang sibuk menumpuk lemak di perutnya.

Hal-hal konyol dan sederhana inilah yang sebenarnya membuat ketetapan hati kemudian mengeras seperti batu. Bukan seperti propaganda pemerintah bahwa semua dari mereka yang hingga kini masih tetap bersikeras menggunakan topengnya adalah sekelompok ekstrimis yang berada dalam sebuah bendera ideologi tertentu.
 
Tidak sama sekali. Propaganda itu hanya sebuah bentuk kebuntuan dan ketidakmampuan dari setiap penguasa untuk melihat lebih jauh lagi alasan-alasan mengapa mereka mengambil sikap bahkan yang sampai berseberangan secara tegas seperti sekarang ini.

Bukan soal propaganda ideologi atau keinginan berkuasa yang gagal, melainkan lebih mudah. Keinginan untuk mendapatkan ruang berbagi selamanya. Tidak hanya sebulan atau setahun. Tidak cukup juga jika hanya sepuluh atau dua puluh tahun. Orang-orang bertopeng ini ingin selamanya. Seumur sisa hidup mereka. Meski itu disadari tak akan pernah cukup untuk mengganti hari-hari sebelumnya yang menjadikan mereka sebagai pencundang.

Namun akan terasa jauh lebih baik jika setidaknya telah dimanifestasikan gelora perebutan hidup. Minimal ketika terbuka kesempatan untuk merdeka, tak ada kesiasiaan di situ. Terlalu bodoh menjadi pengecut jika dihadapkan pada tiadanya pilihan untuk bertahan hidup. Para penindas tak layak dapat sumbu kesabaran.

Satu lepasan nafas membumbungkan asap rokok ke langit yang masih gelap. Sebentar lagi, malam akan tua dan pikun. Ini berarti tak mungkin ada kisah yang diceritakannya kepada besok. Tapi jika ada prasasti sikap yang ditinggalkan, pasti waktu akan mendongengkan itu kepada masa depan. Sekalipun itu adalah babad dari mereka yang kalah.

Senjata rampasan di pelukan kini terasa semakin hangat. Ia memacu adrenalin bertabrakan kembali dengan dogma masa lalu. Bahwa hanya mereka yang direstui oleh penguasa berhak memegang alat pembunuh ini. Karena memang, penguasa yang berhak mencabut kehidupan setiap orang. Suka atau tidak suka.

Hirarki adalah pesugihan haus nyawa yang mesti mendapatkan sesajen setiap saat. Tak soal apakah sudah cukup atau belum. Karena takkan pernah ada ambang batas bagi mereka untuk terus mengambil keuntungan dan menumpuknya. Tentu untuk mereka sendiri. Para budak adalah yang harus mengumpulkannya untuk mereka.

Itu mengapa kemudian disadari bahwa tak akan pernah ada pensiun yang sejati ketika hidup hanya mengabdi pada kerja. Tak akan pernah kesejahteraan itu terengkuh karena kita selalu dibayar kurang dan akan semakin kurang setiap saat. Di titik kritis seperti itulah kita dipaksa berada. Dan ini bukan takdir. Sama sekali bukan.

Dan senjata yang kini besi-besinya terasa dingin oleh angin, tak digunakan untuk membunuh. Ia berada di sini karena hidup terlalu indah untuk diserahkan ke tangan orang-orang yang khianat. Hanya sebagai benteng untuk menegaskan artian kelanjutan nafas tak akan mudah takluk. Ini perisai yang oleh keadaan terpaksa digunakan. Karena bila kedamaian itu tiba, senjata ini akan terkubur dalam tanah. Sebagai bangkai peringatan pernah ada masyarakat yang mengajarkan saling memangsa sebagai kewajaran.

Itulah mengapa perjuangan individu-individu bertopeng wol di pos sederhana ini telah melangkah lebih jauh dari sekedarnya. Bukan lagi seremeh aksi demonstrasi konvensional yang meski gagal, terus dipraktekkan karena ceroboh menganggap negara dan kapitalisme bisa direformasi. Terlalu luhur adalah sarkasme untuk mereka yang menutupi bangkai keinginan berkuasa mereka atas nama tuntutan demokrasi. Itulah mengapa, tetap bersikukuh para jahanam itu memproduksi lembar surat suara untuk pemilu nanti.

Lalu satu tarikan yang memercik bara di ujung rokok, lari dikejar hembusan asap dari mulut dan hidung. Terasa lelah seluruh tubuhnya dan tak bisa diingkari ada bosan yang terselip di situ. Kebosanan menunggu dan diharuskan membuka mata menyongsong musuh yang pasti datang mengekspansi kemerdekaan yang masih muda ini. Tapi tak mengapa, karena memang semua soal kebebasan jadi hal yang tak mudah. Tak segampang retorika yang keluar dari mulut politisi di panggung-panggung politik. 

Sementara itu, deru angin malam begitu angkuh bawa selongsong peluru menembus jarak. Membelah kulit, meretas tulang tengkorak kepala dan memotong aliran darah. Ia terkapar jatuh dengan jidat berisi peluru dan rokok yang belum selesai dicium.

Perang telah dimulai.

0 komentar:

Posting Komentar