Reuben Augusto
Saya pernah merasakan bagaimana getirnya di tampar oleh Marxisme-Leninisme semasa menjadi mahasiswa dan menjadi idiot yang dikendalikan oleh benang-benang yang hampir kasat mata. Mengatur saya sebagai boneka, tentang apa yang boleh dan tidak bisa saya lakukan. Mengatur semuanya atas dasar bahwa mereka telah jauh lebih paham tentang apa yang sebenarnya yang kita butuhkan. Atas nama representasi, mereka secara sepihak menjadi lebih berkuasa terhadap saya dibanding dengan diri saya sendiri. Ironisme akut yang pernah saya kenal sebagai ideologi revolusioner, gelora kepalsuan yang binar-binarnya meski imitasi pernah menyihir untuk beberapa waktu. Jauh lebih dari itu, saya bahkan bisa dianggap sukses karena kemudian mendapatkan "karir politik" dengan menduduki jabatan sebagai pimpinan kota organisasi mahasiswa Kiri. Itu semua masih dilanjutkan dengan pemindahan saya secara permanen ke sektor buruh dan menduduki posisi sebagai sekretaris organisasi tingkat wilayah sebagai tahap lanjut atas kesuksesan mengunyah secara membabi buta semua kebohongan tentang diktatorian proletariat. Saya juga pernah mendatangi dengan penuh semangat beberapa "basis" untuk kemudian menunaikan tugas mesianik sebagai gembala. Menjadi seorang organiser yang ditugaskan "menyadarkan sekaligus memimpin" orang-orang tersebut. Seperti wayang yang menjadi dalang untuk wayang yang lain. Sebelum kemudian memutuskan mengatakan dengan tindakan: Ya Basta! Cukup dan saya memutuskan keluar sebelum penyakit ini mencapai stadium akut.
Satu-satunya hal yang membuat saya cukup bangga dengan semasa menjadi mahasiswa adalah melakukan cukup banyak hal bodoh karena instruksi atas dasar kepatuhan terhadap hirarki dengan ilusi tentang transformasi sosial menuju kepada keadaan yang lebih baik. Dengan begitu, hari ini saya telah mengumpulkan lebih dari cukup bukti untuk membuktikan bahwa cita-cita tentang transformasi sosial yang hingga kini masih menjadi mode utama dari gerakan mahasiswa adalah omong kosong yang dangkal. Seperti yang dikatakan oleh salah satu artikel di jurnal Amor Fati #4 bahwa "mendefinisikan kemiskinan hidup kita, sesungguhnya telah mendefinisikan kembali apa arti kemakmuran. Meredefinisi bentuk protes adalah juga berarti meredefinisikan arti benar dan salah di hidup kita sendiri, tentang apa yang layak untuk kita perjuangkan." Sehingga menjadi penting untuk meredefinisikan kembali perubahan yang masing-masing kita inginkan. Bukan perubahan -meski bahasanya adalah revolusi- yang dangkal serta datang dipilihkan dari luar.
Bahwa aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai organisasi kemahasiswaan -entah itu termasuk intra ataupun ekstra kampus- mengumbar fakta rekuperasi akut atas semua metoda dan ide-ide tentang kehidupan alternatif di luar sistem kapitalisme. Sebuah pepatah Melayu "bahwa keledai sekalipun tak ingin jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya" sungguh tak pernah dijadikan pelajaran serius. Meskipun saya cukup sering mendengarkannya diulang-ulang oleh para tokoh, pimpinan dan aktifis-aktifis mahasiswa yang membaptis dirinya sebagai perwakilan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya, aksi-aksi yang repetitif dan mudah diterka telah bermutasi dari sekedar taktik menjadi mirip ritus dari sekelompok orang bodoh. Jauh lebih kronis adalah kenyataan bahwa organisasi-organisasi ini selalu menggantungkan frustasinya pada kapitalisme itu sendiri. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk membenarkan semua tindakan itu, ataupun mencoba menjadi otokritik terhadap semuanya. Namun seperti judul bab pembuka pada pamflet "On The Poverty of Student Life's" yang di tulis oleh Musthapa Khayati dan para mahasiswa di Strasbourg, Paris pada November 1966 bahwa "untuk membuat sesuatu yang memalukan menjadi lebih memalukan lagi adalah dengan cara mempublikasikannya."
Bahwa aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai organisasi kemahasiswaan -entah itu termasuk intra ataupun ekstra kampus- mengumbar fakta rekuperasi akut atas semua metoda dan ide-ide tentang kehidupan alternatif di luar sistem kapitalisme. Sebuah pepatah Melayu "bahwa keledai sekalipun tak ingin jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya" sungguh tak pernah dijadikan pelajaran serius. Meskipun saya cukup sering mendengarkannya diulang-ulang oleh para tokoh, pimpinan dan aktifis-aktifis mahasiswa yang membaptis dirinya sebagai perwakilan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya, aksi-aksi yang repetitif dan mudah diterka telah bermutasi dari sekedar taktik menjadi mirip ritus dari sekelompok orang bodoh. Jauh lebih kronis adalah kenyataan bahwa organisasi-organisasi ini selalu menggantungkan frustasinya pada kapitalisme itu sendiri. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk membenarkan semua tindakan itu, ataupun mencoba menjadi otokritik terhadap semuanya. Namun seperti judul bab pembuka pada pamflet "On The Poverty of Student Life's" yang di tulis oleh Musthapa Khayati dan para mahasiswa di Strasbourg, Paris pada November 1966 bahwa "untuk membuat sesuatu yang memalukan menjadi lebih memalukan lagi adalah dengan cara mempublikasikannya."
Sebab Gerakan Mahasiswa Hari Ini Adalah Sinetron Yang Menjijikkan
Karenanya Adalah Layak Jika Dihargai Dengan Penghinaan Yang Sama Menjijikkannya
Saya bisa dengan cukup berani untuk mengatakan bahwa gerakan mahasiswa di Manado, dan Indonesia pada umumnya adalah sebuah gerakan tambal sulam yang menyedihkan. Tidak hanya dalam aktifitasnya, melainkan jauh hingga ke dalam persoalan paling penting, yaitu mengenai cara melihat dan menganalisa posisi -yang pada akhirnya akan menentukan taktik yang akan digunakan- gerakan itu sendiri. Ketiadaan pembacaan sejarah yang memadai akibat kemalasan dan berkembangnya xenophobia yang disebarkan di antara mereka sendiri membuat keterjebakan yang disengaja pada titik yang pada kenyataannya tidak cukup untuk merubah apapun hari ini -dalam pengertian yang radikal dan tidak reformis- dan pada gilirannya selalu berputar-putar pada hal-hal remeh yang juga merupakan refleksi dari ideologi dominan yang berkembang di dalam kelompok-kelompok mahasiswa tersebut. Sesuatu yang tidak bisa disangkal oleh organisasi mahasiswa apapun -baik itu LMND, HMI, PMII, GMNI, GMKI, GMPI, HMI-MPO, FMN, SMI, PEMBEBASAN, IMM, KAMMI dan berbagai jenis lain- bahwa mereka adalah bagian dari oposisi palsu sistem yang menjauhkan penyelesaian akar persoalan ketertindasan hidup hari ini dari sudut pandang yang revolusioner. Para oralis yang terkerangkeng pada detail-detail semata dan buta pada keseluruha. Banyak dari mereka telah menyadari sejak awal hal ini dan terus dipertahankan sebagaimana mereka menentukan eksistensi hidupnya dari kejijikan-kejijikan yang ditebarkan oleh sistem hari ini. Sedang penyakit yang lain -dan ini fakta yang tak bisa disangkal- bahwa keselurhan organisasi mahasiswa di ilusi oleh kepercayaan bodoh dan naif tentang masyarakat massa.
Banyak dari para aktifis mahasiswa adalah agen-agen dari ideologi Kiri -entah itu Leninisme, Maoisme, Tan Malakaisme, Islam Kiri, Marhaenisme, Trotskyisme, Kiri Hijau dan berbagai varian yang lainnya- yang bekerja dengan serius untuk menjaga tidak adanya "kebangkitan" secara esensial. Hal itu tentu saja akan berbahaya dan dapat menjadi serangan yang efektif yang dapat membongkar topeng kebohongan propaganda yang ditebarkan oleh para "reformis yang mencita-citakan memperbaiki sistem dengan mengganti pemimpin yang gagal dengan pemimpin yang tepat". Sedang sebagian yang lain -dan tentu sama bodohnya- adalah para fundamentalis sayap kanan yang terobsesi secara fanatik sehingga tak diragukan lagi potensi mereka sebagai pengusung fasisme kontemporer yang "baik". Masih ada lagi sekelompok lainnya -terutama di organisasi seperti pecinta alam, musik dan teater- yang hidup dalam kultus konyol tentang independensi yang sebenarnya adalah tak lebih dari tragedi sikap yang menyedihkan.
Lagipula diskursus yang berkembang di kalangan mahasiswa sampai saat ini tak mampu keluar dari kedangkalan spesialisasi akademis yang hanya terjebak pada glorifikasi fakta-fakta tanpa mampu melihatnya sebagai sebuah kaitan dengan relasi hidup hari ini dalam masyarakat secara keseluruhan. Segala sesuatu tentang tatanan masyarakat telah dikupas habis tanpa pernah menyentuh basis utama dari pertanyaan tentang apakan tatanan masyarakat itu sendiri. Para mahasiswa gagal melihat secara utuh dan mendasar dari semua detil hidup hari ini sehingga terjebak pada separasi yang akut. Ini masih belum selesai dengan reifikasi dari spektakularisasi kapitalisme yang membuat para mahasiswa masing-masing mendapatkan peran sementara dalam sebuah kepasifan umum sebelum mendapatkan peran utama dalam kepasifan total yang akan mendukung sirkulasi komoditi dan keuntungan kapital. Masing-masing mereka diceraikan dari kenyataan historis, sosial dan individual yang membuat mahasiswa tersalib di antara status sosial hari ini dan status sosial masa depan yang tak pasti.
Mahasiswa-mahasiswa dan semua bentuk organisasi hirarkis yang dikreasikan untuknya pada dasarnya adalah tempat berlindung dari ketidakmampuan mereka merebut kendali atas hidupnya. Hal ini terbukti dari perayaan yang glamor dan dangkal dari masa muda dengan berbagai label yang pada esensinya tidak juga merubah atau mempengaruhi apapun selain keterjebakan yang semakin dalam sebagai fundamen penyokong berjalannya sistem. Dengan utopi-utopi naif seperti "penerus bangsa", "agent of change", "pewaris peradaban" menunjukkan bahwa di balik pembangkangan-pembangkangan palsu yang dilakukan, sebenarnya mereka tak lebih seperti tokoh protagonis dalam sinetron murahan yang justru akan mengeluh ketika mereka tak lagi dilecehkan oleh sistem. Sebab terbukti bahwa kehidupan yang mereka nilai berharga adalah kehidupan yang penuh pelecehan dari sistem ekonomi kapitalisme -tak soal apakah itu kapitalisme liberal ataupun kapitalisme negara. Kebanggaan mereka adalah pemerkosaan yang nyata-nyata dilakukan oleh negara dan kapitalisme atas mereka, namun dengan penuh kedangkalan mereka justru menunjuk-nunjuk ornamen-ornamen yang tidak esensial. Hasrat perubahan mereka adalah hasrat komoditi sebagai hasil konstruksikan oleh sistem. Dan kehidupan mereka yang miris ini adalah miniatur dari berbagai kemirisan yang dialami oleh masyarakat hari ini dalam setiap aspek kehidupannya.
Dan gerakan mahasiswa adalah cerminan paling realistis dari ketidakmampuan mereka untuk keluar dari rekuperasi hidup harian. Bahwa mahasiswa dan gerakan yang dilakukannya adalah bentuk nyata dari betapa mereka merasa nyaman hidup dalam alienasi sehingga dengan sabar mereka terus saja tunduk pada dua jenis otoritas yang paling kuat mengikat leher mereka, yaitu negara dan keluarga. Sehingga mereka memang telah mengetahui bahwa kehidupan mahasiswa hari iniadalah bentuk persiapan yang logis menuju terinternalisasinya mereka sebagai generasi pekerja berikut. Inilah karakter paling nyata dari gerakan mahasiswa, yaitu dengan identitas kemiskinan sosial yang akut beserta keterlambatan-keterlambatan di setiap responnya yang reaksioner dan ini memang telah sangat disengaja. Sehingga dalam segala cara -apapun bentuknya- mahasiswa tak dapat menyangkal bahwa setiap tindakan -dan tentu saja pada akhirnya gerakan yang mereka lakukan, apakah itu gerakan moral ataupun gerakan politik- yang mereka lakukan mencerminkan dengan jelas karakteristik borjuisme yang melekat.
Maka kampanye gerakan pembebasan mereka tak lebih dari penyakit liberalisme yang berjangkit selayaknya para borjuis yang lain. Namun yang lebih menyedihkan adalah bahwa mereka -meski banyak dari mereka dengan pasti dengan menyadari- berupaya menopengi semua itu dengan berpura-pura paling ideologis dibandingkan dengan proletar kebanyakan lain -bersamaan dengan itu membenarkan kedangkalan pemahaman mereka yang menyembah ideologi-ideologi dan bukannya memperjuangkan totalitas hidup mereka sendiri. Dalam krisis individual yang kronis tersebut, mereka masih saja mencari pembenaran-pembenaran historis yang kosong untuk membenahi bahwa terjadi perubahan semenjak keterhisapan mereka sebagai satu bagian dari rantai pabrik sosial yang mereproduksi para pekerja untuk keberlangsungan akumulasi kapital.
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) misalnya di sini -di Manado. Bisa dikatakan bahwa dua organisasi mahasiswa ini adalah contoh dari kelompok yang bisa dituduh bertanggung jawab atas kepasifan yang terjadi. LMND yang dengan idiotnya memperbudak diri pada kebohongan-kebohongan Leninisme serta PMII yang masih berputar-putar pada absurditas Tan Malakaisme dan Islam transformatif yang dangkal telah menunjukkan kegagalan-kegagalan utama dari tesis vanguardisme -kepeloporan- serta dialektika yang tidak dialektis karena usangnya metoda yang mereka gunakan, namun dengan keras kepala dan kesombongan sebagai parasit tanpa rasa malu yang adalah sifat dasar organisasi tersebut terus mereka pertahankan. LMND yang tak bisa keluar -karena atas dasar kepatuhan pada hirarki kiri-isme- dari doktrinasi Partai Rakyat Demokratik (PRD) hanya menghasilkan buntut-isme dari doktrin-doktrin ideologis yang konyol ala Marxisme-Leninisme, sementara PMII yang juga terjebak dalam tarik menarik lingkaran Nahdlatul Ulama (NU) -yang keseluruhannya praktiknya hanya menampakkan kegamangan yang tragis- sebagai induk semang membuat kedua kelompok mahasiswa ini dengan sengaja mengurung diri dalam sebuah dunia kecil yang tertutup dengan keterputusan dari perjalanan sejarah yang -tidak hanya mengubah wajah masyarakat- pada akhirnya membenarkan semua kritik terhadap institusi perkuliahan sebagai ruang verbal yang berisik dan hanya memproduksi polusi intelektual dengan logika terbalik -merumitkan hal-hal sepele namun menyepelekan hal-hal esensial. Maka dapat saya katakan di sini dengan lebih terang lagi bahwa organisasi mahasiswa hanyalah sebuah ruang oral antar spesialis yang sedang mematangkan dirinya sebagai elemen konservatif dari piramida masyarakat kapital hari ini. Dan dapat dikatakan juga bahwa setiap aksi revolusioner yang telah melampaui semua itu akan menemukan bahwa gerakan mahasiswa adalah satu dari jenis lelucon yang buruk.
Permasalahan karir-isme yang berkembang dalam organisasi mahasiswa -dan dengan begitu menjadi salah satu karakter dari gerakan yang dilakukan kemudian- adalah satu lagi ilusi tentang penanda tercapainya "kemajuan" dalam perkembangan kehidupan sebagai aktifis gerakan. Ran Prieur menuliskan kemajuan sebagai "pusat kebohongan dari kebudayaan kita dan ada ilusi-ilusi serta fantasi-fantasi mengenainya di mana-mana". Hal ini dapat terlihat lebih jelas pada dunia kerja yang setelah kelulusannya sebagai mahasiswa -yang lagi-lagi ditentukan oleh sebuah otoritas di luar kekuatan mahasiswa itu sendiri- di mana seseorang harus memulai dari "tingkat paling bawah" dan berupaya dengan bekerja keras hingga di ambang batas kegilaan yang telah menjadi kewarasan untuk mencapai "kenaikan tingkat". Tentu saja kebohongan-kebohongan yang telah mereka kunyah dan telan mentah-mentah akan di reproduksi kembali dalam berbagai bentuk -sebagai contoh dalam lingkungan bergaul atau ketika mereka menikah. Maka ini dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan usang mengenai senioritas dalam relasi antar mahasiswa sebagai aplikasi nyata kejahatan yang tengah dijalani oleh mereka -yang di sebabkan oleh negara dan kapital dan bagaimana mereka menyambung kejahatan itu kepada pihak-pihak lain. Para mahasiswa yang telah sampai di "tingkat atas" yang absurd tersebut setelah mencapainya dengan bersusah payah akan memiliki banyak prasyarat dan ritus-ritus konyol sebagai resep manjur kepada mereka yang masih berada di tingkat bawah tentang bagaimana mencapai "puncak" tersebut. Yang dikejar dari tingkatan-tingkatan itu adalah privilese konyol kaum minoritas sebagaimana hari ini sebagian kecil orang hidup dari hasil penghisapan nilai kerja keras mayoritas yang lain.
Sementara mereka berkelit pada kebebasan semu yang pada kenyataannya adalah bentuk dari totalitas kontrol oleh negara dan kapital, dan kemudian "sedikit berbaik hati" menyediakan sebuah ruang kecil bebas yang oleh mahasiswa disalah artikan sebagai indepedensi. Penyakit yang juga mewabah dan berjangkit luas hingga berefek pada kebingungan untuk meletakkan sikap individual dan mengambang pada ruang hampa yang ironis. Dengan jelas dapat terbaca adanya ketakutan historis untuk meletakkan diri pada pertempuran frontal melawan negara dan kapital pada sisi yang berhadap-hadapan. Dengan sengaja melarikan diri dalam pertempuran yang membuat mereka juga ikut menjadi korban -namun layaknya para pembohong, mereka akan terus menyangkal semua fakta tersebut.
Dan mereka menamakan semua dusta itu sebagai kultur mereka. Melegitimasi spectacle dalam keseluruhan aktifitas hidup harian mereka dan berarti memberikan diri secara sadar untuk dijadikan kelinci percobaan dari totalitarianisme kapital dengan tingkat resiko mematikan. Menggantungkan diri pada setiap sensasi kejadian yang diselenggarakan oleh kapitalisme dan negara dan akan merasa janggal dan kesepian jika itu dihentikan. Inilah kaum yang dengan begitu gembira diperkosa dan bangga mempermalukan diri sendiri. Kaum parasit yang bahkan terus mendapatkan bayaran dengan harga murah oleh orang tua mereka yang juga tergadai dalam kerja upahan. Kaum pemalas genit untuk dukungan aktif terhadap eksploitasi, karena memang mahasiswa adalah avant garde untuk setiap kepasrahan terhadap pelecehan. Atau mari sekalian kalungkan gelar sebagai kaum nekrofilik atas semua utopi mahasiswa tentang hidup yang baik-baik saja di bawah kapitalisme dan negara.
Karenanya Bukan Organisasi Yang Membosankan,
Melainkan Permainan Total Yang Menyenangkan
Benar bahwa satu-satunya bentuk relasi sosial yang tersisa untuk kita kenali hari ini adalah bentuk yang hirarkis, dominatif dan koersif, karena hampir semua alternatif di luar apa yang diajarkan kepada kita oleh masyarakat hari ini telah dibakar habis. Mereka mengharapkan tak ada celah sekecil apapun bagi setiap kita untuk dapat menemukan ruang hidup yang lebih egaliter, horisontal serta bebas dominasi dan kontrol. Namun hampir semua bukan berarti tidak ada lagi terbuka kemungkinan, sebab yang mengatakan hal seperti itu adalah mereka yang sudah berada di dasar lubang galian keputusasaan dan sedang menanti kematian mereka ditentukan. Kita masing-masing orang masih punya lebih dari sekedar cukup untuk mengambil kepunyaan kita, yaitu hidup. Masih punya harapan yang realistis untuk menuntut yang tidak mungkin. Masih memiliki daya hancur dinamit untuk menegasikan pilihan-pilihan biner dan semu yang menutupi hidup. Memungkinkan untuk mendapatkan satu-satunya petualangan yang tersisa di masyarakat hari ini yang sudah menghapus semua petualangan yang mengasyikkan, yaitu penghapusan masyarakat itu sendiri. Permainan menantang yang membutuhkan keseriusan dengan taruhan tertinggi.
Permainan dalam definisi saya tentu saja adalah sebuah aktifitas kreatif yang liar dan dalam tensi kebebasan tertinggi. Sebuah kegiatan yang tidak tersubordinasi dalam mekanisme angka seperti yang terjadi dalam mekanisme kerja upahan hari ini. Aktifitas besar ini merupakan gabungan secara sukarela dari aktifitas individu-individu dengan persentuhan yang alamiah. Permainan ini tidaklah berorientasi pada hasil seperti pemahaman terhadap permainan hari ini. Melainkan sebaliknya, permainan ini mesti bertumpu pada proses sehingga menegasikan bahwa harus ada yang menjadi wasit yang menjaga aturan-aturan. Keterlibatan-keterlibatan dan semua pergesekan yang terjadi di dalamnya adalah benturan-benturan yang pada akhirnya menjawab soal kebutuhan sosial.
Dan pengalaman historis telah mengajarkan bahwa format organisasional yang hirarkis sama sekali tidak mengubah apapun, justru sebaliknya semakin memperburuk karena mengaburkan esensi persoalan dan menjebak pada persoalan yang artifisial semata. Jika mau menengok ke belakang, kita akan menemukan bahwa gerakan mahasiswa pada Mei 1998, adalah bukti terakhir yang menunjukkan kegagalan metoda kuno -yang reformis dan pengecut- dalam perlawanan terhadap perampasan hidup oleh totalitarianisme ekonomi. Silahkan mengurut lebih jauh ke belakang, dan akan terlihat jelas bahwa yang tersisa hanyalah pengkhianatan demi pengkhianatan serta kegagalan yang berulang. Itu berarti bahwa menggunakan metoda yang sama membuka potensi terjebak pada kekalahan yang sama. Sesuatu yang seharusnya tidak mesti terjadi jika kita mau menjadikan masa lalu sebagai bahan evaluasi dan landasan untuk menemukan kesesuaian taktik terkini yang mampu melampaui bentuk-bentuk klasik metoda gerakan sebelumnya. Kita mesti melangkah lebih jauh, meninggalkan interupsi-interupsi sosial yang menjebak dan membatasi totalitas pandangan kita terhadap keseluruhan detail kehidupan hari ini yang saling berhubungan.
Jika kegagalan yang terjadi di masa lalu adalah karena yang dimengerti sebagai revolusi dan semua taktik-taktik perjuangan telah menjadi sedemikian kaku, repetitif dan membosankan akibat "standar tunggal" kaum Kiri, mestilah membuat kita mengambil sikap untuk segera melakukan detournement terhadapnya menjadi permainan besar dengan melibatkan lebih banyak orang yang tentu saja mengasyikkan bagi setiap kita. Bahwa revolusi haruslah yang menjadi permainan yang membuat setiap orang mendapatkan dirinya bermain secara serius dengan kemampuan terbaik dan energi kreatif yang besar dan melimpah. Menghancurkan sentralisme revolusi ke dalam potongan-potongan kecil yang dapat didistribusikan sebagai otonomi total kepada masing-masing orang. Revolusi kita akan berupa sebuah pementasan besar di mana tak ada yang menjadi penonton dan tak ada satu atau sekelompok kecil orang yang menjadi sutradara. Pementasan dengan begitu banyak keragaman cerita di dalamnya dan masing-masing kita adalah pemeran utama dalam cerita yang liar dan bebas tanpa kontrol untuk memaksimalkan totalitas hidup yang di jalani.
Kelemahan-kelemahan organisasi mahasiswa hari ini -yang memang akan selalu direkuperasi- kemudian menjadi penting untuk dianalisa dan dikritik secara cermat dan mendalam. Bahwa setiap tindakan dan pola pikir kita adalah hasil replikasi dari pola masyarakat hari ini. Untuk itu, kita mesti menempatkan diri melampaui itu semua untuk membuka kemungkinan baru tentang hidup yang jauh lebih sehat. Harus memulai dengan berani berbagai metoda alternatif di luar organisasi dengan kelompok-kelompok yang non hirarkis dan desentralis. Meski berhadapan dengan kegagalan-kegagalan, yang terutama adalah memperlakukannya sebagai bahan untuk menemukan metoda baru. Hari ini bukan lagi saat untuk merealisasikan teori-teori tentang revolusi dalam praktek, namun mengarahkan setiap praktek revolusi untuk menemukan teorinya sendiri.
Perjuangan menghidupi hidup harus dapat melompati revolusi yang ala kadarnya yang dipicu oleh kegamangan jati diri, pencarian identitas dan periode-periode yang temporer. Mesti ada keseriusan dalam permainan simultan untuk menjungkirbalikkan keseluruhan bangunan masyarakat hari ini. Semuanya, tanpa ada yang mesti di sisakan. Serangan sekaligus tanpa interupsi. Jika tidak, maka revolusi hanya akan sekedar terperangkap sebagai fenomena sosial dan gejolak-gejolak yang temporer dan mudah melenyap. Dan yang tersisa kemudian adalah generasi kalah yang menyembunyikan semua kegagalan-kegagalan mereka, dan menjadi pagar penghalang berikut untuk mereka yang masih ingin melompati hidup yang sekedarnya.
Permainan yang akan menggantikan revolusi -selain harus berbahaya- mestilah melangkah lebih dalam dengan mengusung sikap nihilistik terhadap tawaran-tawaran untuk tetap mempertahankan bentuk masyarakat hari ini. Permaian yang mengusung berbagai metoda aksi langsung dengan serangan-serangan langsung yang berbahaya terhadap properti korporat dan negara. Mengarahkan eksekusi-eksekusi yang frontal dari setiap borjuis dan mengantar mereka menuju kematian mereka yang tragis di tiang gantungan di tengah-tengah lapangan revolusi. Permainan gembira yang keras yang membakar, merusak dan menghancurkan simbol-simbol dan properti ekonomi kapital dan negara. Vandalistik yang riang untuk membalas setiap waktu, tenaga dan mimpi yang tergadaikan di bawah mekanisme kerja upahan.
Sebab persoalannya adalah meninggalkan pemahaman bahwa Kiri akan jauh lebih baik dari Kanan. Ini adalah kebohongan propaganda para birokrat partai Komunis dan keseluruhan kaum Kiri yang terobsesi dengan kekuasaan. Sebab tak ada kemungkinan untuk mereformasi kapitalisme dan negara. Hidup hanya mungkin jika keduanya dieliminasi sekaligus.
Apabila kalian menganggap tawaran ini sebagai sesuatu yang dangkal dan tidak substansial, maka itu membenarkan bahwa kalian adalah orang-orang yang telah dikebiri sehingga lumpuh total dalam kedangkalan sistem "kerja upahan". Persoalannya, karena perjuangan vital ini -menyangkut hidup masing-masing orang- tidak bisa diwakilkan kepada siapapun. Seorang Sapri Dg. Serang, petani Polombangkeng, Takalar yang dirampas tanahnya oleh negara dan korporasi, menegaskan dengan jelas bahwa pemimpin hanya membuat mereka lemah. Itu mengapa setiap orang semestinya membawa dirinya sendiri.
Di publikasikan pertama kali dalam ANTAGONIS #00 – Januari 2011
0 komentar:
Posting Komentar