Malam - Malam Penuh Amarah:



Filippo Argenti
(Tentang Kerusuhan di Perancis Akhir 2005[*])

Ada yang mengetuk dan terus mengetuk tak sabar di pintu kami. Cepat atau lambat kami harus membukanya... Banyak yang tetap bersembunyi, tidak hanya para pengecut, tetapi juga mereka yang terlalu tenang atau terlalu merasa baik-baik saja. Mereka tidak ingin terlibat. Tetapi mereka telah terlibat sebagaimana arus terus menerus membawa mereka dan kedip-kedipan mata mereka sama sekali tak berguna. Bahkan bahasa menjadi tak berguna secara menyedihkan, bahasa terlahir dari dunia lama, dengan dikorbankannya yang lama, maka imaji-imaji lama akan tergantikan oleh era baru. Tak ada lagi yang tetap sama; kata-kata lama berjatuhan tumpang tindih karena semuanya tak dapat merayap pada sesuatu yang baru. Ada sebuah tegangan di mana tak ada lelucon, kritik dan kebijaksanaan yang dapat meraihnya. Era borjuis mulai berakhir. Tak seorangpun yang tahu apa yang hadir. Kebanyakan memiliki pandangan yang gelap dan dengan demikian mereka dilecehkan. Massa juga masih memiliki sebuah sensasi kegelapan atasnya tetapi mereka tak mampu mengekspresikan diri mereka dan (juga) masih tertindas. Yang Tua dan yang Baru, oposisi yang tak terdamaikan antara apa yang ada saat ini dan apa yang akan terjadi kemudian, terus saling bertempur, dan bersenjata lengkap mereka berdua melemparkan diri mereka melawan satu sama lain. Debur ombak menghantam bumi. Ini semua bukan hanya persoalan ekonomi; ini semua bukanlah sekedar sebuah pertanyaan tentang makan, minum dan menghasilkan uang. Ini bukanlah sekedar permasalahan bagaimana kemakmuran didistribusikan, tentang siapa yang akan bekerja dan siapa yang akan tereksploitasi. Tidak, apa yang terjadi saat ini benar-benar berbeda: ini adalah segalanya.
(Kurt Tucholsky, Weltbűhne, 11 Maret 1920)

Introduksi
Tulisan ini adalah sebuah kontribusi untuk memahami peristiwa-peristiwa pemberontakan di Perancis beberapa saat yang lalu. Tak perlu dikatakan lagi bahwa ini bukanlah karya sosiologis ataupun teoritis. Pemberontakan hanya dapat dipahami oleh mereka yang memiliki kebutuhan yang sama dengan para pemberontak, yaitu dengan berkata dari sudut pandang mereka yang merasa menjadi bagian dari pemberontakan. Setelah disusunnya kronologi, pada faktanya, halaman-halaman tersebut justru menghadirkan pertanyaan tentang bagaimana even-even di bulan November di Perancis tersebut berkaitan dengan kita semua, dan bagaimana kita memiliki jawaban-jawaban yang mungkin dilontarkan.

Kami akan berusaha untuk menggarisbawahi beberapa poin dalam introduksi singkat ini.

Apabila kita melihat pada berbagai teori revolusioner yang disirkulasikan di Perancis, Italia dan Amerika Serikat dalam tahun-tahun terakhir, kita dapat melihat bahwa kerusuhan-kerusuhan tersebut tidaklah benar-benar tak terprediksikan. Beberapa kawan berbicara mengenai perang sipil, mengenai ledakan-ledakan yang sulit untuk diidentifikasi di mana kapital dikonsentrasikan dan mengontrol mereka yang tertindas. Bukan kebetulan bahwa tesis-tesis abad lampau mengenai barbarian, kolapsnya harapan mereka yang tereksploitasi dan ambivalensi konsep nihilisme, dan lain sebagainya, ramai diketengahkan. Beberapa konsep mengekspresikan, bahkan dalam cara yang embrionik dan membingungkan, kebutuhan-kebutuhan untuk melangkah melampaui individualitas. Dalam konteks ini, terletak sebuah relasi langsung antara kerusuhan-kerusuhan tersebut dengan teori-teori revolusioner. Dari jauh ini tampak sebagai sebuah dialog. Sekedar memusuhi polisi atau melakukan aksi solidaritas bagi mereka yang tertangkap jelas sama sekali tidak cukup. Berdasarkan pengamatan, kerusuhan-kerusuhan itu sendiri adalah sebuah anjuran teoritis, sebuah refleksi tentang dunia. Tapi apa yang dikatakannya? Jelas bukan persoalan bahwa para insurgen ingin memanajemeni dunia ini, mengontrol produksi dan teknologi dari tingkatan akar rumput. Mereka tidak berbicara pada kita tentang multitude yang bekerja keras ataupun ‘demonstrasi Zapatista’ yang diorganisir oleh para pekerja intelektual di Eropa. Kobaran api di Perancis telah meluluhlantakkan semua ilusi-ilusi sosial demokratis yang berusaha mengintegrasikan mereka yang miskin ke dalam masyarakat kapital.

Walter Benjamin bertanya pada dirinya sendiri tentang bagaimana di tahun 1830 para perusuh di Paris menembaki jam-jam yang terpampang di kota, di berbagai bagian kota dan tanpa aksi koordinasi; kini merupakan bagian kita untuk mempertanyakan mengapa para pemuda-pemudi yang liar tersebut membakari mobil. Dalam faktanya, apa yang direpresentasikan oleh mobil dalam masyarakat saat ini? Kita biarkan pertanyaan tersebut tak terjawab.

Apabila klaim analisa-analisa revolusioner besar yang maju dan mampu menjelaskan segalanya sehingga para proletarian hanya tinggal mengaplikasikannya dengan tepat itu kini telah tiada, ini artinya bahwa aksi revolusioner itu sendiri kini telah digambarkan dalam cara yang benar-benar berbeda. Bukannya mengemban misi memancangkan bendera di tempat pertama kali api diletupkan dan barikade didirikan, sekaranglah hadir kesempatan untuk membangun barikade dan meletupkan api di tempat lain, sebagai pengembangan pemberontakan, bukan sebagai sebuah alur politis. Pada faktanya, keluhan-keluhan terhadap kurangnya program-program politis di pihak para insurgen hanya keluar dari mulut mereka yang menyedihkan.

Untuk mengembangkan pemberontakan, bagaimanapun juga, tidak hanya sekedar berarti menempatkan diri pada level tindak-tindak praktis dan melipatgandakannya (mobil-mobil dibakar, maka kita akan membakar mobil juga), melainkan berarti juga memutuskan apa yang harus diserang, dan bagaimana, mendorong signifikansi universal bagi pemberontakan.

Pada saat yang sama, berupaya mentransformasikan kaum muda yang marah dari pinggiran-pinggiran kota ke dalam subyek-subyek revolusioner baru akan menjadi sebuah upaya yang juga cukup menyedihkan. Berpikir bahwa para mahasiswa telah menerima tongkat marathon dari para insurgen November jelas adalah sesuatu yang lebih baik. Tetapi toh ini semua tidak sesederhana kelihatannya. Bahkan walaupun telah banyak slogan-slogan kebebasan dikumandangkan dalam demonstrasi-demonstrasi dan rapat-rapat di bulan Maret dan April untuk mendukung para pemberontak yang ditahan sejak November (yang sebagian besarnya masih di bawah umur), hanya sedikit yang benar-benar mampu melakukan sesuatu lebih dari sekedar kata-kata. Persoalan ini menjadi rumit. Selama demonstrasi pada 23 Maret di Paris, misalnya, beberapa ratus “kaum muda pinggiran” menyerang mahasiswa, merampok uang dan ponsel, memukuli dan menghina mereka. Bahkan lebih jauhnya lagi, mereka juga menyerang siapapun yang berusaha melarikan diri dari polisi di tengah serangan dan bentrokan dengan polisi. Fakta-fakta tersebut tak dapat dikesampingkan begitu saja. Identitas-identitas teritorial, keterikatan dengan komoditi, ketidaksukaan pada para mahasiswa “mapan”, dan lain sebagainya, adalah dampak-dampak dari berbagai masalah yang akan muncul dalam konflik-konflik sosial baru, yang lahir dari sebuah masyarakat yang busuk. Tak ada ideologi pemberontakan yang akan mampu menghapuskan hal-hal tersebut.

Dalam upaya untuk mempelajari relasi antara berbagai kerusuhan pada November dan gerakan-gerakan yang muncul di sepanjang Perancis dalam protes menentang CPE, amatlah penting untuk mengaitkan berbagai kisah, testimonial dan teks-teks. Ini alasannya mengapa kami menyusun tulisan ini. Apabila kita ingin menghindari penyederhanaan ala jurnalistik dan retorika-retorikanya yang ambivalen, kita harus memperhatikan apa yang diungkapkan oleh elemen-elemen hidup yang bergabung langsung dalam pemberontakan. Sementara ini kita sekedar menghadirkan beberapa fakta yang patut digarisbawahi.

Pertama-tama kami ingin menglarifikasi sebuah poin dangkal yang sering diungkapkan oleh media-media massa resmi yang menyatakan bahwa: ekspresi “orang-orang pinggiran” tidak bermakna apapun. Pertama, daerah pinggiran Paris sendiri memiliki lebih dari 9 juta penduduk. Sementara di kawasan perkotaannya, juga terlibat dalam kerusuhan. Banyak “kaum muda pinggiran” bersekolah di kota. Dengan begitu, sejumlah besar kaum muda dan mereka yang sudah tak begitu muda lagi, yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi, blokade dan bentrokan-bentrokan jalanan bulan Maret dan April adalah mereka yang menyulut api di Perancis dalam musim gugur sebelumnya. Menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, sejumlah besar orang yang sebelumnya terlibat dalam kerusuhan November kembali terlibat di tengah jutaan orang yang berpartisipasi dalam gerakan melawan CPE. Banyak “kaum muda pinggiran” yang sesungguhnya memiliki perilaku damai, sementara anak-anak muda yang lebih “mapan” justru memiliki kecenderungan lebih kuat dalam melakukan aksi-aksi kekerasan. Data statistik yang menjelaskan bahwa pemberontakan tersebut berdasarkan pada persoalan ekonomi semata, hanya berguna bagi para sosiologis. Di beberapa kota-kota lainnya (seperti Rennes sebagai contohnya) terbangun pertemuan yang efektif antara para mahasiswa dengan para “kriminal”, yang menyebabkan Sarkozy beserta seluruh jajarannya benar-benar khawatir. Tetapi di Paris hal demikian tidak banyak terjadi. Jelas, ada alasan-alasan tertentu di balik hal tersebut. Banyak “kaum muda pinggiran” mengalami kesulitan untuk hadir di demonstrasi-demonstrasi di pusat kota: apabila tidak dihentikan sebelum memasuki kereta, mereka dipukuli oleh polisi-polisi anti huru-hara sesegera mereka keluar dari stasiun-stasiun kereta. Apabila mereka berhasil mencapai lokasi-lokasi demonstrasi, mereka dilarang ikut terlibat oleh barisan keamanan dari para organisator demonstrasi. Hal-hal seperti inilah yang sering pemicu konflik. Lebih jauhnya lagi, mereka yang lebih muda, yang tidak berpengalaman dalam bentrokan langsung dengan polisi, terisolasi selama aksi penjarahan dan pembakaran, sehingga konsekuensinya mereka menjadi target penangkapan yang mudah. Tentu saja hal ini tidak lantas jadi membenarkan kebencian mereka terhadap para mahasiswa pelaku aksi demonstrasi, tetapi hal-hal demikian memperlihatkan perbedaan situasi sosial dan gaya hidup. Mereka yang sering mengalami perlakuan kekerasan dari brigade anti-kriminalitas, yang seringkali dipukuli di jalanan atau di pos-pos polisi, terheran-heran saat melihat bagaimana barisan-barisan demonstrasi dapat tetap berjalan di bawah kawalan polisi. Dengan kata lain, tanpa bermaksud membuat penyederhanaan dan beberapa pengecualian, kami dapat katakan bahwa pada kenyataannya banyak anak-anak muda yang liar di Perancis mendapati diri mereka seorang diri di tengah pola perjuangan yang tak dapat mereka pahami seperti kompromi dengan polisi yang selalu bertindak keras terhadap mereka dalam kehidupan sehari-hari (semenjak November, selain mereka memilih aksi-aksi pembakaran, terjadi juga sejumlah tindak pencurian dengan kekerasan, di mana geng-geng anak muda menyerang mobil-mobil keamanan dengan tongkat-tongkat baseball). Bagi para revolusioner yang secara terbuka menyatakan diri berada di pihak para insurgen dalam melawan aparatus negara, mereka tetap tidak merasa mudah untuk dapat memahami situasi, bahkan juga dalam momen-momen di mana perjuangan para insurgen telah terbukti semakin radikal.

Sebuah contoh akan dapat menglarifikasi hal ini. Pada awalnya perjuangan terpusat pada masalah CPE semata, tetapi lantas disadari bahwa kebijakan tersebut tidak hanya bermula dari sebuah kontrak tertentu saja, secara luas kebijakan tersebut adalah sebuah produk dari sebuah sistem sosial yang menyeluruh dan tak dapat direformasi. Bahkan saat gerakan protes pada akhirnya menyadari target khususnya (yang bukan lagi sekedar soal kebijakan CPE), mereka masih tetap bertindak defensif. Tidak mudah bagi mereka untuk melangkah lebih jauh. Slogan utama gerakan protes tersebut, yang awalnya hanya diajukan oleh sebagian kecil kelompok yang terlibat dalam gerakan, pada akhirnya dianggap sebagai slogan formal mereka (setelah melalui berbagai keputusan dalam rapat-rapat mahasiswa) adalah: “Mari blokade semuanya”. Begitulah. Stasiun-stasiun, jalan-jalan utama, universitas-universitas, garasi-garasi bus dan jalan-jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor: laju manusia dan barang secara masif terinterupsi, sehingga menghadirkan atmosfir yang pada gilirannya mendorong keterlibatan popular. Mereka yang tak siap bertempur melawan polisi memilih pola aksi mereka dalam membangun barikade-barikade jalanan, mengikuti arus keriangan aksi yang menjadi karakteristik semua jenis gerakan popular yang nyata. Sementara mereka yang paling keras adalah mereka yang kehidupan sehari-harinya selalu berurusan dengan kekerasan polisi dan penjara, dengan tembok-tembok kota dan pusat-pusat perbelanjaan, di tengah gerakan anti-CPE, tidak hanya ingin memblokade semuanya melainkan juga tout niquer (menghancurkan segalanya). Retorika revolusioner yang disuntiki keberanian dan kapasitas berorganisasi, jelas mengesampingkan peran dan diri mereka, sehingga lantas menghasilkan semakin banyak api yang berkobar dan toko yang dijarah. Toh bagaimanapun juga, jalan memang telah terbuka lebar untuk mengkritisi tatanan masyarakat yang eksis saat ini.

Demikianlah, artikel ini adalah sebuah kontribusi kecil bagi kebutuhan untuk mengadopsi pengalaman-pengalaman perjuangan yang berbeda dari pola perjuangan tradisional di konteks urban, agar kemudian dapat didiskusikan dan juga diperkenalkan. Apa yang terjadi di Perancis adalah sebuah “gudang senjata” yang dapat mempertajam ide-ide (dan tentu praktek darinya) dalam upaya meruntuhkan seluruh tatanan masyarakat beserta nilai-nilai yang menopangnya.

MALAM-MALAM PENUH AMARAH

Malam pertama: 27–28 Oktober
Dua orang remaja, Ziad (17) dan Bouna (15) meninggal karena sengatan listrik sampai mati setelah mereka berusaha bersembunyi di sebuah gardu listrik untuk menghindari kejaran polisi di Clichy-sous-Bois (Seine-Saint-Denise). Seorang remaja lain, Metin, terluka secara misterius. Pada mulanya jajaran kepolisian dan juru bicara Kementerian Dalam Negeri tidak mengakui bahwa para remaja tersebut sedang berada dalam kejaran polisi. Pernyataan resmi kedua yang dirilis kemudian menyatakan bahwa ada kemungkinan para remaja tersebut melakukan pencurian di sebuah lapangan dan sedang melarikan diri. Versi ini tidak dikonfirmasikan oleh remaja yang masih hidup, merunut apa yang dikatakan oleh para penyidiknya, “tidak ingat apapun juga”. Juri penyidik lokal mengajukan klaim bahwa para remaja tersebut “bukanlah kriminal” sebagaimana mereka tidak memiliki catatan polisi. Selanjutnya dikonfirmasikan juga olehnya bahwa mereka sedang melarikan diri sebuah pemeriksaan rutin dan karenanya mereka tidak melakukan pencurian apapun. Mereka melarikan diri, yang juga diikuti oleh anak-anak remaja lainnya, dikarenakan beberapa dari mereka tidak memiliki dokumen identitas, termasuk Metin. Sebagaimana kabar tersebut mulai menyebar, “sejumlah geng-geng anak muda yang tak terkontrol” (mengutip dari istilah yang digunakan oleh juru bicara barisan pemadam kebakaran) tersulut kemarahannya. Mereka melempari para pemadam kebakaran, yang sesungguhnya datang untuk membantu para remaja yang terkena listrik tersebut, dengan batu; kemudian mereka menghancurkan beberapa halte bus, membakar 23 mobil (termasuk mobil-mobil polisi dan kendaraan dinas) kemudian mengganti haluan dengan menyerang sebuah toko komersial, sebuah sekolah, sebuah kantor pos dan balaikota. 300 polisi dikerahkan untuk berurusan dengan kemarahan anak-anak muda tersebut selama beberapa jam.

Malam kedua: 28–29 Oktober
Sekitar 400 anak muda menyerang polisi dengan molotov dan batu di Chêne-Pointu (di mana Ziad dan Bouna tinggal). Sejumlah tembakan ditujukan pada sebuah kendaraan CRS (brigade Anti Huru-Hara Perancis). Dalam malam tersebut sejumlah polisi dan jurnalis terluka, sementara sekitar 30 mobil dibakar dan digulingkan. 19 orang ditangkap, 14 orang diajukan ke pengadilan. Kepolisian meminta tambahan personil dengan alasan sebagai polisi mereka juga ditembaki. Sarkozy memutuskan agar semua mobil polisi dilengkapi dengan kamera video.

Malam ketiga: 29–30 Oktober
Hari Sabtu di mana sekitar 500 orang di Clichy-sous-Bois mengorganisir sebuah aksi demonstrasi damai untuk mengenang kedua remaja yang meninggal karena listrik. Beberapa demonstran mengenakan kaos putih bertuliskan kedua nama remaja tersebut ditambahi tulisan “mati sia-sia”. Dalam malam tersebut juga beberapa mobil dijungkirbalikkan dan dibakar, tetapi tak ada bentrokan dengan polisi. Sejumlah pemuda yang membawa palu dan kaleng-kaleng bensin ditangkap.

Malam keempat: 30–31 Oktober
Di area Forestière terjadi pelemparan terhadap polisi. CRS menembakkan sebuah gas air mata ke dalam sebuah mesjid di mana sekelompok perempuan sedang bersembahyang. Sesegera mereka berlarian meninggalkan mesjid, mereka dilecehkan oleh para polisi, “Pulang kalian para pelacur dan urus anak-anakmu.” Sebagai hasilnya terjadi perkelahian dengan polisi di mana 6 polisi terluka dan 11 orang ditangkap.

Malam kelima: 31 Oktober – 1 November
Pada siang hari orang tua dari kedua remaja yang meninggal menolak untuk bertemu dengan Sekretaris Dalam Negeri, Sarkozy, karena menyebut anak-anak muda pinggiran sebagai “sampah”. Di waktu yang sama, 3 orang pemuda (seorang Perancis, seorang Maroko tanpa dokumen resmi dan seorang pengungsi dari Cote d’Ivore) yang ditangkap beberapa hari sebelumnya di Clichy-sous-Bois, dijatuhi hukuman 8 bulan penjara karena telah menyerang polisi. Sementara 5 pemuda lain tetap ditahan dan menunggu putusan hukuman. “Kalian mengurung kami tanpa bukti,” seru mereka saat mereka mendengar kabar bahwa mereka akan tetap ditahan. Sekelompok orang-orang dewasa mengorganisir unit-unit layanan sosial muslim dalam upaya untuk menghindari meningkatnya suhu kekerasan. Para insurgen muda menolak mengikuti anjuran mereka dan kembali menyerang polisi dengan batu dan molotov. Lebih banyak lagi mobil yang dibakar: barisan pemadam kebakaran dan polisi selalu disambut kehadirannya dengan lemparan batu dari sepanjang pinggiran jalan dan pemukiman yang mereka lalui. Polisi membalas dengan gas air mata dan peluru karet. Garasi kendaraan polisi metropolitan di Montfermeil, dekat Clichy-sous-Bois juga dibakar dan beberapa kebakaran juga disulut di beberapa daerah sekitarnya, menghasilkan seluruhnya sekitar seratus mobil hancur terbakar.

Malam keenam: 1–2 November
Kekacauan meluas ke seluruh Perancis. Di beberapa daerah pinggiran kota Paris tidak hanya terjadi juga pembakaran mobil melainkan juga pertempuran melawan polisi dan penyerangan terhadap sebuah pos polisi, sebuah toko komersial. Beberapa mobil dibakar di luar area Bobigny. Di beberapa daerah lain (Hauts-de-Seine dan Aulnay-sois-Bois, keduanya di daerah utara) molotov-molotov dilemparkan ke pos-pos polisi. 3 orang jurnalis France 2, stasiun televisi negara, terpaksa meninggalkan mobil mereka yang dibakar di hadapan sejumlah insurgen. Beberapa polisi terluka, seorang pemadam kebakaran menderita luka bakar tingkat dua akibat terkena lemparan molotov tepat di wajahnya. Sebuah showroom mobil Renault, beberapa sekolah dan sebuah bank (di Sevran) juga dibakar. CRS dan polisi ditembaki di La Courneuve dan Saint-Denis. Di La Courneuve juga, botol-botol molotov dilemparkan ke situs Eurocopter, sementara di Clichy-sous-Bois sebuah stasiun pemadam kebakaran diserang. Sebuah lintasan jalur kereta lintas daerah (Rer) ditutup akibat lemparan batu yang tak berkesudahan pada setiap kereta yang lewat. Sarkozy menyatakan bahwa seluruh aksi kekerasan ini “bukan aksi spontan” melainkan “telah terencana dengan baik. Kami berusaha menemukan siapa dalang semua ini.”

Malam kedelapan: 3–4 November
Perhitungan kasar memperkirakan dalam semalam saja sekitar 900 kendaraan telah dibakar di seluruh Perancis, 519 di Ile-de-France (sebuah area di Paris) dan 250 di Seine-Saint-Denis saja. 5 orang polisi terluka akibat dilempari. 7 mobil di bakar di tengah kota Paris. Tapi tak ada perkelahian langsung melawan polisi terjadi. Harian Le Nouvel Observateur menyatakan bahwa akibat terjadinya perkelahian dan penahanan yang terjadi beberapa hari sebelumnya, para “sampah” memilih untuk beraksi di luar teritori mereka. Koran tersebut juga memberitakan bahwa sasaran penyerangan sebagian besar adalah simbol-simbol kekuasaan, termasuk di dalamnya bisnis-bisnis privat. Dalam faktanya, banyak bangunan publik lain juga diserang, khususnya sekolah, di samping bangunan pemerintah dan pos-pos polisi (yang selalu dengan menggunakan molotov). Di Val d’Oise di mana 105 mobil dibakar, sebuah supermarket dijarah. Di Seine-Saint-Denis sebuah toko alat olahraga dijarah. Transportasi publik ditangkap di beberapa area atas alasan keamanan. Sebuah kobaran api yang besar muncul di sebuah depot karpet di Aulnay-sous-Bois. Beberapa depot lain juga dibakar di beberapa daerah lain. Beberapa molotov dilemparkan ke gedung pengadilan di Bobigny. Kembali kendaraan-kendaraan CRS ditembaki di Neuilly-sur-Marne. Seorang ketua komunis di Stains menyaksikan sendiri mobilnya dibakar saat ia sedang berusaha melakukan persuasi dengan sekelompok pemuda. Banyak bus juga dibakar: di Trappes (Yvelines) 27 bus terbakar habis akibat api yang diletupkan di sebuah garasi bus. Dalam malam ini saja, sekitar 250 orang yang ditangkap oleh polisi di seluruh Perancis. Di Sevran seorang perempuan cacat terluka dalam aksi pembakaran sebuah bus RATP. Jaksa Cordet menyatakan, “Geng-geng besar menghilang sebagaimana kekerasan kini dilakukan oleh sejumlah besar grup-grup kecil yang bergerak dengan sangat cepat.” Sarkozy menegaskan bahwa pemerintah harus mengambil langkah keras. Marine Le Pen, anak perempuan Jean Marie Le Pen yang menjabat sebagai wakil ketua partai neo-fasis Front National, meminta pemerintah untuk memberlakukan tindakan darurat sipil. Philippe de Viliers juga meminta agar diberlakukan “reaksi yang kuat oleh pemerintah untuk menindak apa yang tampaknya seperti perang etnis sipil.”

Malam kesembilan: 4–5 November
754 mobil dibakar dan 203 orang ditangkap oleh polisi di seluruh Perancis. Sepanjang sore hari sejumlah besar mobil dibakar di area parkir bawah tanah di Bobigny: sebagian besar mobil milik departemen pengadilan ada di area tersebut. Sebuah garasi bus di Aisne dibakar: dua kendaraan benar-benar hancur sementara dua lainnya mengalami kerusakan serius. Toko Renault kembali diserang. Sebuah molotov dilemparkan pada sebuah pos polisi di Paris (di Place des Fêtes). Sebuah gedung pengadilan dirusak kemudian dibakar di Ile-de-France. Sejumlah besar sekolah juga dirusak dan dibakar. Api berkobar besar di depot tekstil di Aubervilliers; sebuah toko mobil dan supermarket dibakar di Montreuil; sebuah sekolah perawat dibakar di La Courneuve. Di Seine-Maritime sekelompok orang tak dikenal menghentikan sebuah bus dan membakarnya setelah meminta para penumpangnya untuk keluar. Beberapa ratus orang mengorganisir demonstrasi menyerukan agar kekerasan dihentikan. Sepanjang malam area Paris dikontrol ketat oleh polisi dengan helikopter yang dilengkapi dengan lampu sorot dan kamera video; sementara sekitar 2300 opsir polisi disiapkan disamping mereka yang memang sedang bertugas. Jaksa ketua di Paris, Ives Bot mendeklarasikan pada Eropa 1 bahwa “kekerasan tersebut terorganisir”.

Romano Prodi menyatakan bahwa beberapa ledakan kekerasan yang serupa juga mulai hadir di Italia.

Malam kesepuluh: 5–6 November
1.295 mobil dibakar; 741 di Ile-de-France dan 312 orang ditangkap oleh polisi. Berbagai benda (batu, roda sepeda dan trolley) dilemparkan ke arah polisi dari bangunan-bangunan di Yvelines. Sebuah upaya pembakaran dilakukan di depot minyak. Kaca-kaca jendela sebuah restoran McDonald’s dipecahkan dengan sebuah mobil yang digunakan sebagai alat penabrak di Corbeil-Essonne. Sebuah toko dibakar habis. Di Grigny, sebelah selatan Paris, dua buah sekolah dibakar dan sekitar 200 perusuh terlibat perkelahian dengan polisi dan beberapa peluru dari senapan rakitan ditembakkan pada polisi: sejumlah polisi terluka, 2 di antaranya dalam kondisi kritis. Di Evreux, Normandy, sekitar 60 kendaraan dibakar beserta sejumlah toko komersial, sebuah kantor pos, gedung pengadilan dan dua buah sekolah; sejumlah opsir polisi terluka dalam bentrokan. Di Noisy-le-Grand sebuah gedung sekolah besar dan banyak mobil dibakar. Sabotase dan percikan api muncul di pabrik alat-alat listrik milik EDF di Grand Vallauris (daerah Maritime Alps). Seorang jurnalis Korea dari TV Kbs diserang di Aubervilliers. 13 mobil dibakar di Paris; 30 orang ditangkap, 11 di antaranya tertangkap saat sedang berusaha melakukan pembakaran. Api juga timbul di area-area Perancis yang selama ini relatif tenang (Bretagne, Alsace, Lorraine, Auvergne, Limousin dan Cote d’Azur): sebagian besar akibat mobil-mobil yang dibakar dengan menggunakan molotov yang dilemparkan oleh sejumlah grup kecil yang bergerak cepat, yang hadir di sela-sela patroli helikopter. Beberapa garasi bus dibakar di sejumlah tempat. Walaupun tak terjadi bentrokan langsung dengan polisi, di beberapa tempat polisi mendapati diri mereka dilempari batu saat sedang lewat. Botol-botol berpeledak juga dilemparkan pada polisi dan barisan pemadam kebakaran di Loire. Dua orang polisi terluka diikuti oleh ledakan tabung gas di Grenoble. Sejumlah 150 botol molotov ditemukan di sebuah depot di Evry.

Malam kesebelas: 6–7 November
Ini adalah puncak pemberontakan: 1.408 mobil dibakar, 395 orang ditangkap oleh polisi (83 orang telah ditahan semenjak awal kerusuhan) dan sejumlah besar polisi terluka. Menurut koran Libération, “Ini adalah sebuah gerilya kota jenis baru, yang bergerak dengan sangat gencar dan membakar, menghancurkan, menyerang, menghindari bentrokan langsung dengan polisi dan mampu menggunakan segala macam bentuk komunikasi modern.” Bentrokan pertama hadir di sebuah “area yang panas” di Toulouse, di mana para perusuh terlibat bentrokan dengan polisi. Sebuah molotov dilemparkan ke situs elektrik MP Pierre Lellouche di Paris. Sejumlah besar mobil dibakar di Rouen di mana sebuah mobil juga digunakan sebagai alat penghantam untuk menghancurkan pos polisi; metoda yang sama juga digunakan untuk menyerang pos polisi di Perpignan. Sebuah sekolah perawat dibakar di Saint-Etienne di mana transportasi publik diberhentikan atas alasan keamanan. Sebuah situs stasiun televisi di Asnière-sur-Seine (Haute-de-Seine) dihancurkan oleh api. Api juga berkobar di Lyon (di mana terjadi bentrokan yang berlangsung selama 3 malam sebelum pemberontakan bermula, akibat seorang pemuda Arab dipukuli oleh polisi), Lille, Orléans, Nice, Bordeaux, Strasburg, dan kota lainnya. Seorang anak berusia 13 bulan terluka di kepala di tengah penyerangan sebuah bus di Colombes. Di Rosny-sous-Bois sebuah tempat rekreasi anak muda diserang, sebuah toko sepeda motor juga diserang di Aubervilliers, sebuah sekolah perawat di Saint-Maurice, sebuah kantor pertambangan di Trappes dan sebuah depot farmasi di Sur. Molotov dilemparkan ke sebuah gereja di Sète tapi tidak menghancurkan apapun. Seorang lelaki berusia 61 tahun meninggal dunia setelah diserang karena ia berusaha melindungi mobilnya. Komite Organisasi-Organisasi Islam Perancis mengajukan sebuah fatwa melawan tindak-tindak kekerasan yang terus berlangsung. Mayor di Raincy mengorganisir unit-unit keamanan sipil untuk berpatroli di kotanya. Sekretaris Keadilan Pascal Clemet mendeklarasikan, “Akhir minggu lalu ini semua hanyalah kekerasan urban. Kini ini adalah pemberontakan.” Skorzy menyatakan bahwa para Mayor dan Jaksa diperbolehkan untuk memberlakukan kembali jam malam dan sebuah hukum darurat sipil seperti yang diterapkan di Aljazair pada 3 April 1955 (saat negara tersebut masih berada di bawah koloni Perancis). Sarkozy juga menyatakan bahwa penggeledahan yang masif akan diberlakukan di mana keberadaan senjata dicurigai. De Villiers berkata bahwa tentara seharusnya mulai mengintervensi dan seluruh imigran harus ditangkap. Sementara 3 orang “blogger” ditangkap (dua dari Paris dan satu dari Aix-en-Provence) atas tuduhan telah mendorong, melalui internet, penyerangan terhadap polisi.

Malam keduabelas: 8–9 November
1.173 mobil dibakar, 12 polisi terluka, 330 orang ditangkap dan 226 kota di Perancis terlibat dalam berbagai kerusuhan yang menyerang gedung-gedung publik, sekolah dan bus-bus; dua orang jurnalis Italia diserang di Clichy-sous-Bois. Para perusuh menghentikan sebuah bus di Toulouse, mempersilakan para penumpang turun, kemudian membakar bus tersebut. Seorang reporter harian Hal, del Popolo, menyebarkan kabar bahwa seorang anak lelaki mengalami luka serius di salah satu tangannya saat ia berusaha melemparkan kembali sebuah tabung gas air mata. Kerusuhan mulai berhenti di kawasan Paris tetapi terus berlanjut di kota-kota provinsi. Organisasi-organisasi muslim sekali lagi menyatakan kemarahannya atas kekerasan yang terjadi. Di beberapa area, penjualan bensin dan tabung gas kecil dilarang dilakukan apabila sang pembeli masih di bawah umur. Sebuah bus meledak di Bordeaux setelah dilempari molotov. Di jalur kereta bawah tanah Lyon lalu lintas kereta diberhentikan setelah terjadi beberapa kecelakaan dan pelemparan molotov yang tiada henti terhadap jalur-jalur kereta, di tempat tersebut sebuah depot berisi 9 bus hancur. Seorang lelaki berusia 53 tahun terluka setelah menjadi sasaran pelemparan sebuah benda dari atas gedung. Michel Gaudin, kepala polisi nasional, mendeklarasikan bahwa para perusuh diilhami oleh sebuah “kehendak yang nyata-nyata anti-institusional”.

Beberapa episode kecil aksi gerilya kota hadir di Brussels (di mana beberapa mobil dibakar) dan juga di Luxemburg. 3 mobil juga dibakar dan kaca jendela sebuah toko dihancurkan di area Cagliari (Sardinia, Italia), di mana beberapa hari sebelumnya beberapa mobil juga dibakar.

Malam ketigabelas: 8–9 November
Selama sesi pertanyaan dalam sidang parlementer, Sarkozy menyatakan bahwa ia menuntut agar seluruh Jaksa, “mendeportasi setiap orang asing, baik secara resmi atau tak resmi, yang sedang ditahan, termasuk mereka yang telah memiliki ijin tinggal. Seseorang masih dapat memiliki ijin tinggal minimum satu malam hanya bagi yang tidak memprovokasi kekerasan urban.” Di hari yang sama sebuah undang-undang baru yang menyatakan negara dalam keadaan darurat diberlakukan di Perancis setelah disiarkan dimulai pada “9 November 2005”. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa:
  1. “orang-orang dan kendaraan dilarang untuk berada di jalan-jalan tertentu dalam waktu-waktu tertentu;
  2. area-area keamanan diciptakan di mana aturan mengenai perilaku diberlakukan;
  3. dilarang tinggal di beberapa kawasan tertentu;
  4. rapat-rapat yang mencurigakan dilarang;
  5. orang-orang tertentu berada di bawah tahanan rumah;
  6. penggeledahan diperbolehkan untuk dilakukan baik di siang hari maupun di malam hari;
  7. stasiun radio, pertunjukan-pertunjukan film, teater dan pers berada di bawah kontrol ketat;
  8. semua jenis senjata dan amunisi harus diserahkan ke pos-pos polisi.”

Pada senja harinya, Sarkozy mengirimkan sebuah telegram pada para Jaksa, meminta mereka agar segera mendeportasi semua orang asing yang sempat ditangkap selama episode kekerasan urban berlangsung, termasuk mereka yang mengantongi ijin tinggal. 120 anak muda mengalami perlakuan ini, mayoritas dari mereka memiliki ijin tinggal. Berbagai asosiasi HAM, partai Komunis dan partai Hijau secara terbuka menyatakan penentangannya terhadap tuduhan ganda tersebut (pendeportasian orang-orang asing biasa yang terlibat tuduhan-tuduhan lain). Sarkozy merespon bahwa hal tersebut bukanlah tuduhan ganda, melainkan sekedar deportasi biasa, yaitu pendeportasian langsung bagi mereka tanpa perlu pengadilan terlebih dahulu. Sarkozy memobilisir 11.500 polisi. Sebagai hasilnya, serangan-serangan memang menurun: hanya 617 mobil yang dibakar dan 280 orang yang ditangkap polisi (kini telah 1.830 orang yang ditahan semenjak awal kerusuhan, sekitar seratus sudah diajukan di pengadilan). Sekolah-sekolah dihancurkan oleh api di La Courneuve dan di Villeneuve-d’Ascq. Dua buah toko dijarah dan kemudian dibakar di Arras, di mana sebuah pusat rekreasi dan bisnis juga dibakar. Sebuah situs koran lokal diserang dan dibakar di Brasse. Beberapa jurnalis Russia diserang di Lyon, di mana transport bawah tanah masih berhenti akibat serangan yang hadir di malam-malam sebelumnya. Lalu lintas malam juga masih berhenti di beberapa kota termasuk Grenoble. Di daerah pinggiran di Toulouse botol-botol molotov dan batu dilemparkan pada polisi. Di Lille, balaikota diserang. Sebuah upaya penjarahan di supermarket di Marseille digagalkan. Seorang rapper, Magyd Cherfi, menggambarkan para pemberontak sebagai “anak-anak muda depresi yang tak percaya apapun.”


17 mobil dibakar di beberapa kota di Belgia. 11 mobil dibakar di Jerman (Berlin dan Cologne) di mana beberapa molotov dilemparkan pada sebuah sekolah di Altenburg. Beberapa mobil juga dibakar di Lisbon. Di Montreal (Kanada) sejumlah anarkis mengorganisir sebuah demonstrasi di luar konsulat Perancis sebagai sebuah aksi solidaritas bagi para perusuh Perancis.

Malam keempatbelas: 9–10 November
Kehakiman melancarkan sebuah investigasi atas sebuah “upaya pembunuhan” setelah terjadi penembakan oleh peluru-peluru karet terhadap polisi di Grigny. Sejumlah besar prosedur pengadilan telah diberlakukan semenjak 9 November. 482 mobil dibakar di 152 kota yang berbeda dan 203 orang ditangkap oleh polisi (jumlah keseluruhan menjadi 2.033 semenjak awal kerusuhan). Di Sens seorang polisi dan petugas pemadam kebakaran terluka akibat lemparan batu. Sebuah pos polisi, 3 sekolah dan sebuah balaikota menjadi target pembakaran. 6 area menerapkan jam malam. Beberapa kecelakaan terjadi di Paris. Pemberhentian transportasi bawah tanah malam di Lyon dinyatakan akan diberlakukan hingga hari Minggu. Kehakiman melarang penjualan dan sirkulasi kaleng-kaleng bensin di Bordeaux. Aturan serupa diterapkan di Loiret dan Marseille. Toulouse, Lille, Marseille dan Strasbourg adalah kota-kota yang paling banyak terlibat dengan masalah-masalah tersebut. Jajaran kepolisian nasional Perancis melarang semua aksi demonstrasi publik semenjak pukul 10 malam pada hari Sabtu, 10 November hingga pukul 10 pagi keesokan harinya. Ada kecemasan bahwa kekerasan akan hadir di pusat kota selama akhir minggu.

Kerusuhan juga muncul di kawasan pinggiran di Brussels dan beberapa kota Belgia, tapi tanpa bentrokan langsung dengan polisi.

Malam kelimabelas: 10–11 November
Sebagaimana beberapa kecelakaan semakin menurun, 463 mobil yang dibakar (111 terjadi di Ile-de-France) dan 201 orang ditangkap. Beberapa mobil polisi yang diparkir di pinggiran gedung pengadilan dibakar di Bordeaux. Seorang polisi ditahan dan 4 lainnya masih dalam pemeriksaan sehubungan dengan tuduhan atas penyerangan terhadap seorang lelaki di La Courneuve. Total 8 orang polisi kini berada di bawah pemeriksaan setelah penayangan beberapa karya dokumenter oleh stasiun televisi France 2. Seorang lelaki lain ditangkap karena menyulut tindak kekerasan melalui internet: ia terancam hukuman penjara selama 1–7 tahun. Transportasi dan penjualan kaleng-kaleng bensin dilarang di Paris. Jean-Marie Le Pen, secara ironis memberi selamat pada Villepin dan Sarkozy karena telah mengajukan beberapa slogan yang sama. Hadir dalam tayangan di France 2, Sarkozy mendeklarasikan bahwa diberlakukan pembedaan antara anak-anak muda pinggiran yang miskin dengan para “sampah” yang bertanggung jawab atas berbagai tindak kekerasan. Ia juga menyatakan bahwa “anak-anak para imigran Afrika hanya menghadirkan lebih banyak masalah daripada para imigran Swedia, Denmark atau Hungaria karena kultur, latar belakang sosial mereka dan poligami menghadirkan banyak masalah.”

Sekitar 400 orang anarkis menyerang Institut Perancis di Athena (Yunani) sebagai sebuah aksi solidaritas bagi para perusuh Perancis: jendela-jendela gedung dihancurkan dan sebuah slogan ditulis di bawahnya: “Mereka yang menabur tentara menuai perang sosial di Paris, Athena dan di semua tempat.” Jendela Institus Perancis juga dihancurkan di Saloniki dan leaflet-leaflet ditinggalkan di lokasi kejadian menyatakan bahwa “para insurgen memang benar”. 6 mobil dibakar di Belgia di mana “beberapa kasus yang terisolasi” hadir, termasuk upaya pembakaran sekolah.

Malam keenambelas: 11–12 November
502 mobil dibakar (86 di Ile-de-France) dan 206 orang ditangkap (total 2.440 orang semenjak awal kerusuhan). Jumlah serangan menurun di beberapa kota sebagaimana hanya terjadi 5 atau 6 aksi pembakaran. Titik-titik panas masih terjadi di Lille, Lyon, Strasbourg dan Toulouse. Di Saint-Quentin (Aisne) seorang polisi terluka serius (luka bakar tingkat dua) setelah ledakan dari sebuah bahan peledak menghancurkan tempat duduk depan mobilnya. Mobilnya terbakar. 6 botol molotov dilemparkan ke halaman sebuah pos polisi di Maison-Alfort (Val-de-Marne). Dua bahan peledak dilemparkan ke sebuah mesjid di Carpentras (Vaucluse). 2 buah toko dibakar di Yvelines dan sebuah sekolah perawat dibakar di Seine-et-Marne. Sebuah helikopter berhasil menggagalkan upaya pembakaran sebuah sekolah di Sevran dan 9 orang ditangkap. Di Amiens (Somme), di mana jam malam diberlakukan, beberapa gardu listrik EDF disabotase dan beberapa bentrokan dengan polisi terjadi. Di Alsace barisan pemadam kebakaran disambut dengan lemparan batu; para penyerang muda menghilang begitu polisi muncul. Pada sore harinya di pusat kota Lyon sejumlah anak muda terlibat bentrokan dengan polisi: beberapa toko dihancurkan, dijarah dan dibakar; seperti biasa barisan pemadam kebakaran yang datang disambut dengan lemparan batu. Di Angoulême 3 orang berusaha membakar gardu listrik EDF; polisi yang mengejar mereka menjadi sasaran pelemparan batu dari atap-atap rumah di sekeliling tempat tersebut. Di Lyon sebuah skuter dibakar di dekat mesin ATM yang menimbulkan kerusakan parah pada mesin.

Di Belgia 15 mobil dibakar, 8 di Brussels, sehingga total 60 mobil hancur semenjak awal kerusuhan di negara tersebut. Polisi menyatakan bahwa hal tersebut tidak berkaitan dengan yang terjadi di Perancis. Di sepanjang sore dan malam hari sejumlah motor dibakar di Bologna (Italia) di mana slogan-slogan ditulis di dekatnya: “Bologne seperti Paris” dan “Pemberontakan adalah keharusan, solidaritas bagi para perusuh dari Paris”. Aksi solidaritas bagi para perusuh Perancis jga hadir di Istambul di mana sebuah demonstrasi yang mendukung “perjuangan yang terlegitimasi” bagi para penduduk daerah pinggiran Perancis, diorganisir oleh Federasi bagi Hak-Hak Fundamental di luar konsulat Perancis. Sebuah demonstrasi di luar konsulat Perancis lain digelar di Barcelona, di mana beberapa bentrokan terjadi dan 5 orang ditahan saat demonstrasi berakhir. Salah seorang demonstran menulis di Indymedia, “Semua ini adalah ekspresi solidaritas mereka dalam sebuah cara damai. Tampaknya darurat sipil juga diberlakukan di trotoar di luar konsulat-konsulat Perancis.”

Malam kedelapanbelas: 13–14 November
Jumlah serangan menurun: 271 mobil dibakar (62 di Ile-de-France) dan 112 orangd itangkap; 5 polisi terluka, 2 di antaranya akibat praktek umum, yaitu ledakan botol berisi bensin yang diletakkan di dekat mobil. Sebuah mobil yang terbakar didorong ke sekolah perawat di Toulouse dan menghancurkan sebagian gedung tersebut. Di Lyon 15 mobil dibakar, sebuah sekolah dibakar dan sekolah lain diserang dengan sebuah mobil terbakar yang didorong sebagai alat penghancur. Beberapa kejadian juga hadir di Strasbourg. Pemerintah Perancis memutuskan untuk memperpanjang masa darurat sipil selama 3 bulan berikutnya. Kabar yang menyebar pada pukul 12 siang mengatakan bahwa polisi melakukan 8 operasi di beberapa daerah yang berbeda untuk mengidentifikasi dan menahan para pelaku kekerasan. Sebagai hasilnya 503 orang ditangkap (107 orang di antaranya masih di bawah umur). Semenjak awal kerusuhan 2.652 ditangkap, 375 ditahan setelah diadili dan 213 masih menunggu pengadilan. 622 lainnya dipanggil ke pengadilan, 112 yang harus dipanggil kembali. 120 orang asing mengalami ancaman deportasi. Pengadilan melakukan investigasi lanjutan untuk melakukan penangkapan-penangkapan berikutnya. Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa beberapa imam terlibat aksi penyerangan. Aturan-aturan lain mulai diberlakukan di area publik. Di Toulouse: hukuman 5 bulan karena membakar tong sampah; 3 bulan karena memperlihatkan pantat pada polisi; 2 bulan karena melontarkan hinaan pada petugas publik pemerintah. Di Lyon: hukuman 2 bulan karena duduk di bar di mana 2 anak kecil bersembunyi dari kejaran polisi; 2 bulan diberikan bagi seorang lelaki muda karena duduk di pinggiran jalan saat terjadi bentrokan dengan polisi; 3 bulan karena membakar sampah; 2 bulan karena melempar batu; 4 bulan karena menyalakan alarm palsu atas bom di sebuah bandara.

Malam kesembilanbelas: 14–15 November
215 mobil dibakar (60 di Ile-de-France) dan 42 orang ditangkap. Seorang polisi terluka. 3 molotov dilemparkan ke sebuah mesjid di Saint-Chamond (Loire). Sebuah pusat rekreasi dibakar di Bruges dan beberapa mobil dibakar di Paris.

Malam keduapuluh: 15–16 November
163 mobil dibakar (27 di Ile-de-France) dan 50 orang ditangkap. “Situasi yang nyaris kembali normal,” ujar Sarkozy. Seorang polisi terluka saat berusaha menengahi sekelompok anak-anak muda yang melemparkan botol-botol berisi larutan asam ke balaikota di Pont-Evêque (Isère). Di Grenoble sebuah sekolah dan pusat pendidikan dibakar. Di Drome mobil yang terbakar digunakan sebagai alat penghancur pada sebuah pos polisi dan molotov-molotov dilemparkan ke arah gereja. Garasi-garasi mobil dibakar di kawasan Rodano dan Marna. Sebuah jebakan disiapkan bagi polisi dan barisan pemadam kebakaran di Point-a-Pitre: setelah membakar beberapa mobil, di balik barikade yang telah disiapkan, sekelompok orang menembaki polisi yang kemudian juga balas menembak. Tak ada yang terluka. Total 126 polisi terluka, 2.888 ditangkap di mana 593 di antaranya ditahan, 8.973 mobil hancur.

Malam keduapuluhsatu: 16–17 November
98 mobil dibakar dan 33 orang ditangkap karena membawa alat-alat yang dapat terbakar dan karena telah melanggar jam malam. Kurang dari 100 mobil dibakar di seluruh Perancis mulai dianggap normal (setelahnya hanya sekitar 90 mobil saja yang dibakar dalam semalam yang semakin lama semakin menurun hingga berakhir). Perdana Menteri Villepin menyatakan bahwa “ada sebuah ancaman serius terorisme di Perancis” dan karenanya “pengawasan harus dilakukan secara permanen”. Secara umum dapat dikatakan kerusuhan mulai berakhir.

Kronologi ini tidak berusaha untuk memberikan sebuah catatan obyektif dari even-even yang terjadi di Perancis selama pemberontakan para “sampah” antara akhir Oktober dan minggu awal November 2005; tidak hanya karena sumber-sumber dikumpulkan dari media yang ada (koran-koran, agensi-agensi berita, laporan polisi, situs di internet dan blog, yang kadangkala adalah benar-benar berdasarkan pada memori kolektif), melainkan juga karenasebuah kronologi tidak banyak dapat mempresentasikan sesuatu dari even-even yang telah lewat segaris dengan even-even yang sesungguhnya mungkin masih terjadi saat ini.

Beberapa Ledakan Kemarahan yang Mirip, yang Hadir selama Dekade ‘90-an
Semenjak hukuman mati dihapuskan di Perancis pada 1981, hingga tahun 2001 tetap teradapat 175 kasus kematian yang secara langsung atau tak langsung diprovokasi oleh polisi negara. Di sejumlah kejadian, kematian seperti ini meletupkan ledakan kemarahan melawan represi polisi yang dilakukan dalam konteks harian. Beberapa ledakan adalah sebuah testimoni tentang betapa brutalnya sistem sosial ini secara keseluruhan.

6–9 Oktober 1990
Thomas Claudio meninggal setelah motor yang dikendarainya ditabrak oleh sebuah mobil polisi yang sedang mengejarnya. Polisi menyatakan bahwa hal ini adalah murni sebuah “kecelakaan”. Bentrokan penuh kekerasan melawan polisi meledak pasca kejadian, toko-toko komersial dijarah dan dibakar.

31 Agustus, 3 September 1995
Bentrokan-bentrokan antara polisi dan anak-anak muda meledak di Nanterre (cité de Fontanelle) setelah seorang lelaki berusia 25 tahun asal Afrika Utara secara misterius terhantam msin pengaduk semen saat ia sedang terburu-buru ke tempat di mana saudaranya sedang ditangkap oleh polisi.

25–26 Mei 1996
Sekelompok anak muda menjarah toko-toko komersial dan membakar kendaraan-kendaraan di Saint-Jean, Château Roux, setelah seorang anak muda meninggal dalam kecelakaan mobil saat ia sedang dalam pengejaran polisi.

November 1996
Di Rabaterie (St Pierre des Corps, Tours) Mohamed Boucetta (23 tahun) meninggal karena ditembak di kepala. Saat pembunuhnya dibebaskan atas intervensi personal dari Le Pen, sebuah kerusuhan selama 15 hari meledak dengan penuh bentrokan melawan polisi, pembakaran mobil, toko-toko dan bangunan publik.

12–21 Desember 1997
Bentrokan antara polisi dan anak-anak muda terjadi di Dammarie-les-Lys, di mana seorang remaja lelaki berusia 16 tahun asal Afrika Utara dibunuh oleh polisi di trotoar di mana Fontainebleau tinggal. Tak seorang polisi ditahan ataupun diajukan ke pengadilan.

13–16 Desember 1998
Menyusul dibunuhnya remaja usia 17 tahun bernama Habib oleh seorang polisi saat sedang berusaha mencuri sebuah mobil, bentrokan penuh kekerasan meledak antara polisi dan anak-anak muda di area Mirail (Toulouse). Lebih dari seratus mobil dibakar. Tiga tahun kemudian, sang polisi pelaku pembunuhan, yang sebelumnya tetap bebas, diganjar hukuman 3 tahun penjara.

12–22 September 2000
Di dua area di Essonne, di Grande Borne, Grigny dan Tarterets, Corbeil-Essonnes, bentrokan melawan polisi terjadi setelah seorang remaja 19 tahun dibunuh saat berusaha melarikan diri setelah ia mencuri sebuah motor.

4–6 Juli 2001
Bentrokan-bentrokan terjadi di Borny, Metz, setelah dua orang remaja meninggal karena kecelakaan mobil.

13–14 Oktober 2001
Kekerasan urban meledak di Thonon-les-Baines (Haute Savoie) setelah empat orang meninggal “misterius” saat berusaha untuk melarikan diri dari identifikasi polisi.

26–31 Desember 2001
Bentrokan-bentrokan dengan polisi terjadi di Vitry-de-Seine (Val-de-Marne) setelah seorang lelaki terbunuh saat berusaha merampok sebuah bank di Neuilly-sur-Marne (Seine-Saint-Denis).

3–7 Januari 2002
Sejumlah mobil dibakar di Mureaux (Yvelines) setelah Moussa (17 tahun) meninggal karena ditembak di kepala oleh polisi saat berusaha menghindari pemeriksaan polisi.

25–26 Februari 2002
Setelah seorang lelaki meninggal karena overdosis di halaman sebuah pos polisi di Evreux, sekelompok anak-anak muda bertopeng memerangi polisi, membakar mobil dan menghancurkan jendela-jendela toko.

18–19 Oktober 2001
Seorang remaja berusia 17 tahun tenggelam saat berusaha menyelam karena menghindari kejaran polisi karena aksi perampokan. Sekelompok anak-anak muda bersenjatakan tongkat baseball menyerang polisi di Hautepierre (Strasbourg) dan membakari mobil-mobil. 25 mobil terbakar, 3 petugas pemadam kebakaran terluka, sebuah sekolah dihancurkan oleh sebuah bahan peledak dan sebuah gedung pengadilan dibakar.

3 Maret 2003
Kerusuhan meledak setelah seorang pencuri meninggal saat berusaha menghindari kejaran polisi.

12–14 Januari 2004
Seorang remaja berusia 17 tahun meninggal setelah ia terjatuh dari motor curian saat sedang berada dalam kejaran polisi. Bentrokan antara polisi dan anak-anak muda terjadi, sejumlah mobil dibakar dan sebuah mobil terbakar diluncurkan dijadikan alat perusak ke sebuah pos polisi.

Hasil Sementara dari Kerusuhan Akhir Tahun 2005
9.190 mobil hancur terbakar (jumlah yang dilansir oleh Sekretaris Dalam Negeri Perancis)
Sejumlah bangunan publik dan toko-toko komersial dijarah atau dihancurkan; sejumlah besar pos polisi diserang; sebuah mesjid, sebuah gereja dan sebuah sinagog juga diserang.
Sekitar 300 kota terlibat dalam pemberontakan.
Jam malam diberlakukan di 25 area.
3 orang meninggal: Ziad dan Bouna, yang meninggal karena tersetrum listrik pada 27 Oktober; dan seorang lelaki 61 tahun yang tewas karena melindungi mobilnya pada 7 November.
Sejumlah penduduk sipil terluka.
Sekitar 12.000 polisi dimobilisir, 126 di antaranya terluka, 8 dibawah penyelidikan karena dianggap telah melakukan kekerasan berlebihan selama terjadi kerusuhan.
Badan insuransi mengklaim kerugian sekitar 200 juta euro.
2.921 orang ditangkap (sepertiganya adalah anak di bawah umur di mana yang termuda berusia 10 tahun) dan 590 ditahan (107 di antaranya adalah anak di bawah umur). 375 orang dewasa ditahan tanpa pengadilan. Penangkapan jarang dilakukan saat seseorang tertangkap basah terlibat dalam kerusuhan, sebagian besar penangkapan dilakukan saat dilakukan operasi polisi dari rumah ke rumah. Pembelaan yang berpihak pada terdakwa jarang dilakukan semenjak pengadilanlah yang menunjuk para pembela.
Sejumlah 1.540 orang yang dicurigai ditangkap, diinterogasi dan ditahan beberapa hari setelah kerusuhan berakhir: dari total sejumlah 4.500 orang yang dicurigai terlibat kerusuhan dan diinterogasi, lebih dari seperempatnya ditangkap pasca kerusuhan.
Di hari-hari pertama Desember, 786 orang masih ditahan, 83 di antaranya adalah orang asing.
Pada 4 Desember, Sarkozy mendeportasi 7 orang asing pertama.

Para "Sampah"
Tidak semua pemberontakan hadir tak terprediksikan. Tentu saja tidak diperlukan seorang Nostradamus untuk memprediksikan momen-momen khusus dari ledakan pemberontakan, tapi pada faktanya pemberontakan hadir mengejutkan bagi mereka yang sama sekali tak pernah berpikir tentang betapa bobroknya dunia yang kita tinggali saat ini. Hal tersebut terjadi demikian bukan karena sekedar engkau tahu bahwa beberapa peristiwa sejenis terjadi di Perancis secara berkala dengan praktek dan ritual yang sama (di mana terjadi bentrokan dengan polisi dan pembakaran mobil). Pemberontakan adalah produk yang terelakkan dari sistem sosial saat ini. Saat sebuah pemberontakan meledak, engkau tak dapat lagi bertanya pada dirimu sendiri, “Bagaimana ini semua bisa terjadi?” melainkan “Bagaimana bisa hal ini tidak terjadi di mana-mana dan sepanjang waktu?”. Tetapi setiap kali sebuah pemberontakan meledak, operasi pertama yang dilakukan adalah upaya untuk mengategorikan pemberontakan tersebut. Seseorang akan segera berpikir, siapakah para pemberontak itu, dari mana mereka datang dan apa yang mereka inginkan. Riset tersebut segera mencari nama, identitas dan kategorinya yang dianggap tepat: apakah mereka ini orang asing, imigran... tidak! Mereka orang-orang Perancis... benar, orang-orang Perancis, tetapi generasi kedua Perancis, kelas kedua Perancis, anak-anak para imigran, yang tak diterima secara sosial, yang termarjinalkan... Beberapa kecewa karena teori “fundamentalisme” Islam tidak dapat diterapkan dalam kasus ini: jelas bahwa mereka bukanlah mereka yang sering pergi ke mesjid (keberadaan fakta bahwa beberapa imam terlibat dalam hal ini sama sekali tidak membantu). Koran-koran sayap Kanan (seperti misalnya Le Figaro) berusaha untuk menciptakan amalgam untuk stigmatisasi publik, sekali mereka menulis tentang Intifada gaya Palestina, fundamentalisme Islam, terorisme, dsb. Pengeliruan ini, bagaimanapun juga, sama sekali tidak tepat sebagaimana setiap perjuangan selalu mampu memperlihatkan dirinya sendiri dengan karakteristiknya sendiri.

Kategori-kategori sosial digunakan untuk mendefinisikan, mengidentifikasi, pendeknya untuk memberi batasan-batasan bagi pemberontakan agar tetap berada dalam ruang konseptual yang telah ditentukan. Sekali saja sebuah identitas diterapkan bagi para perusuh—yang paling sering digunakan adalah “mereka yang tersisih secara sosial”, nama bagi mereka yang miskin—sejumlah teori akan digunakan untuk mengintervensi: dari polisi dan dari mereka yang berorientasi pada kemakmuran dan ketentraman sosial. Mereka adalah sindrom sekuritas: sekuritas publik dan sekuritas sosial. Semua ini memperlihatkan dengan jelas fakta bahwa apabila memang subversi dan pemberontakan adalah sebuah konsekwensi langsung dari sistem dominasi, maka penghapusan sistem tersebut hanya dapat terjadi melalui penghapusan dominasi, yaitu melalui subversi.

Bukanlah sesuatu yang perlu dipertanyakan lagi, baik dalam skala lokal atau global, fenomena tersebut. Kemiskinan, ketidakberhargaan hidup, struktur urban di semua metropolitan di seluruh dunia (dari Los Angeles hingga Bogota, dari Aljazair hingga Perancis), upaya-upaya untuk menutup batas-batas di benteng Eropa, semua hanyalah beberapa contoh dari fraktal struktural tersebut. Retorika sekuritas, tentang perlunya polisi dan pengadilan demi alasan sosial, mungkin memang dapat diterima oleh beberapa orang, tetapi jelas tak dapat diterima oleh mereka yang setiap harinya mengalami marjnalisasi sosial langsung pada hidup mereka atau juga oleh mereka yang tahu bahwa berbagai ledakan baru telah menanti di setiap sudut, dan khususnya, oleh mereka yang merasa bahwa sebuah potensi pemberontakan yang sulit dipadamkan dalam diri mereka. Semua ini jelas merupakan sebuah kekuatan magnetis dari pemberontakan yang selalu menjadi target dari proses identifikasi.

Pada faktanya, proses identifikasi ini, disamping menghadirkan fenomena struktural dari tatanan sosial saat ini, bertujuan untuk memilah-milah dan memecah belah para pemberontak dari satu sama lainnya—yang mana pada saat yang sama juga memilah mereka dari diri mereka sendiri dan dari potensi aktif mereka. Dengan kata lain, mereka yang tersisih secara sosial memiliki “hak” untuk memberontak sebagaimana kemarahan, kekecewaan dan perasaan ketidakadilan secara struktural adalah milik mereka. Tetapi kamu, siapa dirimu yang hidup mapan dan menikmati kemakmuran yang dijamin oleh masyarakat, lantas hendak turut terlibat dalam pemberontakan? Di ghetto-ghetto sepanjang kota, di perkampungan kumuh di Paris dan pinggiran di manapun juga di dunia, hidup tercerabut dari akarnya, kosong, dikelilingi ketat oleh alienasi sosial, material dan eksistensial, penuh depresi dan kebosanan metafisik. Tetapi hidupmu? Hidupmu makmur dan nyaman, penuh berbagai kemungikinan dan perspektif, mapan dan penuh hasrat. Hidupmu? Hidup kita? Maaf, tapi apa yang sedang kita bicarakan di sini?

Pada faktanya, segaris dengan penindasan dalam segala bidang, yang juga menjadikan pemberontakan tak terelakkan, semua orang menjadi target. Logika biner oposisi menginterpretasikan kenyataan dengan sangat hitam putih, logika ini tak mampu lagi memahami perkembangan pemberontakan yang menempuh jalan sejauh ini, tak mampu memahami ledakan-ledakan yang mungkin belum terjadi. Memilah-milah anak-anak muda pinggiran dari anak muda secara keseluruhan, lantas memilah-milah kekerasan yang terjadi, berarti juga berusaha untuk memisahkan setiap potensi pemberontakan dari apapun yang mampu membuatnya meledak. Inilah logika di balik intervensi keadaan darurat. Lebih jauhnya lagi, menerima pendivisian ideologi ini artinya memperlemah perspektif praktis. Seperti juga semua pemberontakan yang terjadi, apa yang terjadi di Perancis sesungguhnya juga berbicara tentang setiap orang di bawah sistem yang sama. Aksi-aksinya jelas merupakan sebuah dorongan bagi gerakan-gerakan potensial di mana-mana. Karenanya, tak lagi penting untuk memahami siapakah mereka dan apa latarbelakang mereka, melainkan lebih baik memahami siapa dirimu dan apa yang dapat engkau lakukan.

Beberapa (khususnya dari kubu sayap Kiri) memang banyak mengeluhkan tentang kurangnya kesadaran akan kelas yang revolusioner dari para perusuh, dan karenanya mereka mengambil jarak dari pemberontakan karena mereka tak melihat perspektif revolusioner yang akan hadir setelahnya; mereka hanya berkata-kata tentang fenomena barbarian yang tak memiliki proyeksi politis dan mereka akan hanya menghabiskan waktunya untuk berkata-kata dan mengeluh tanpa sekalipun berupaya memperluas pemberontakan. Beberapa juga biasanya akan menghadirkan diri mereka sebagai “tim advokasi”, pengorganisir pemberontakan. Tetapi seharusnya, mereka tidaklah hadir untuk memberi pelajaran bagi para pemberontak, melainkan diri merekalah yang harus belajar dari para perusuh Perancis tersebut. Para advokator biasanya hanya muncul untuk menetralisir impuls pemberontakan dan kemudian mengintegrasikannya kembali ke dalam sistem: dengan mengajarkan para “barbarian” untuk mengenal proses hukum, HAM, bagaimana melayangkan surat protes pada anggota legislatif, mengritisi sistem untuk kemudian turut menyempurnakannya, untuk memanfaatkan peran media massa, intinya, belajar untuk menerima sistem representasi dan mediasi. Para “sampah” yang namanya sedemikian buruk di tengah kalangan yang memiliki “kesadaran kelas revolusioner”, sesungguhnya justru memiliki kesadaran taktis dan praksis tersendiri, bahkan kadang terlalu sadar untuk sekedar praksis. Apabila para perusuh Perancis tidak melangkah lebih jauh menuju revolusi (ya, tetapi siapakah yang revolusioner saat ini?), setidaknya jalan yang mereka tempuh membuka berbagai kemungkinan untuk dieksperimentasikan. Tanpa perlu menunggu seorang “pemandu revolusioner” atau siapapun untuk memberi mereka advokasi dan mengajarkan apa yang harus dilakukan, secara kontras mereka merealisasikan dengan efektif dengan cara mereka sendiri tentang bagaimana melakukan sesuatu; mereka membiarkan kemarahan mereka meledak dalam sebuah serial letupan yang impresif tanpa merasa perlu untuk mewakilkannya pada siapapun juga. Ledakan sebuah kekuatan vital yang telah direpresi sekian lama adalah sebuah ledakan kemarahan yang akan mengesampingkan setiap bentuk dasar yang menopang masyarakat modern: ketergantungan akan sistem delegasi dan representasi.

Fenomenologi Kemarahan Nihilistik
Kemarahan adalah sebuah ekspresi yang direpresi di bawah sistem sosial dewasa ini. Tidak ada kanal untuk menyalurkan kemarahan, kita selalu dilatih untuk mengekspresikannya ke dalam bentuk-bentuk yang netral dan tak akan merusak sistem. Tetapi perepresiannya adalah juga sebuah jalan yang secara kontras justru membuka sebuah cakrawala baru yang dikarakteristikkan sebagai penghancuran universal. Sebagaimana saat engkau berada di puncak kemarahan maka engkau akan mencari apapun di sekelilingmu untuk dihancurkan, melempar sesuatu ke tembok atau bahkan menghancurkan tembok itu sendiri; tubuh dirasa menjadi sebuah alat penghancur. Apapun akan dapat dihancurkan. Kemarahan, selanjutnya, memanifestasikan dirinya sebagai sebuah cakrawala nihilistik. Sebagaimana mereka tak menghasrati apapun lagi dari diri mereka sendiri, para “sampah” tersebut memutuskan untuk tak menghasrati apapun karena memang tak ada lagi apapun yang mereka rasa perlu direalisasikan.

Tetapi nihilisme merepresentasikan dirinya sendiri dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Sistem sosial dewasa ini adalah juga nihilistik dan para penduduk yang berada di bawahnya adalah juga para nihilis yang tak sadar sebagaimana mereka menerima saja berbagai bentuk perbudakaan dengan sukarela dan menghidupi hidup mereka setiap hari tanpa hasrat hidup. Sebagaimana mereka menghisap pelajaran dari sistem ekonomi dan nilai-nilai imajiner tentang konsumsi, hidup mereka hanya berlandaskan pada kalkulasi ongkos produksi dan laba yang dapat diraup, memilah antara cara dan tujuan dan berkutat pada harapan ulisif bahwa hari esok akan menjadi lebih baik. Operasi nihilistik dari sistem dominasi ini mengartikulasikan dirinya dalam dua pola gerakan: di satu sisi yaitu yang merusak, mengalienasi dan merampok, sementara di sisi lain mendandani, menciptakan ilusi dan membutakan manusia. Tetapi ketiadaan yang dihasilkan melalui dua pola operasional tersebut menemukan substansinya hanya apabila gerakannya yang kedua (pemuasan palsu yang ilusif) tidak lagi dapat beroperasi: saat sekolah, kerja dan berbagai institusi dari masyarakat beradab yang spektakular tak lagi dapat menancapkan eksistensi ilusifnya, yang sebagai konsekwensinya, akan dilihat sebagai sumber-sumber penderitaan hidup di bawah masyarakat modern.

Saat beberapa letupan terjadi, sebagai hasil dari tidak beroperasinya gerakan kedua tersebut, dengan membabi buta, saat hal-hal tersebut menghasilkan kematian tak berarti, semua hal tersebut dapat meledakkan kemarahan nihilistik: sebagaimana mereka melihat bahwa sekeliling mereka tak lagi memiliki arti dan merusak hidup mereka, maka individu-individu tak bernama memutuskan untuk membawa semua hal tersebut pada tempatnya semula: ketiadaan. Kemarahan nihilistik menginginkan ketiadaan dan merealisasikan dengan sempurna bagaimana segala sesuatu di sekeliling mereka harus kembali pada ketiadaan. Ledakan kemarahan nihilistik, yang membebaskan dan meledakkan hasrat-hasrat negatif dapat juga dilihat sebagai sesuatu yang murni bersenang-senang, yang dihasilkan dari ketiadaan kesenangan atas eksistensi mereka sehari-hari, tetapi jelas hasrat bersenang-senang tersebut menjadi sebuah euforia destruktif.

Di tengah proletarisasi setiap kehidupan dan juga setiap orang di bawah sistem saat ini, perjuangan apa yang masih mungkin dilakukan? Kami meminta maaf pada para ahli yang melihat bahwa semua ini adalah sebuah kemajuan peradaban manusia, tetapi kami melihat bahwa perjuangan yang harus dilakukan juga termasuk melakukan penghancuran total terhadap apapun yang ada di sekeliling kita. Suatu masa, seseorang pernah berkata, “Nihilis, kalian butuh satu langkah lagi untuk menjadi revolusioner”: sebuah langkah pendek yang mentransformasikan ketidakinginan atas apapun menjadi menginginkan segalanya. Tetapi kami sekaligus juga berkata, “Revolusioner, kalian butuh satu langkah lagi untuk menjadi nihilis”—dibutuhkan sedikit keberanian untuk berurusan dengan kemarahan yang terpendam. Tetapi ke mana ini semua akan membawa kita? Orang-orang berkata bahwa kita tak mengarah ke manapun juga dengan cara seperti ini. Tetapi, lagipula ke mana engkau pikir engkau akan mengarah?

Euforia destruktif dari kemarahan nihilistik menemukan bentuk utama ekspresinya dari elemen-elemen yang merepresentasikan kemarahan: api. Molotov dan bahan peledak dilihat seperti sebuah anak panah, yang mana simbol-simbol dan struktur kekuasaan dari sistem ini menjadi sasarannya: pos polisi, balaikota, pengadilan, bank, toko, pusat perbelanjaan, sekolah dan mobil.

Beberapa target penghancuran teramat mengganggu masyarakat. Mengapa sekolah juga menjadi sasaran pembakaran, bukankah sekolah dapat membawa masyarakat menuju emansipasi dan integrasi sosial? Bukankah pendidikan bagi semua orang adalah kemajuan bagi perkembangan kemanusiaan? Mungkin, tapi bukankah juga benar, dan tidakkah juga tak dapat disangkal, bahwa semakin modern sekolah semakin pula ia menjadi penjara (dalam masyarakat penjara, maka sekolah dan penjara menjadi satu kesatuan yang utuh), di mana kita dilatih untuk patuh, mengubur kesadaran individu kita sebagai manusia, sehingga wajar muncul sebuah fenomena bahwa keindahan terjadi seperti sebuah sekolah yang terbakar. Lagipula, sistem sekolah modern berdasarkan pada penghapusan arti—dengan kata lain, sekolah adalah alat untuk mempersiapkan murid-muridnya agar dapat bekerja demi upah, bukan demi hidup; kehidupan sendiri telah tertransformasikan menjadi sekedar reproduksi kerja upahan—dan karenanya sekolah tak lagi memiliki arti bagi para pelaku aksi pembakaran, sehingga mereka memberinya arti yang sesungguhnya bagi sekolah: ketiadaan. Saat sekolah tak lagi memiliki arti yang memperkaya kehidupan yang pedagogis, saat sekolah tak memiliki kegunaan lain selain fetish, maka seperti halnya fetish lain yang hanya layak untuk dibakar, maka sekolahpun menjadi layak untuk dibakar.

Orang-orang juga bertanya-tanya seputar pembakaran mobil: mengapa membakari mobil-mobil bahkan juga mobil tetangga mereka sendiri saat pada akhirnya mereka semua juga terpaksa menjadi target dari pemberlakuan keadaan darurat oleh negara? Pertama-tama, mayoritas mobil yang dibakar adalah mobil-mobil yang secara langsung atau tak langsung menjadi milik institusi; kedua, para “sampah” tidaklah tinggal di sebuah teritori yang spesifik yang merepresentasikan realitas manusia yang homogen. Di satu sisi, para perusuh tahu bahwa mereka dapat mengandalkan dukungan dan solidaritas aktif dari banyak penduduk dari satu area (tanpa solidaritas tentu saja tak mungkin pemberontakan terjadi selama lebih dari dua puluh hari), di sisi lain mereka juga tahu siapa pemilik mobil yang mereka bakar. Dalam setiap pemberontakan, selalu terdapat juga para pendukung status-quo, para pendukung dialog dan perdamaian buta, para informan dan pengambilkeuntungan, kolaborator dan berbagai karakter jahat, yang tidak berbagi visi dan posisi yang sama dengan para perusuh. Para anak muda tidak menoleransi setiap bentuk netralitas, dialog atau kompromi dengan institusi (sesuatu yang juga dianggap banyak orang menjadi “masalah utama” di tengah gerakan anti-CPE pada bulan Maret dan April 2006, khususnya di Paris).

Dengan kata lain, tetangga tidak selalu berarti kawan atau orang yang dapat dipercaya. Pemberontakan tidaklah dapat dihasilkan hanya apabila kita berkutat dalam level simbolis melainkan dalam perjuangan dan ranah pertempuran yang konkrit. Mobil-mobil dibakar tidak sekedar karena sebuah kenikmatan saat melihat api menyala, melainkan juga  terutama hal tersebut sesuai dengan sebuah pandangan-pandangan strategis dan teritorial. Hanya dalam perspektif konflik nyata (dan bukan dalam representasi ataupun penerjemahan sosiologis) maka nilai praksis dari pemberontakan tersebut dapat dipahami. Menyalakan api pada mobil-mobil juga merupakan sebuah cara yang efektif untuk membangun barikade secara gencar, sekaligus cara yang baik untuk memancing polisi agar hadir di area-area tertentu, di mana mereka kemudian diserang dengan lemparan batu dan molotov, dan darinya pula para perusuh dapat melarikan diri dengan relatif mudah, untuk kemudian saling bertemu kembali di satu tempat lain dan memulai kembali permainan (sebuah dinamika yang banyak dilakukan saat menyabotase gardu-gardu listrik yang membuka malam-malam awal pemberontakan).

Fakta bahwa pola pandang seperti yang dipaparkan di atas tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius oleh kebanyakan orang (termasuk kelompok-kelompok Kiri) jelas cukup mengejutkan. Poin terpenting yang harus dipahami, bagaimanapun juga, adalah pentingnya teritori sebagai ranah pertempuran untuk semua konflik yang hadir saat ini dan yang akan datang. Dalam sebuah masyarakat yang mendasarkan dirinya pada sirkulasi uang, informasi, orang-orang dan barang-barang, manajemen teritori menjadi satu hal penting dalam operasi-operasi yang dilakukan oleh kekuasaan. Sebagai contohnya, sirkulasi lalu lintas jalananlah yang telah perlahan-lahan membunuh kita semua dengan racun polusi, khususnya di area-area metropolitan di mana ruang-ruang urban direduksi menjadi tempat pemberhentian dan zona-zona layanan yang mengalienasikan semua orang. Realita yang asimetris, merendahkan martabat dan membunuh perlahan-lahan itulah yang benar-benar membunuh semangat kehidupan, di mana berbagai teritori dibuat lebih dan lebih sebagai lokasi yang tak akan dapat diakses dan dimasuki oleh mereka yang tak dapat dipaksa menjadi sebuah produk (dan karenanya mereka kemudian termarjinalkan).

Pada saat yang sama, teritori dan lalu lintas telah menjadi faktor-faktor strategis penting dalam perjuangan dewasa ini dan di masa depan, dengan penyebarluasan praktik-praktik seperti blokade jalanan dan sabotase, penemuan cara-cara hidup baru dalam teritori tertentu dan penghancuran apapun yang menghasilkan efek anti-kehidupan. Tentu saja kita tidak tahu apabila para pembakar mobil tersebut paham akan hal ini atau tidak. Kita juga tidak tahu apakah kita ternyata memandang lebih kemarahan mereka. Tetapi apa yang pasti adalah bahwa di balik perilaku destruktif mereka yang negatif tersimpan sebuah perilaku positif dalam cara mereka membangun relasi hidup yang baru antar manusia, yang disamping hanya terus menerus mereproduksi bahasa dan gerak, mereka telah membawa kompleksitas dan solidaritas yang murni di tengah kerusuhan. Inilah sebuah perilaku positif yang tak dapat lagi direduksi melalui berbagai representasi yang berusaha diterapkan oleh kekuatan-kekuatan musuh, terhadap mereka yang konsekwensinya dianggap vandal, bodoh dan tak bermakna. Kami tidak mengelaborasi sebuah imaji neo-realis mereka yang termarjinalkan. Apa yang berusaha kami lakukan adalah, sekali lagi, mempertanyakan pada diri kita sendiri tentang apakah kita memang mampu untuk hidup di sebuah ruang dan teritori dengan cara yang berbeda sebagai sebuah upaya dalam merespon dan memperdalam perjuangan melawan dominasi, agar dapat diletupkan dalam keriangan dan radikalitas. Toh pada kenyataannya, mereka yang dianggap “sampah”, bodoh, tak berpendidikan, lumpen proletariat, adalah mereka juga yang memberi kita (yang sering dianggap lebih sadar kelas, berpendidikan dan progresif) sebuah pelajaran terbaik dalam melakukan insureksi urban beserta seluruh kritiknya atas masyarakat modern, dan bukankah kritik terbaik adalah melalui apa yang dilakukan, bukan sekedar dikatakan atau dituliskan?

Catatan:
[*] Karya aslinya berjudul Le notti della collera: Sulle recenti sommosse di Francia oleh Filippo Argenti. Tulisan tidak diterjemahkan langsung, melainkan diadaptasi dengan tidak meniadakan isi dan esensi, atas dasar persoalan transformasi bahasa yang rumit menuju bahasa Indonesia, dari translasi bahasa Inggris berjudul Nights of Rage: On the recent revolts in France oleh Barbara Stefanelli. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rikki Rikardo.

0 komentar:

Posting Komentar