I
Teknik dan perkakas lahir bersama Homo Sapiens
beberapa ratus ribu tahun lalu. Mana yang lebih dahulu, sulit
dipastikan: apakah Homo Sapiens ataukah perkakas. Teka-tekinya persis
seperti teka-teki ayam dan telur. Yang agak pasti, bersama keduanya Homo
Sapiens mengatasi alam dan membabarkan lakon kekuasaan manusia yang
progresif. Sejak Homo Ergaster menemukan kapak batu sederhana,
pemberontakan mahluk lemah yang cerdas ini terhadap alam tidak pernah
bisa dihentikan. Bahkan oleh manusia itu sendiri. Seperti membuka Kotak
Pandora, sekali terbuka maka pelampauan alam lewat teknik dan perkakas
akan terus berlangsung selama manusia ada.
Dalam kehidupan
pasca-Neanderthal, teknik dan perkakas berada di titik paling penting
evolusi kebudayaan. Sebab mereka melakoni peran dialektis dan paradoks:
merekalah anak sekaligus ibu kebudayaan; merekalah ayam sekaligus telur.
Mereka juga Brahma sekaligus Siwa kebudayaan yang mencipta sekaligus
menghancurkan. Teknik domestifikasi gandum dan domba menghasilkan
Babilonia. Senjata dan teknologi perang menghasilkan keruntuhannya.
Seperti nubuat Nietzsche tentang perulangan segala sesuatu secara abadi,
di banyak titik kebangunan dan kejatuhan peradaban, teknologi selalu
memainkan peran penting, bila bukan yang utama.
Bagi
sebagian pemikir, seperti Jacques Ellul (1964) atau Herbert Marcuse
(1964), upaya menghentikan laju perkembangan teknologi yang kian cepat
dan makin kuat di dalam masyarakat kapitalis ini setengahnya berisi
kesiasiaan dan setengah lainnya kesombongan. Teknologi tumbuh sendiri
melampaui pengendalian manusia. Tidak ada yang tidak bisa dilampaui
teknologi. Tidak pula ada yang bisa menghentikan gerak laju dan
mengarahkan sasarannya. Dia akan mendobrak segala dinding penghenti,
melindas palang penghalang, melaju ke mana pun roda bergulir. Teknologi
adalah kereta Jugernaut yang di atasnya globalisasi kapitalisme
neoliberal menjamahi tiap inci muka bumi mengeruk semua yang
memungkinkan akumulasi dan ekspansi kapital di delapan penjuru mata
angin.
Dua dimensi keberadaan paling purba, yang di masa
lalu ditakuti dan dipuja sebagai dewa karena kemisterian dan
keagungannya, yakni ruang dan waktu, dipampatkan terus-menerus oleh
teknologi. Tak ada lagi misteri dalam ruang dan waktu. Roda, hewan
helaan, kapal layar, hingga Internet membongkarnya lalu mengangkut
hal-hal terpenting bagi peradaban ke sudut mana pun di dunia dengan
menyisihkan kian banyak penghalang alamiah. Sampai saat ini hampir tidak
ada wilayah yang belum dijelajahi manusia. Kekaguman kita kepada para
penakluk (semua orang Barat yang dianggap sebagai pelopor dalam
penelusuran ruang seperti titik tertinggi, wilayah terjauh, daerah
paling dingin, tempat paling… dsb., selalu saja menjadi bagian dari
daftar orang penting sejarah) seolah-olah tampilan hasrat purba manusia
untuk meniadakan sekat-sekat kehidupan dan menciptakan surga di bumi
secepatnya. Manusia modern pun memberi nama setiap perubahan besar dalam
teknik dan perkakas sebagai revolusi.
Gerak penghapusan
sekat-sekat alamiah yang membatasi ruang dan waktu melaju kian cepat
ketika roh kapitalisme menyadari hakikat dirinya. Pada mulanya ribuan
kapal layar mengobrak-abrik batas-batas ruang mitologis dan menemukan
sumber-sumber kekayaan baru di balik lautan. Ketika James Watt dan para
ilmuwan borjuis bahu-membahu berhasil meledakkan api revolusi
permesinan, sekat-sekat fisik dan mitologis ruang-waktu robek seketika.
Hasrat akan bahan baku massal untuk memenuhi kerakusan sistem produksi
baru, tidak rela didustai gereja yang menghalangi perburuan kemakmuran
cara baru; cara kapitalis.
Teknologi modern terus
berkembang bersama tumbuh dewasanya kapitalisme. Seretan langkahnya
ternyata mendepak banyak orang. Golongan yang tersingkir karena
perkembangan teknologi berupaya menghentikan kezaliman teknik dengan
menghancurkannya. Merekalah Luddite dan anak keturunannya yang mencoba
menghentikan gerak perkembangan teknologi. Seperti semua upaya yang
hendak membatasi atau memadamkan gerak sejarah, para Luddite tidak
pernah berhasil. Hampir-hampir seperti kehendak Ilahi, perkembangan
teknologi tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ia akan maju dan terus maju
sampai tidak ada lagi manusia yang menyaksikannya.
Bila
teknologi terus-menerus berkembang dengan kekuatan yang melampaui daya
kendali manusia sendiri, dari mana dia mendapatkan daya luar biasa besar
untuk berkembang itu? Mulanya di dalam masyarakat primitif tentu saja
dari dorongan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang sudah jatuh dari
surga dan harus mengerahkan daya untuk bertahan hidup di tengah
lingungannya. Namun, di dalam formasi sosial kapitalisme tampaknya bukan
dorongan asali ini yang menggerakkan perkembangan teknologi karena
kapitalisme bukan ekonomi-untuk–hidup, tetapi ekonomi-demi-laba. Ciri
mendasar kapitalisme adalah akumulasi dan ekspansi kapital. Di bawah
tuntunan rasionalitas akumulasi kapital, teknik dan perkakas produksi
berkembang terus-menerus. Sebagai kekuatan produktif paling pokok di
mata kapital, teknik dan perkakas didudukkan sebagai Marduk, dewa
penguasa kehidupan dan kekuatan. Kapitalisme tidak hanya membangun
kuil-kuil pemujaan mereka di universitas-universitas dan lembaga
penelitian teknologi. Kapitalisme juga telah memberinya ruh sehingga ia
hidup dan akhirnya melampaui kendali manusia. Jacques Ellul, misalnya,
mewartakan satu norma utama dalam nalar teknologi kapitalis, yakni
efisiensi. Dominasi kapital atas kehidupan hanya dimungkinkan dengan
menganut efisiensi sebagai dogma. Setiap penolakan terhadap
teknik-teknik baru akan dihakimi sebagai tindakan yang jahat secara
ekonomi (Ellul 1964, 110).
Dalam amatan Ellul, teknik
telah menjadi otonom di manapun. Teknik melampaui kendali orang per
orang bahkan melampaui teknokrat yang kuat sekalipun. Malahan kekuatan
teknokrat menjadi budak dari nalar teknik yang menguasai kehidupan. Di
dalam percaturan wacana dasawarsa 1990-an di Indonesia sendiri kita
mengenal istilah teknokrasi yang biasanya diartikan penguasaan manusia
oleh teknologi dan penataan kehidupan sosial di dalam kerangka dan demi
teknologi. Fuad Hasan (2001, 42) bahkan berani menyimpulkan bahwa
teknokrasi juga soal “kecenderungan glorifikasi terhadap teknologi”
dalam masyarakat kontemporer.
II
Di salah satu bagian dalam Grundrisse,
Karl Marx mengulas persoalan yang tidak pernah diulasnya di semua karya
lainnya, yakni kemungkinan munculnya otomatisasi permesinan di masa
depan (lihat Marx 1973, 692-5). Menurut Marx, otomatisasi adalah
kelanjutan logis perkembangan permesinan dalam kapitalisme industri.
Ketika teknik dan perkakas ialah kekuatan produktif untuk produksi
kapital, maka peningkatan dayanya merupakan prasyarat bagi akumulasi dan
ekspansi kapital lebih lanjut. Ketika teknologi sudah sedemikian
‘kurang produktif’-nya untuk memenuhi kebutuhan akan akumulasi dan
ekspansi kapital, maka revolusi permesinan akhirnya akan mencapai tahap
otomatisasi, yaitu ketika mesin-mesin sudah bukan sekadar alat atau
kepanjangan tangan tenaga manusia (atau hewan) tetapi penggantinya. Pada
saat itu tenaga kerja manusia bisa digantikan sepenuhnya atau
disingkirkan ke pinggir segala kegiatan oleh mesin.
Pada
mulanya teknik dan perkakas memang alat bantu untuk mempercepat atau
memperkuat tenaga manusia. Teknik dan perkakas tersebut hanya akan
bekerja bersama dan di bawah kendali manusia. Artinya, di dalam kegiatan
produksi manusia masih merupakan pusat orientasi. Manusia berperan
penting baik dalam operasi maupun kendali perkakas kerja sehingga hasil
kerja masih merupakan hasil kerja manusia. Dengan masuknya tahap
otomatisasi, produksi bisa tetap berlangsung tanpa dan lepas dari
kendali manusia. Kegiatan produksi bisa menjadi kegiatan tanpa jeda.
Dalam otomatisasi, mesin bukan lagi sekadar perkakas kerja yang membantu
meningkatkan kemampuan alamiah tenaga manusia, tetapi menjadi suatu
rangkaian sistemik mesin-mesin yang disatukan dalam satu kesatuan utuh
dan digerakkan kekuatan serta daya kendali sendiri. Dengan otomatisasi,
kendali dijalankan sistem elektronika yang mempunyai mekanisme swalayan.
Menurut Marx, otomatisasi pertama-tama akan menyebabkan kian banyaknya
pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan pekerja. Sumbangsihnya pada
siklus over-production dan under-consumption formasi
sosial kapitalis ialah mempercepat dan memperhebatnya. Akibatnya siklus
krisis dalam kapitalisme akan kian kerap dan dalam.
Kesuksesan
penerapan otomatisasi, menurut Marx, akan berdampak juga pada munculnya
sejumlah kecil pekerjaan baru yang memerlukan keterampilan teknis
berbeda (biasanya lebih tinggi dan memerlukan tingkat pendidikan lebih
tinggi pula) beserta pengetahuan dalam hal rancangan, analisis sistem,
pemrograman, rekayasa, dan pemeliharaan piranti. Akibatnya, pekerja
tak-terampil akan tersingkir dari kegiatan produksi. Pekerja yang
menganggur melorot ke lapisan paling bawah dalam tatanan kapitalis,
yaitu sekadar cadangan tenaga kerja yang lapisannya membengkak ketika
krisis kapitalisme terjadi dan mudah diperoleh bila sewaktu-waktu
dibutuhkan untuk penghisapan demi laba sebesar-besarnya. Artinya,
otomatisasi menata ulang kehidupan sosial. Tatanan sosial dengan segenap
ideologinya yang baru akan menggeser tatanan dan ideologi lama yang
tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi.
Amatan
Herbert Marcuse atas perkembangan teknologi di dalam kapitalisme tingkat
lanjut berujung pada kesimpulan bahwa ideologi dan tatanan sosial baru
sedang bertumbuh. Ideologi itu ialah teknologi. Rasionalitas teknologi
meresapi semua sendi kehidupan. Sistem teknologi itu totaliter, kata
Marcuse. Ia mencakup dan berada di mana pun. Manipulasi media, penyapuan
pilihan lewat rekayasa opini publik, dan permainan kekuasaan lewat
bahasa berujung pada bentuk dominasi baru yang sulit disadari atau
dikoreksi karena ia secara bebas diterima oleh individu yang tak sanggup
lagi melihat tatanan totaliter dalam kebudayaan kapitalis kontemporer
(lihat Marcuse 1964; bandingkan Hasan 2001). Dalam tatanan baru ini
manusia seperti batu-batu yang ditatah seragam hanya berdimensi satu
secara massal. Teknologi informasi, terutama dalam wujud media massa,
tiada lain adalah perkakas penciptaan hiburan-hiburan penabir kenyataan,
produsen manipulasi, dan alat indoktrinasi yang sah dalam masyarakat
kapitalis. Dengan gempuran informasi yang nyaris tidak terbatas dan
berlangsung dalam kecepatan tinggi secara serentak, maka mustahil
mencegah kecenderungan menggejalanya pola baru perilaku manusia.
Pandangan
Marx tentang otomatisasi yang di jamannya sendiri belum muncul tetapi
sudah menjadi kenyataan teknologis sekarang ini dan kesimpulan Marcuse
tentang teknologi mewartakan satu hal yang sama: masa depan manusia
begitu suram. Gejala yang belum terbayang Marx saat itu ialah perubahan
drastis corak perekonomian global yang bergeser dari ekonomi riil ke
ekonomi maya. Pergeseran ini dimungkinkan oleh perkembangan teknologi
informatika yang kecepatannya jelas melebihi kecepatan perkembangan
kapal uap.
Kapitalis purba semacam VOC harus mengangkut
berton-ton kapital dari Negeri Belanda ke Batavia dengan kapal-kapalnya.
Satu-dua minggu kapital itu baru sampai di Jawa dan baru bisa membiayai
pembukaan perkebunan di Lembang atau Sukabumi. Sekarang, kapitalis
semacam Lehman Brother atau Golden Sach tidak butuh kapal-kapal
pengangkut kapital yang dinahkodai para bukanir yang galak dan
kadang-kadang rewel. Mereka cukup dengan seperangkap komputer yang
tersambung dengan Internet. Minggu adalah jangka waktu kuno bagi mereka.
Mereka sekarang memiliki jam, menit, atau malah detik sebagai jangka
waktu sirkulasi kapital. Kapital pun beredar dalam kecepatan yang sama
sekali tidak terbayangkan oleh Gubernur Jendral Deandels. Teknologi
kontemporer telah melahirkan ekonomi digital (digital economy) atau Anthony Gidden (2001, xv) menyebutnya sebagai perekonomian elektronik global (global electronic economy/GEE)
yang mengagumkan sekaligus menakutkan karena mengandung resiko-resiko
(dan tentunya peluang-peluang ekonomi) baru yang tidak pernah ada
contohnya di masa lalu. Teknologi kontemporer ternyata tidak hanya
menyibak rahasia alam, tetapi juga menuangkan rahasia baru yang
bahayanya belum terbayangkan sepenuhnya.
GEE mengembangkan
ekonomi gaib yang tidak perlu terkait dengan kinerja ekonomi riil tapi
kelakuannya berdampak pada ekonomi riil. Meski akar-akar kelembagaannya
tentu saja bisa dilacak hingga sistem bank para pengikut tarekat Ksatria
Kuil Sulaiman (the Knight Templar), namun ekonomi keuangan
kontemporer bergerak seperti petir yang meninggalkan guntur ekonomi riil
tercecer di belakang. Mengenai GEE ini Anthony Giddens menjelaskan
bahwa dalam ekonomi elektronik global ini para direktur investasi,
korporasi, lembaga keuangan, dan jutaan kapitalis keuangan individual
dapat menanam dan memindahkan uangnya dalam jumlah yang besar dari satu
belahan dunia ke belahan yang lain hanya dengan mengklik sebuah mouse
pada komputer. Dengan begitu, “… mereka dapat menggoyang ekonomi yang
tampaknya sekuat batu karang—seperti yang terjadi di Asia [1998]”
(Giddens 2001, 4).
Selain itu, dalam GEE kapital tidak
perlu ditanamkan ke dalam industri manufaktur untuk bisa beranak-pinak.
Di dalam ekonomi gaib ini muncul banyak bentuk jasa keuangan baru yang
pada dasarnya dilandasi fetisisme terhadap uang. Konon pada tahun 1971,
90% dari US $ 1,4 miliar transaksi keuangan global terkait dengan
ekonomi riil dalam rupa investasi jangka panjang dan hanya 10% saja
berupa spekulasi jangka pendek. Pada tahun 2000, polanya sama sekali
lain. Dari US $ 1,5 miliar transaksi keuangan global, 80% di antaranya
spekulasi dengan kecepatan pindah antara 1 sampai 7 hari, 40%-nya
bergerak dengan kecepatan kurang dari 2 hari. Artinya, sebagian besar
investasi sama sekali tidak terkait dengan ekonomi riil meski dampak
kerusakannya sangat bisa mempengaruhi kinerja ekonomi riil seperti yang
akhir-akhir ini kita saksikan sendiri dari keruntuhan ekonomi keuangan
Amerika dengan hancurnya kredit, lonjakan tingkat sukubunga, nilai
tukar, dan lain-lain (Herry-Priyono 2004, 16).
III
GEE
telah mengantar perekonomian dari ekonomi riil ke ekonomi
spekulasi-keuangan. Pudarlah cita-cita kuno para pahlawan Puritan
Borjuis seperti Adam Smith untuk menghasilkan tatanan ekonomi yang
menghasilkan kemakmuran dan menarik surga turun ke muka bumi bagi
kemaslahatan umat manusia. Kini The Wealth of Nation menjadi slogan kuno para kapitalis karena bagi mereka ekonomi hanyalah the wealth of individual capitalists
yang menjadi norma suci segala tindakan mereka dalam perekonomian. Di
dalamnya teknologi bukan lagi pembebas manusia seperti ketika dia
melepaskan Homo Sapiens dari jeratan alam. Teknologi yang berkawin
dengan sistem ekonomi-bukan-untuk-kehidupan menjadi perkakas tirani dan
pengangkut bara-bara neraka ke muka bumi.
Daftar Pustaka
Ellul, Jacques, The Technological Society (terjemahan John Wilkinson), New York: Alfred A. Knopf, 1964.
Giddens, Anthony, Dunia yang Lepas Kendali: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia, 2001.
Hasan, Fuad, Catatan Perihal Teknologi dan Teknokrasi, Studium Generale, Jakarta: Pustaka Jaya, 2001.
Herry-Priyono, B., Marginalisasi à la Neoliberal, Basis No. 05-06, Mei-Juni, hlm. 12-23, 2004.
Marcuse, Herbert, One Dimensional Man, Boston: Beacon Press, 1964.
Marx,
Karl, Grundrisse: the Foundations to the Critique of Political Economy
(terjemahan dan pengantar oleh M. Nicolaus), Harmondsworth: Penguin
Books bekerja sama dengan New Left Review, 1973.
0 komentar:
Posting Komentar