Socialisme ou Barbarie [Bagian 1]


Sebuah Kelompok Revolusioner Prancis (1949-1965)

Marcel van der Linden[1] 

Dalam kenangan terhadap, Cornelius Castoriadis, 11 Maret 1922 – 26 Desember 1997


Dari LEFT HISTORY 5.1 (1997). Alih bahasa oleh Yerry Nikholas. Pemeriksa aksara oleh Reuben Augusto 

Pengantar Penerjemah 
Berikut adalah kenang-kenangan penting bagi kelompok Socialisme ou Barbarie yang berbasis di Prancis. Di tahun 1960-an mereka menjalin hubungan dengan kelompok serupa di Inggris, Solidarity. Kelompok kelompok itu kini telah bubar. Dokumen penting Solidarity yang berjudul, As Wee See It, juga telah di-Indonesia-kan oleh penerjemah, silahkan mencarinya.

Socialisme ou Barbarie merupakan sebuah kelompok Marxis yang banyak memberi inspirasi kaum ultra kiri, kaum libertarian Marxis, kaum Komunis Sayap Kiri (Left Wing Communist), Council Communist, Anarkis Komunis, Otonomis Marxis/Anarkis (Squatteris, Otonomen, Tuthe Biance, Black Bloc), Sosialis Libertarian, Situasionis dll. Kiranya dokumen ini bisa di diskusikan dalam kalangan pergerakan dan bisa menjernihkan beberapa hal.

Dalam penerjemahannya saya sengaja membiarkan beberapa istilah yang saya rasa punya makna yang tak dapat tercakup dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Disamping itu, saya merasa kata-kata ini penting untuk penelusuran atau studi lebih lanjut. Saya juga menantumkan tambahan saya sendiri dengan -- penerj untuk membedakan dari keseluruhan terjemahan materi ini. 

Socialisme ou Barbarie:
Sebuah Kelompok Revolusioner Prancis (1949-1965) 

Pandangan politik dan teoritis yang dikembangkan kelompok radikal Sosialisme atau Barbarisme (Socialisme ou Barbarie) sejak tahun 1949 hingga seterusnya, baru belakangan ini mendapat perhatian publik di luar negeri-negeri berbahasa Prancis.[2] Selama rentang waktu cukup lama sebenarnya keadaannya tidak terlalu berbeda di Prancis. Kelompok ini bersama jurnal periodiknya yang diberi nama sama juga tidak terlalu memperoleh banyak perhatian. Keadaan ini baru berubah setelah pemberontakan mahasiswa dan buruh Prancis di bulan Mei hingga Juni tahun 1968. Berkas-berkas jurnal, yang dulunya tidak laku –jurnal tersebut berhenti terbit tiga tahun sebelumnya– tiba-tiba menjadi barang yang sangat laris. Banyak ide-ide "menyimpang" yang tertera di sana seakan memperoleh pembenaran lewat pemberontakan yang tak terduga itu. Di tahun 1977 surat kabar Prancis, Le Monde, menuliskan mengenai upaya intelektual Socialisme ou Barbarie: "Karya ini –meski tidak dikenal publik secara luas– paling tidak memiliki pengaruh kuat terhadap kelompok-kelompok yang berperan di bulan Mei 1968." Dalam tulisan-tulisan kelompok ini, seseorang dapat menemukan "kebanyakan dari ide-ide yang saat ini marak diperdebatkan (dari masalah kontrol pekerja hingga kritik terhadap teknologi modern, mengenai Bolshevisme atau mengenai Marx).[3] 

Di dalam Socialisme ou Barbarie terdapat upaya untuk mempertimbangkan terjadinya proses birokratisasi gerakan sosial. Pertanyaan terpenting dalam hal ini: Apakah merupakan sebuah hukum alam bahwa gerakan melawan tatanan yang hadir saat ini akan tercerai berai atau beralih menjadi hirarki yang kaku? Bagaimanakah kaum militan mengorganisir diri tanpa mesti terhisap dan membeku menjadi aparatus yang birokratik? Socialisme ou Barbarie pertama-tama menghadapi pertanyaan-pertayaan ini karena kelompok ini bertanya pada diri mereka sendiri mengapa segalanya menjadi menyimpang dalam gerakan buruh tradisional selama ini. Memang dalam perjalanannya di abad kedua puluh pergerakan (gerakan buruh –penerj) ini telah semakin mengasingkan dirinya dari akar rumputnya sendiri dan membentuk birokrasi pekerja dan serikat buruh besar-besaran.

Sebagai reaksi atas perkembangan ini Socialisme ou Barbarie mencoba mendorong bentuk perlawanan baru. Pendekatan yang digunakan adalah demokrasi langsung. Sejarah kelompok ini secara esensial merupakan pencarian panjang sebuah hubungan baru antara spontanitas dan organisasi, antara praktek dan teori. Perdebatan yang berlangsung selama pencarian ini seringkali masih memiliki kesegaran yang relevan hingga saat ini.

Intelektual Socialisme ou Barbarie yang paling menonjol adalah Castoriadis dan Lefort. Cornelius Castoriadis lahir tahun 1922 dan belajar hukum, ekonomi, serta filsafat di Universitas Athena, Yunani. Sebelum Perang Dunia II, selama kediktatoran Metaxas, ia bergabung ke dalam organisasi pemuda Partai Komunis. Meski demikian, saat Jerman menduduki negeri ini dan Partai Komunis berkeinginan untuk mengabungkan diri bersama organ perlawanan kaum borjuis, Castoriadis menolak keputusan itu. Setelah sebuah periode pendek pencarian politik, ia akhirnya memilih untuk bergabung bersama sebuah Trotskyis kecil yang dipimpin Spires Stinas. Ini merupakan pilihan beresiko, karena saat itu kaum Trotskis Yunani terancam dari dua sisi. Kekuasaan pendudukan (Nazi-Jerman: penerj) mengejar mereka setiap saat dan tahun 1943 mengesekusi pimpinan paling penting mereka, diantaranya Pantelis Pouliopoulis dan Yannis Xypolitos.[4] Saat negeri itu "dibebaskan" tahun 1944, giliran kaum komunis memburu mereka. Selama "operasi pembersihan", Komunis membunuh paling sedikit 600 pengikut Trostkyis, seringkali dengan menyiksa mereka terlebih dulu.[5] Pengalaman traumatik inilah yang menjadi faktor yang menentukan dalam perkembangan Castoriadis selanjutnya. Pandangan kaum Trostkyis mengenai Stalinisme, yang diyakininya hanya untuk beberapa saat, nampak makin dan semakin kurang benar.

Kaum Stalinis bukan bagian dari gerakan buruh yang terhisap ke dalam kapitalisme, sebagaimana dikatakan Trotsky, namun birokrat, yang melawan kaum pekerja sekaligus kapitalisme! Ketika Castoriadis bermukim di Prancis mulai akhir tahun 1945 ia bergabung dalam Parri Communiste Internationale (PCI), sebuah cabang Prancis Internasional Keempat, yang saat itu memiliki beberapa ratus anggota. Dia dengan segera menyebarluaskan posisi barunya.

Claude Lefort merupakan rekan terpenting Castoriadis dalam membangun arus pembangkangan di dalam PCI. Lahir tahun 1924, Lefort masih berstatus mahasiswa filsafat saat bertemu Castoriadis untuk pertama kalinya. Sejak permulaan 1943, ia telah membentuk kelompok bawah tanah di Lycée Henri IV di Paris, meski demikian posisi kaum Trostkyis terhadap Uni Soviet dan Stalinisme tak pernah begitu meyakinkannya. Saat pertama kali mendengar pidato Castoriadis, Lefort sangat terkesan: "Analisanya memukau ku," katanya dalam sebuah wawancara. "Aku telah teryakinkan olehnya bahkan sebelum ia sampai pada kesimpulan. [...] Argumentasi Castoriadis menurut saya setaraf dengan yang dikemukakan Marx sendiri, namun kaum Trotkyis lain menyebutnya sebagai penyimpangan."[6] 

Sejak 1946 seterusnya Castoriadis dan Lefort bekerjasama. Seperti kebiasaan dalam gerakan Trotskyis, keduanya memiliki nama samaran. Castoriadis menggunakan nama Pierre Chaulieu, sedang Lefort sebagai Claude Montal.[7] Karena itulah mereka pertama kali dikenal sebagai tendensi atau kecenderungan Chaulieu-Montal.[8] 

Sejarah politik Castoriadis dan Lefort cukup jauh berbeda. Castoriadis pernah menjadi anggota Partai Komunis dan kemudian anggota organisasi Trotskyis. Di dalam dua pengalaman itu dia mengambil pandangan berlawanan selama menjadi anggota. Ia dengan demikian telah terbiasa dengan disiplin partai – paling kurang untuk sesaat. Di lain pihak, Lefort, tak punya pengalaman semacam itu. Dia menghabiskan beberapa tahun sebagai anggota sebuah organisasi partai dan sejak semula telah mengambil padangan berlawanan dalam gerakan Trotskis. Ide untuk mengidentifikasi diri dengan sebuah kelompok atau partai sejak awal sangat aneh baginya.[9] Perbedaan di antara keduanya menjadi semakin lebih kritis dalam perdebatan politik di kemudian hari. 

Jika menilik sedikit ke belakang seseorang dapat melihat bahwa periode awal setelah berakhirnya Perang Dunia II – hingga 1947 – merupakan tatanan yang berbeda dengan masa-masa setelahnya. Sebelum 1947 hubungan politik relatif terbuka dan fleksibel; di kemudian hari ini semua berubah untuk waktu yang lama. Ketegangan di antara kedua kekuatan negara adi daya meningkat secara perlahan-lahan. Stalin belum merancang negeri-negeri Eropa Timur yang baru saja ditaklukan untuk mengikuti gaya Soviet dan Presiden Amerika Serikat, Truman, belum memutuskan untuk menggunakan potensi ekonomi raksasa Amerika sebagai senjata melawan komunisme.

Di Eropa Barat perang telah menyebabkan peralihan kuat ke arah kiri. Partai-partai Komunis menjadi lebih popular dibanding sebelumnya. Presentase perolehan suara mereka kerapkali tumbuh berlipat ganda dari jumlah sebelum perang: terjadi pula peningkatan dalam jumlah keanggotaan partai. Setelah tahun-tahun penuh penderitaan dalam depresi ekonomi dan peperangan, masyarakat mengharapkan kemajuan dan reformasi sosial. Pengikut komunis telah diangkat ke dalam pemerintahan di banyak negeri Eropa. Awal 1947, Austria, Belgia, Prancis, Italia, Islandia dan Finlandia semuanya memiliki menteri-menteri Komunis.

Tahun 1947 ko-eksistensi relatif damai ini berakhir. Hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet telah beberapa waktu memburuk. Masalah-masalah ekonomi muncul ke permukaan di Eropa Barat. Sementara pada saat bersamaan ekonomi Amerika berada di dalam bahaya karena terlampau panas dan sedang kalut mencari pasar baru. Dalam keadaan seperti inilah George Marshall, Menteri Luar Negeri AS, mengembangkan rencana untuk menawarkan Eropa sebuah program bantuan yang berarti. Dengan cara demikian sejumlah tujuan dapat dicapai secara bersamaan: kekuatan kapitalisme di Eropa akan meningkat; kapital Amerika mendapatkan saluran ekspor; dan pengaruh komunis dapat dipukul balik. Rencana Marshall (Marshall Plan) menandai titik balik yang membawa perubahan konstelasi internaional. Di negara-negara Eropa Barat, menteri-menteri komunis ditendang dari posisinya. Di Eropa Timur transformasi politik dan ekonomi ke arah "demokrasi rakyat" diterapkan, yang berarti bahwa masyarakat-masyarakat ini mulai semakin mirip masyarakat Soviet. Polarisasi di antara kedua blok yang berkuasa mulai mendominasi perkembangan: Perang Dingin pun dimulai.

Di Prancis lingkaran borjuis dengan gembira menggunakan kaum Komunis bersama pengaruhnya yang besar di dalam federasi besar serikat buruh (CGT) segera setelah berakhirnya pendudukan Jerman. Dengan memperbolehkan komunis membentuk pemerintahan bersama kaum Sosial Demokrat dan Demokrat Kristen di tahun 1945, Charles de Gaulle – yang saat itu menjadi perdana menteri untuk waktu yang singkat di bulan November – berharap dapat mendisiplinkan kaum pekerja. Monnet Plan (Rencana Monnet), yang mengatur masalah rekonstruksi, didukung kalangan Kommunis (PCF – Partai Komunis Prancis). Harian The New York Herald Tribune menulis pada 12 Juli 1946: "Kunci suksesnya rencana ini, yang sedang dipertimbangkan, adalah kerjasama antusias dari Partai Komunis Prancis." 

Komunis mendominasi serikat-serikat buruh yang paling penting di dalam CGT, federasi serikat buruh Prancis terbesar. Kepemimpinan Komunis bertanggung jawab atas langkah mengejutkan seperti penerimaan serikat buruh utama Prancis terhadap segala penyesuaian sistem pengupahan, dimana tiap pekerja dibayar berdasarkan jumlah hasil produksinya. Kebijakan ini juga didukung kalangan Sosial Demokrat. Kebijakan dua partai "pekerja" Prancis ini membawa kepada turunnya tingkat upah dalam periode inflasi dan karenanya berkontribusi atas turunnya standar hidup pekerja.

Meski demikian kebijakan integrasi kaum Komunis tidak serta merta dapat mencegah kaum pekerja memperjuangkan kepentingannya. Bulan Januari 1946 pekerja percetakan yang menuntut kenaikan upah, melangsungkan pemogokan. Bulan Juli 1946, pekerja pos juga mogok. Dan bulan April 1947 terjadi pemogokan pekerja pabrik mobil Renault, yang telah dinasionalisasi beberapa tahun sebelumnya. Pemogokan terakhir inilah, di dalamnya pengikut Trotskyists memainkan peran menonjol (sebuah "kekacauan Gaullist-Trotskyist-Anarkis," menurut sekretaris CGT, Plaisance), memperlihatkan bahwa kaum Komunis mulai kehilangan kendali atas perkembangan politik kaum pekerja. Pada 30 April 1947 pemimpin Komunis Maurice Thorez menjelaskan kepada pemerintah bahwa PCF tak dapat lagi menyokong kebijakan harga dan pengupahan pemerintah. Ramadier, Perdana Menteri dari kubu Sosial Demokrat, yang berada di bawah tekanan Washington, menggunakan kesempatan ini untuk menendang kaum Komunis dari pemerintahan beberapa hari kemudian.

PCF dan partai Sosial Demokrat, SFIO kini semakin bersebrangan satu sama lain. SFIO, yang pro-Amerika dan berpatisipasi dalam sejumlah pemerintahan berikutnya, sangat dibenci oleh partai Komunis. Selama periode 1947-1949 terjadi gelombang pemogokan di seluruh negeri, yang saat itu didukung sepenuh hati oleh PCF dan CGT. Pihak Sosial Demokrat, di dalam kalangannya sendiri, mencoba meredam perlawanan pekerja. Secara keuangan mereka didukung CIA. Mereka berhasil memecah CGT dan membentuk federasi serikat buruh baru yang lebih "moderat" (Force Ouvriére). Meski kelompok ini tetap menjadi kelompok yang jauh lebih kecil ketimbang CGT, banyak anggota serikat buruh demoralisasi karena perpecahan ini. Dalam beberapa tahun saja lebih dari setengah anggota CGT memisahkan diri, menyisakan dua juta anggota sepanjang tahun 1950-an. Force Ouvriére dibentuk dengan beberapa ratus ribu anggota dan tidak pernah mampu meningkatkan keanggotaan dari jumlah ini.

Perang Dingin, pulihnya kembali perekonomian di tahun 1950-an dan persengketaan antara dua partai "pekerja" dan serikat buruh, berakibat kepada turunnya militansi: semangat radikal menguap. Di tahun 1947 terdapat lebih dari 22 juta orang per hari setiap kali pemogokan; di tahun 1952 fenomena ini turun drastis menjadi hanya satu setengah juta per hari. Keadaan kaum sosialis radikal sangat payah. Tekanan politik yang besar didesakkan kepada semua jenis kelompok ekstrim kiri (kaum Council Communists, Trotskyists, Bordigis[10], dan lain-lain) untuk bergabung ke dalam satu kubu atau memilih yang lain: Washington atau Moskow. Mereka yang menolak pilihan semacam itu tidak akan didengarkan dan malah dianggap sebagai tersangka. Oposisi antikapitalis sepenuhnya dimonopoli kaum komunis. Tidak terdapat cukup banyak ruang bagi kaum revolusioner independen.

Isolasi menimbulkan akibat yang bertentangan. Di satu sisi hilangnya aktivitas praktek yang cukup sukses, menuntun penekanan diberikan lebih besar kepada permasalahan teoritis-programatis. Secara alamiah hal ini berakibat pada perbedaan pendapat dan cukup sering berakhir pada konflik yang besar dan bahkan perpecahan. Di sisi lain hal ini menimbulkan kebencian terhadap dunia "luar" menyatukan kelompok ekstrim kiri, menghasilkan jalinan kerjasama ketimbang perselisihan politis. Terjadi semacam "dialektika" pemisahan dan penyatuan.

Situasi yang berubah ini juga menuntun pada perdebatan panas di dalam tubuh gerakan Trotskyist internasional, khususnya mengenai Eropa Timur. Tidak terlalu mendesak untuk masuk ke dalam diskusi ini secara detil; yang perlu dicatat adalah terdapat kelompok minoritas di sejumlah negara yang menolak menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "masyarakat transisi" antara kapitalisme dan sosialisme, sebagaimana diyakini Trotsky. Kelompok minoritas ini menganggap baik Timur dan Barat merupakan sistem eksploitasi dan represi yang sama-sama tercela. Di Amerika Serikat pandangan ini dibela oleh kelompok yang dikenal sebagai tendensi Johnson-Forest. Johnson merupakan nama samaran tokoh revolusioner kulit hitam C.L.R. James, Forest merupakan nama samaran Rae Spiegel (a.k.a Raya Dunayevskaya), seorang mantan sekretaris pribadi Trotsky. Di Inggris pandangan oposisi di dalam gerakan Trotskyist dikumandangkan Ygael Gluckstein dari Palestina, yang beroperasi dengan nama samaran Tony Cliff. Di Prancis adalah Castoriadis dan Lefort dengan tendensi Chaulieu-Montal[11] yang menyuarakan pandangan oposisi terhadap sudut pandang lama tersebut. Semua penentang ini meninggalkan organisasi Trotskyist internasional, Fourth International, antara 1948 dan 1951 untuk membentuk kelompok sendiri. Mereka memelihara hubungan secara rutin satu sama lain. Castoriadis dan Dunayevskaya masih bekerja sama di tahun enam puluhan.[12] 

Pada bulan Agustus 1946 Castoriadis dan Lefort menerbitkan artikel berjudul "On the Regime and Against the Defence of the USSR" didalamnya mereka mengkritik analisa kritis yang positif mengenai Uni Soviet. Mereka terutama menolak ide masyarakat Stalinis - meski beberapa kekurangan juga diakui kaum Trotskyist (terutama sekali ketiadaan demokrasi)- mesti tetap dibela melawan kapitalisme. Castoriadis dan Lefort memaparkan bahwa suatu kaum elit baru, "lapisan sosial" baru birokrat, telah meraih kekuasaan di Uni Soviet dan kaum elit ini secara eksklusif membela kepentingannya sendiri ketimbang membela kaum pekerja Soviet. Dengan alasan ini Uni Soviet merupakan sebuah masyarakat baru, yang berekspansi layaknya kapitalisme barat.[13] 

Dalam tahapan selanjutnya Castoriadis dan Lefort meninggalkan karakteristik Uni Soviet sebagai sebuah masyarakat baru dan menggambarkannya semata-mata sebagai "kapitalisme birokratik". Menurut mereka masyarakat ini berlandaskan pada eksploitasi, namun tanpa hukum-hukum klasik mengenai kompetisi kapitalisme namun tetap terkait dengan tipe pembentukan nilai lebih kapitalisme.

Sejumlah artikel ditulis oleh kaum oposisi untuk meyakinkan rekan-rekan mereka di dalam gerakan Trotskyist. "Saat ini gagal dan tendensi Chaulieu-Montal kelihatannya gagal dan tetap saja berdiri sebagai minoritas kecil di dalam gerakan yang juga kecil," kaum pembangkang ini memutuskan untuk berpisah dengan Fourth International. Diakhir tahun 1948, sepuluh atau dua belas dari mereka meninggalkan organisasi.[14] Pada Maret 1949 kelompok tersebut menerbitkan majalah pertama mereka Socialisme ou Barbarie - sebuah jurnal yang dibuat cukup apik dengan seratus halaman atau lebih. Alasan mereka meninggalkan Fourth International sekali lagi dijelaskan dalam sebuah surat terbuka kepada anggota-anggota Fourth International yang telah mereka tinggalkan.[15] Trotskyisme dipandang sebagai gerakan tanpa kekuatan teoritik-politis karena tak mampu menemukan "basis ideologis yang independent bagi keberadaannya." Trotskyisme tidak dapat sepenuhnya membebaskan dirinya dari Stalinisme, karena ia terus mendefinisikan diri sebagai lawan Stalinisme.

Artikel utama di dalam penerbitan perdana ini adalah tulisan panjang berjudul "Sosialisme atau Barbarisme," yang memuat pernyataan mengenai posisi kelompok ini. Teks ini sebagian besar ditulis oleh Castoriadis.[16] Sebagaimana Marx ingin memberikan landasan programatik bagi Liga Komunis dengan menulis Manifesto Partai Komunis, demikian Castoriadis berupaya merumuskan landasan politik bagi sebuah organisasi baru "Socialisme atau Barbarisme." Dia mengambil situasi dunia, yang telah berubah secara mendalam sebagai akibat Perang Dunia II, sebagai titik berangkatnya. Dua "negara adi daya" telah membelah dunia diantara mereka: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keduanya memiliki kencendrungan ekspasionis dan berusaha keras mendominasi yang lain. Kenyataan ini mau tak mau menyebabkan Perang Dunia III, yang akan menghasilkan sebuah barbarisme bagi masyarakat internasional, kecuali kekuatan para elit di timur maupun di barat ditumbangkan lewat sebuah revolusi sosialis revolusioner. Sosialisme atau Barbarisme: inilah pilihan yang tersisa bagi kemanusiaan.

Apa makna dari revolusi sosialis radikal? Titik berangkatnya terletak pada kontradiksi paling mendasar yang dimiliki baik Timur maupun Barat, birokrasi dan kapitalisme yang bersaing: kontradiksi antara pengelolaan dan kerja yang tersubordinat. Memang telah nampak di masa Marx hidup bahwa kepemilikan alat produksi akan mampu menghapus ketidakadilan di dunia, saat ini menjadi lebih jelas - salah satunya dengan keberadaan Uni Soviet - bahwa kepemilikan negara atas alat produksi tidak serta merta membawa kepada sosialisme atau bahkan memperbaiki keadaan. Sebaliknya, kondisi ini malah memperbesar eksploitasi dan represi. Pembangunan di dalam kapitalisme kompetisi telah menunjukan bahwa bukan hanya persoalan kepemilikan alat produksi semata: hingga tingkat yang makin tinggi kepemilikan perusahaan dan kepemilikan kapital dipisahkan sementara pentingnya manajer versus pemilik meningkat.[17] Karena itu semuanya kemudian berpusar pada persoalan melawan hirarki dan birokrasi. Segala kekuatan mesti diletakan ditangan para bawahan, diantara masyarakat pekerja.

Sejak awal telah terjadi perdebatan dalam masalah keorganisasian di dalam Sosialisme atau Barbarisme. Apa sebenarnya definisi-diri kelompok ini? Apakah merupakan sekumpulan kaum militan yang mandiri, tanpa memiliki kaitan tanggung jawab apa pun, atau apakah perlu membangun sebuah praxis yang umum disamping menerbitkan jurnal? Jika iya, apakah aktivitas tersebut akan memakai peran pelopor ataukah tidak? Bagaimana struktur internal organisasi tersebut? Apakah demokrasi sentralisme telah berakhir sepenuhnya atau tidak?

Pada bulan April 1949 mayoritas anggota kelompok ini memberikan suara bagi sebuah resolusi yang menjadi landasan bagi program kerja di masa depan. Didalamnya konsep Leninis mengenai penyuntikan kesadaran politik ke dalam kelas pekerja dari luar ditolak, demikian juga dengan ide bahwa kelompok tersebut hanyalah sekedar "sekumpulan individu" yang membatasi diri dengan mempublikasi "semacam jurnal akademis." Namun gambaran cita-cita kelompok ini masih tetap saja kurang lebih bergaya lama: Sosialisme atau Barbarisme akan berkembang menjadi sebuah partai revolusioner, yang berdaya untuk memimpin dan mengkoordinasi perjuangan pekerja independen, yang diarahkan bagi perebutan kekuasaan negara.[18] Terdapat oposisi terhadap resolusi ini, namun terlampau lemah. Barulah di tahun 1951-1952, setelah sekelompok kecil mantan Bordigists bergabung ke dalam kelompok,  dan keanggotaan kelompok menyusut[19], beberapa anggota memutuskan untuk menyuarakan pendapat mereka lebih terbuka[20]. Terutama, Claude Lefort, menentang upaya untuk membentuk sebuah partai pelopor.

Sejak tahun-tahun sebelumnya Lefort secara perlahan-lahan mengembangkan keraguannya soal pemikiran kepeloporan, tidak melalui Socialisme atau Barbarie, namun lewat artikel di Les Temps Modernes, jurnal yang didirikan pada 1945 oleh Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir dan sahabat dan guru filsafat Lefort, Maurice Merleau-Ponty.[21] Di akhir 1948 Lefort telah menerbitkan esai penting di jurnal berkala ini, didalamnya dia menyalahkan Trotsky karena terlalu lama meragu sebelum memutuskan untuk secara langsung untuk melawan birokrasi partai pimpinan Stalin. Dia menuding hal ini berasal dari pemujaan berlebihan Trotsky terhadap partai sebagai "semacam faktor yang memiliki bersifat ketuhanan dalam perkembangan historis". "Peperangan Trotsky melawan birokrasi," menurut Lefort, "tidak memiliki dasar yang kuat karena secara obyektif Trotsky sendiri merupakan seorang pendiri birokrasi ini". Ketika Trotsky akhirnya menolak Partai Komunis Uni Soviet (pada tahun 1930-an) segalanya sudah sangat terlambat.[22] Dalam artikel lain yang dilansir tahun 1949 Lefort memberi perhatian pada anarkisme, yang dengan baik dikritiknya. "Kesadaran anarkis merupakan sebuah kesadaran traumatis," ujarnya, "ini semata-mata penolakan terhadap eksploitasi dan bukan penghapusannya, yang bisa dianggap kontradiksi yang mengarah kepada sebuah ekspresi historis baru." Pada saat yang bersamaan dia menyanjung anarkisme sebagai sumber inspirasi bagi sebuah tipe Marxisme yang radikal, yang menentang kekuatan negara dan ekspoitasi.[23] 

Perkembangan pemikiran Lefort menimbulkan ketegangan di dalam Sosialisme ou Barbarisme. Pada bulan Juni 1952, dia meninggalkan organisasi bersama sejumlah pendukung, namun setelah beberapa waktu berselang, dia masuk kembali lagi.[24] Dua tulisan kemudian dipublikasikan di dalam jurnal, yang menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat yang ada dalam kelompok. Castoriadis masih memegang ide bahwa Socialisme ou Barbarie mesti menjadi sebuah tunas bagi sebuah partai pelopor revolusioner; Lefort, di sisi lain, menaruh dukungan sistematis pada kontrol kaum pekerja dalam arus utama pemikirannya. Esensi argumen Castoriadis adalah kelompok itu mesti berkontribusi bagi penumbangan dan penghancuran masyarakat kapitalis dan negara borjuis. Untuk alasan ini sebuah partai politik dibutuhkan untuk memimpin dan mengkoorinasikan perlawanan kaum pekerja. Kontradiksi mendasar di antara kaum pengelola (manajemen -- penerj) dan tenaga kerja yang tersubordinat, yang mendominasi timur dan barat, tidak dapat diakhiri hanya dengan satu kali ledakan: partai harus berusaha keras untuk memimpin pembubarannya sendiri. Sekalipun demikian, pembubaran ini hanya bisa berlangsung setelah revolusi terjadi.[25] Posisi Lefort dalam hal ini adalah yang esensial bukanlah persoalan organisasi untuk mencapai sebuah revolusi, melainkan soal kekuasaan pekerja. Kekuasaan kaum pekerja yang membuat revolusi menjadi mungkin, namun sebuah revolusi tidak akan menjamin kekuasaan pekerja. Satu-satunya cara kaum proletariat dapat membangun kekuatannya ialah melalui bentuk organisasi yang otonom. Segalanya tergantung pada hal ini dan bukan pada partai, yang hanyalah sebuah ekspresi yang dipilih secara historis dari pengalaman khusus pekerja dan karena itu dapat tidak berguna atau bahkan tidak diinginkan di dalam situasi lain. Inilah alasannya mengapa Socialisme ou Barbarie mestinya tidak begitu memusatkan perhatiannya pada revolusi dan perebutan kekuasaan negara, ketimbang soal pengalaman kelas pekerja dalam proses pengorganisiran dirinya sendiri.[26] Dalam artikel berikutnya Lefort lebih jauh mengelaborasi posisinya dan mencoba menganalisa "pengalaman kaum proletariat" sebagai panduan prinsip hidup dari kelas pekerja.[27] Dengan pendekatan ini Lefort menjadi pendahulu penting berbagai upaya di kemudian hari yang menganalisa kapitalisme "dari bawah" yang dilakukan Raniero Panzieri, Edward Thompson, Erhard Lucas dan yang lainnya.

Perdebatan internal yang memanas di dalam kelompok segera diikuti dengan diskusi dengan orang-orang di luar kelompok mengenai masalah yang sama. Anggota-anggota kelompok dikritik dari sayap "kiri" karena posisi mereka mengenai kepeloporan, dan dari "kanan", karena mereka begitu membenci pemujaan kaum Stalinis terhadap partai. Patut dicatat disini - tetapi juga bisa dimengerti, di dalam memandang perbedaan pendapat - bahwa hampir secara otomatis sebuah pembagian kerja tercipta di antara Lefort dan Castoriadis. Yang terakhir ini mengambil posisi bertahan terhadap penentang ide partai, sementara yang pertama membuka serangan kepada mereka yang sepakat mengenai konsep partai pelopor.

Bulan November 1953 Anton Pannekoek, seorang tokoh Council Komunis gaek dari Belanda, mengirim surat kepada Socialisme ou Barbarie yang juga dipublikasi dalam jurnal.[28] Di dalam suratnya Pannekoek menulis dia bersimpati dengan kelompok tersebut dalam berbagai hal, namun dia juga memiliki dua pendapat berbeda yang mendasar: evaluasi revolusi Rusia 1917, dan persoalan partai pelopor. Tidak seperti Socialisme ou Barbarie, dia tidak menganggap revolusi Oktober sebagai pemberontakan proletarian, yang kemudian merosot menjadi sebuah kapitalisme negara yang birokratik melainkan menurutnya sejak awal ini merupakan sebuah peristiwa borjuis, yang tak akan mungkin menghasilkan sosialisme. Mengenai masalah organisasi pelopor, hal itu sepenuhnya ditentang Pannekoek. Dia percaya bahwa kaum revolusioner mestinya tidak membangun sebuah partai namun hanyalah semata-mata terlibat dalam propaganda dan perdebatan teoritis. Tugas mereka adalah menyerukan kekuasaan pekerja dan tidak "memimpin" perjuangan pembebasan itu.

Dalam jawabannya, Castoriadis berkonsentrasi pada masalah organisasi pelopor. Dalil paling utamanya adalah justru karena kaum revolusioner tidak membangun sebuah partai, sehingga membuka jalan bagi munculnya kediktatoran birokratik, sebagaimana yang terjadi di Uni Soviet. 

"Jikalau satu-satunya ‘garansi’ agar tidak melakukan kekeliruan berarti terus menerus sadar-diri, satu-satunya ‘garansi’ terhadap birokratisasi ditemukan di dalam aksi terus menerus di dalam makna anti-birokratik, dengan melawan birokrasi dan dengan menujukkannya dalam praktek, bahwa sebuah organisasi pelopor yang tidak birokratis adalah mungkin, dan bahwa dia dapat memelihara hubungan yang tidak birokratis dengan kelas proletariat. Karena birokrasi tidak lahir dari pandangan teoritis yang keliru, namun dari keperluannya sendiri di dalam tahapan tertentu. Justru penting untuk memperlihatkan melalui tindakan bahwa proletariat dapat berdiri tanpa birokrasi."

Surat kedua Pannekoek yang berisi uraiannya mengenai elemen-elemen tertentu dari teorinya tidak dimuat oleh Socialisme ou Barbarie.[29] Pandangan utama Pannekoek adalah bahwa partai tidak bisa menyelamatkan sebuah revolusi dari birokratisasi; sebaliknya, dia mewakili "sebuah langkah ke arah penindasan baru".[30] Dalam surat yang tidak dipublikasikan kemudian kepada Castoriadis, Pannekoek menambahkan tentu saja dia percaya akan hadirnya kepeloporan, namun sepertinya keliru baginya untuk memandang kepeloporan ini dalam bentuk organisasi yang displin: "Selalu inilah masalahnya," tulisnya, "bahwa orang-orang tertentu membawa pemahaman melalui tindakan mereka, melalui keberanian mereka, atau pikiran mereka yang jernih. Dengan berbicara dan bertindak secara cepat; bersama-sama, orang-orang seperti ini kenyataannya membentuk sebuah kepeloporan, yang kita lihat muncul di dalam setiap peristiwa. Faktanya mereka berubah menjadi pemimpin; ( . . .) Saat mereka bergabung bersama di dalam sebuah kelompok permanen atau partai dengan program-program yang tetap, relasi-relasi cair ini berubah menjadi sesuatu yang membatu. Mereka kemudian menganggap diri sebagai pemimpin tidak resmi dan ingin diikuti dan dipatuhi."[31] 

Jean-Paul Sartre mengambil posisi sepenuhnya menolak pandangan Pannekoek. Dia mengubah Partai Komunis menjadi sesuatu pemujaan. Dalam karya filosofinya yang termashyur L 'etre et le néant tahun 1943, dia membela pandangan bahwa mereka yang tertindas selalu membutuhkan sebuah institusi dari luar dan di atas mereka untuk melawan.[32] Pada 1950-an Sartre mengembangkan ide ini untuk menunjukan bahwa Partai Komunis sangat penting bagi perjuangan melawan kapitalisme. Dalam artikelnya yang terbit berseri di Les Temps Modernes Sartre mengklaim bahwa kelas pekerja tidak berdiri sebagai sebuah kelas selama ia tidak terorganisir di dalam sebuah partai pelopor: "Pekerja adalah setengah-manusia (sous-homme), jika dia semata-mata menerima keberadaannya"; dia hanya menjadi manusia ketika dia "menjadi sadar akan keberadaan kemanusiannya yang hanya setengah." Kesadaran ini termasuk perlawanan dan organisasi. Meski demikian, proletariat tidak muncul dengan sendirinya - ia merupakan proses dari faktor yang terpisah, sebuah hal "ketiga," yang menuntun individu-individu yang terisolasi. Faktor perekat ini adalah Partai Komunis. Singkatnya: "Seorang pekerja di Prancis saat ini hanya dapat mengekspresikan dan memenuhi dirinya melalui tindakannya di dalam kelas di bawah kepemimpinan Partai Komunis."

Pertimbangan Sartre - isinya bukanlah Stalinis namun kesimpulan yang ditariknya (Merleau-Ponty menyebutnya "ultra-bolsheviks") - secara pasti menciptakan kontradiksi antara spontanitas dan organisasi. Spontanistas disepelekan, dan merupakan "kesepian" yang tidak koheren. Organisasi, organisasi bentuk partai, merupakan segalanya. Jika pekerja kehilangan kepercayaan kepada Partai Komunis, maka mereka kehilangan bukan hanya kepencayaan mereka terhadap partai, namun kepada kelas mereka sendiri. "Dunia" kemudian akan menjadi "borjuis."[33] 

Claude Lefort menulis tanggapan panjang lebar terhadap karya Sartre di Les Temps Modernes. Dia menentang kesimpulan sekaligus argumentasi Satre. Partai atau organisasi radikal apapun, tidak pernah menjadi faktor eksternal "ketiga" di luar massa pekerja, tetapi selalu merupakan sebuah bentuk ekspresi dari massa. Saat Sartre mendekati subyek bahasan "dari atas", Lefort sekali lagi berpikir "dari bawah": 

"Pokok masalahnya adalah memahami perjuangan revolusioner dengan menempatnya dalam keseluruhan pengalaman kelas. Dinamika revolusi Rusia tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi mesti dipandang dalam kaitan proletariat yang khusus, dengan keberadaan kondisi produksi dan hubungan yang terpelihara dengan kelas-kelas lain yang tertindas yang telah ditentukan secara sejarah; keadaan ini tidak bisa dibandingkan dengan keadaan proletariat yang ada di Eropa. Organisasi Bolsheviksme, dengan sentralismenya yang keras, mestinya tidak dilihat sebagai sebuah karakteristik yang mesti ada dalam gerakan buruh, namun sebuah semata-mata solusi tertentu dalam hubungan antara massa dan para pelopornya. Masalahnya adalah mencari tahu bagaimana politik kaum bolshevik secara bersama-sama mengambarkan kedewasaan dan kelemahan proletariat Rusia. Lebih jauh, seseorang cenderung untuk bertanya apa pentingnya partai dalam pengalaman kaum pekerja, khususnya di waktu-waktu itu. Namun itulah persisnya permasalahan yang coba mati-matian dihindari oleh orang-orang tertentu."

Organisasi partai mesti merupakan struktur yang luwes, menyesuaikan diri terhadap relasi sosial dimana perjuangan kelas berlangsung. Partai-partai Komunis, di pihak lain, tidak lain sekedar elemen birokrasi Stalinis di Uni Soviet. Dalam kaitan ini, Lefort membedakan varian birokratik di dalam gerakan buruh : kaum Sosial Demokrat dan Komunis. Birokrasi kaum Sosial Demokrat mengacu pada kepentingan penguasa Borjuis. Birokrasi Partai Komunis mengidentifikasi diri dengan kepentingan Uni Soviet, karena itu serta merta menjadi musuh abadi kaum Borjuis asli. Partai Komunis menggunakan sifat agresif kaum pekerja untuk mendirikan kediktatoran birokratik berdasarkan model Eropa Timur dan karenanya menyimpangkan kehendak sosialis kelas proletariat. Artinya Partai Komunis tidak lagi merupakan kaum revolusioner, karena meski anti kapitalis namun bukan sosialis. Alternatif sosialis karena itu hanya ditemukan di luar partai buruh "mapan". Karena partai-partai Stalinis dalam beberapa hal tertentu mengekspresikan pengalaman, bagi prespenktif anti-birokratik penting sekali untuk mengetahui mengapa sebagian besar kelas pekerja mengikuti politik kaum Komunis dan dalam cara apa mereka membedakan diri dari politik semacam itu dan organisasi yang berhubungan dengan itu.[34] 

Apapun perbedaan pandangan yang terjadi di dalam Socialisme ou Barbarie, ketidaksukaan terhadap segala bentuk birokrasi dan struktur yang tidak demokratis merupakan hal yang utama bagi semua anggota kelompok. Saat organisasi mulai berkembang di tahun 1950-an[35] terbuka kesempatan, tidak hanya berpikir atau menulis hal-hal mengenai anti-birokratisi, namun juga beraksi. Hal ini juga ditunjang dengan meningkatnya keresahan sosial secara perlahan-lahan. Di tahun 1970-an Castoriadis menggambarkan perubahan yang nampak sejak tahun 1952-1953:

Perang Korea telah berakhir, Stalin telah mati, pekerja di Jerman Timur memberontak, seluruh pekerja sektor publik di Prancis sedang mogok. Kehidupan baru sedang bertiup ke dalam kelompok itu, orang-orang baru bergabung, publikasi mereka menjadi makin teratur dan isinyapun meningkat [...] Lebih jauh lagi, kelompok itu terdorong oleh Kongres Keduapuluh Partai Komunis Rusia, Poznan dan tentu saja revolusi pekerja di Hungaria dan pergerakan di Polandia. [...] Perang di Aljazair dimulai bulan November 1954. Pemerintah Mollet memulai mobilisasi perlahan-lahan sejak 1956 agar dapat mengirimkan pasukan ke Aljazair. Para tentara menyerukan demonstrasi dan aksi blokade kereta api pengangkut tentara. Ketidakstabilan ekonomi meningkat dan gerakan mulai mengeliat. Di musim gugur 1957 terjadi pergolakan besar-besaran di berbagai pabrik – situasi tidak stabil dan terbuka.

Dalam keadaan yang berubah seperti inilah Socialisme ou Barbarie memulai kerja-kerjanya di dalam berbagai pabrik. Sejak awal organisasi ini mempertahankan sikapnya bahwa sebuah lapisan majikan birokratik telah berkembang dikalangan serikat buruh (terutama sekali di dalam CGT), yang telah membangun kerjasama yang erat dengan aparat Negara. Birokrasi serikat buruh telah menjadi sebuah faktor independen, yang berfungsi seperti semacam penghubung antara aparat negara dan kelas pekerja, dan karena itu berusaha untuk mendamaikan kedua pihak satu sama lain. Di satu sisi, birokrasi tersebut secara sebagian menerima tuntutan buruh untuk mempertahankan basis massanya, namun sisi lain ia juga mengupayakan memenuhi keinginan aparatus negara agar tetap terlihat "terhormat" dan tetap dapat diterima sebagai rekan dalam negosiasi dengan borjuis dan negara.[36] 

Ini sendiri bukan sebuah analisis baru; ini telah lama menjadi bagian dari pemikiran kaum Trotskyis. Hal yang penting adalah kesimpulan politik macam apa yang ditarik dari pandangan itu. Apakah kaum revolusioner mencoba menaklukan serikat buruh tersebut dari dalam dan mengeser para birokrat; atau sebaliknya, lebih menginginkan bekerja di luar organisasi serikat buruh dan membangun organisasi baru? Dalam prakteknya kerja-kerja yang dijalankan Socialism ou Barbarie di pabrik biasanya lebih condong kepada praktek yang terakhir, namun tidak semua gembira dengan cara ini. Dalam periode 1954-1955 sebuah perdebatan atas topik ini berlangsung dalam jurnal. Daniel Mothé mempertahankan posisi kerja-kerja yang mendukung kelas pekerja di luar serikat buruh. Partisipan lain dalam debat tersebut, seperti pengikut anarkis, Fontenis, berpikir bahwa kaum revolusioner mesti aktif dalam serikat buruh karena hanya inilah cara mereka untuk menjalin kontak dengan para pekerja dan memenangkan rasa percaya mereka:

"Berjuang dari luar secara tidak langsung memutuskan diri dari para pemirsanya. Dan jangan juga kita lupa bahwa di sektor-sektor tertentu, yang pekerjanya tersebar ke dalam sejumlah tempat kerja atau perusahaan-perusahaan kecil yang tak terbatas, pertemuan serikat buruh merupakan satu-satunya acara saat pekerja dapat diajak bertemu bersama dan turut mendengarkan."[37] 

Kerja Socialisme ou Barbarie di dalam pabrik berlangsung di pabrik Renault di Paris-Bilancourt, walau beberapa aksi juga diorganisir di sejumah tempat lain, termasuk perusahaan asuransi. Kekuatan pendorong di Renault adalah Daniel Mothé, seorang pekerja yang berpengalaman secara politik yang bergabung ke dalam kelompok itu tahun 1952. Seperti kawan-kawan buruhnya yang lain ia mendapat inspirasi dan ide-ide umum mengenai apa yang terjadi dalam perusahaan-perusahaan kapitalis modern dari kelompok Amerika, C.L.R. James dan Raya Dunayevskaya serta anggota lainnya dari kelompok ini.[38] 

Terinspirasi dengan perkembangan di Amerika Serikat, kaum revolusioner Amerika berpendapat bahwa tahun 1914 telah terjadi semacam pembersihan dalam sejarah teknik manajemen kaum kapitalis. Setelah tahun itu "manajemen ilmiah" Frederick Winslow Taylor diaplikasikan lebih dan lebih luas lagi. Saat sistem Ford dengan ban berjalannya ditambahkan ke dalam praktek ini (di periode 1924-1928), proses kerja berubah secara mendasar. Tingkat pendidikan yang dituntut untuk seorang pekerja menurun, langkah dan urutan kerja tidak lagi didiktekan oleh manusia, tapi oleh mesin. Terpengaruh oleh resesi besar ekonomi tahun 1929 perubahan ini semakin ditingkatkan. Massa pekerja "yang diburu untuk bekerja dengan upah rendah," didominasi oleh "kaum staf manajer yang hanya dapat menjalankan lantai produksi melalui penggunaan kelompok geng kriminal bayaran [...] mafia, para pembunuh, para mandor." Struktur proses kerja baru meninggalkan jejaknya pada kehidupan sehari-hari dan kesadaran kaum pekerja, menurut analisis ini. Hal yang penting adalah mempelajari akibat-akibat dari perubahan ini untuk meneliti akibat-akibat dari perubahan ini untuk pengorganisiran diri kaum pekerja.

Sejak permulaan tahun 1946 kelompok di sekitar James dan Dunayevskaya menerbitkan sebuah pamphlet yang berjudul The American Worker. Dalam terbitan ini Paul Romano ("I am a young worker approaching thirty") menggambarkan kehidupannya di dalam dan di luar pabrik.: pemerasan fisiki yang dituntut kerja, waktu libur, kehidupan keluarga, dan bentuk-bentuk perlawanan di lantai kerja.[39] Pendekatan ini, yang saat itu ditulis dalam bentuk novel, dengan kenyataan kapitalis modern dari prespektif kehidupan sehari-hari seorang pekerja (laki-laki) sangat menarik bagi kalangan kiri radikal di Eropa. Pengalaman yang ditulis Paul Romano diturunkan secara berseri dalam jurnal Socialisme ou Barbarie dan kemudian hari di jurnal di Italia.[40] Kaum radikal Amerika adalah juga yang pertama dari kalangan kiri yang menyiapkan kerja di pabrik. Anggota pekerja dari kelompok membentuk surat kabar yang diberi nama Correspondence tahun 1953. Ini dimaksudkan sebagai organ yang independen (tidak dikontrol oleh suatu serikat buruh) perjuangan pekerja di dalam pabrik.[41]

Kesemuanya ini merangsang Socialisme ou Barbarie untuk membuat upaya serupa. Perkembangan di dalam pabrik diturunkan lebih dan lebih sering lagi di dalam jurnal, cerita berlanjut diterbitkan dengan judul 'Life in the Factory' dan contoh dari Amerika ini diikuti dengan memproduksi surat kabar pabrik di Prancis.[42] Di bulan April 1954 pekerja di salah satu Renault workshops mengedarkan selebaran tentang tingkat upah; selebaran ini memperoleh dukungan yang besar di antara kelompok pekerja di perusahaan dan sebagai hasil terbitan pertama Tribune Ouvriére, produk stensilan, surat kabar independen bulanan bagi pekerja pabrik mobil, muncul di bulan Mei 1954.[43] Dengan maupun tanpa pengaruh langsung Socialisme ou Barbarie koran-koran dengan bentuk yang hampir sama bermunculan dalam waktu singkat di luar Paris (Nantes, Bordeaux, Toulouse) dan di perusahaan lain di Paris (Bréguet, Morse, dll.) Dipermulaan tahun 1958 mereka memutuskan untuk bekerja sama.[44]

Tahun 1958 menandai sebuah pemisahan di dalam sejarah Prancis paska perang. Tanggal 13 Mei tentara mengambil alih kekuasaan melalui sebuah kudeta di koloni Aljazair dengan harapan dapat memerangi gerakan pembebasan Aljazair lebih efektif. Di Perancis sendiri lingkaran tertinggi dari apparatus negara dalam keadaan panik - ketakutan bahwa mereka tidak dapat lagi “mengendalikan” perkembangan di dalam negeri maupun di negeri-negeri koloni. Untuk waktu yang lama tak terdengar kabar soal Jenderal de Gaulle, yang pernah mejadi Perdana Menteri Prancis tahun 1945-1946 dan selama bertahun-tahun (1947-1953) berusaha mati-matian untuk mengendalikan urusan-urusan di dalam partainya (the Rassemblement du Peuple Francais). Sekarang, 1 Juni 1958, dia memerintahkan Parlemen Nasional untuk mereformasi aparat negara. Dia menjalankan tugasnya ini dengan bersungguh-sungguh. Pada 21 Desember dia sendiri menempatkan dirinya menjadi kepala negara Prancis. Setelah itu ia mengkonsentrasikan kekuasaan lebih banyak banyak lagi ke dalam tangannya. Di tahun 1962 ia mengeluarkan sebuah Undang-undang baru yang mengijinkan presiden dipilih rakyat dan bukan lagi oleh parlemen. Rejimnya mulai mengambil jalur jebakan 'bonapartis'; dan semakin berkarakter kediktatoran konservatif.

Castoriadis menganggap perkembangan ini sebagai ekspresi politis dari sebuah krisis yang mendalam dari kapitalisme Prancis. Sejak permulaan 1958, ia telah mempublikasikan sebuah analisis di dalam Socialisme ou Barbarie yang berisi peranan penting perkembangan yang terus menerus tidak stabil di Prancis paska perang. Dia menggangap negeri itu telah terpecah ke dalam dua sektor ekonomi yang sangat berbeda: sebuah bentuk yang sangat modern dan dinamis versus kapitalisme usang dan terbelakang. Dia memperkirakan bahwa kedua sektor ini (Prancis "1958" dan Prancis "1858") tidak dapat menenggang satu sama lain. "Perkembangan besar-besaran, dari suatu industri modern tidak dapat, dalam perkembangan waktu, dikombinasikan dengan dengan pemeliharaan keseluruhan sektor ekonomi (pertanian, perdagangan kecil, industri skala kecil) di dalam sifat mereka yang sangat menyalahi zaman dan elemen lapisan masyarakat yang terkait". Kelangsungan hidup sektor yang terbelakang, yang masih meneruskan banyak beban politik, telah menyumbang banyak untuk menghalangi sistem parlemen. Ia telah memperkuat proses disintegrasi kekuatan poltik borjuis; berturut-turut pemerintah yang berkuasa telah sangat tunduk pada kepentingan satu kelompok tertentu atau yang lainnya; akibat proses pemisahan ini, kekuatan aparatus negara kehilangan kemampuan untuk bertindak atas nama kepentingan kapitalisme secara keseluruhan. "Parlemen dan pemerintah [...] telah menjadi intrumen eksklusif bagi kepentingan spesifik tersebut. " Ketiadaan sebuah "partai pekerja" spesifik telah memperkuat kebuntuan kaum borjuis ini. Tekanan kaum reformis yang dapat memaksa kaum borjuis mendisiplinkan dirinya dan mengkonsolidasikan dirinya ke dalam partai politik konservatif, juga tidak ada. Karena itu sebagian besar aparat negara terbelakang dari sudut pandang kapitalis modern; sistem perpajakan kebanyakan bersifat tak langsung, sistem kredit "yang dimodernisasi di bawah Napoleon III," dan lain. Bersama-sama faktor-faktor ini, menurut Castoriadis, menghasilkan situasi dimana kapitalisme Prancis setelah 1945 tidak mampu untuk menyelesaikan sebuah kebijakan yang koheren dan menjalankannya. Arah perkembangan setelah 13 Mei 1958 adalah merestrukturisasi negara borjuis dan menghapuskan elemen terbelakang di dalam masyarakat Prancis.

Dalam kacamata Castoriadis, kudeta de Gaulle bukan merupakan sebuah kekalahan bagi kelas pekerja Prancis. Fakta bahwa hanya sekelompok kecil dari kelas pekerja yang berpartisipasi untuk menyambut seruan demostrasi 28 May 1958 oleh CGT dan kaum Komunis, dari sudut pandangnya, tidaklah bermakna bahwa kelas pekerja telah dikalahkan atau terdepolitisasi. Sebaliknya, situasi terus diperbicangkan di dalam pabrik. Namun pekerja - terutama karena mereka belum tahu apakah de Gaulle akan dapat "memberikan sesuatu" - tidak merasa perlu untuk berjuang dan mengembalikan situasi kepada masa sebelum 13 Mei: "Kaum pekerja dan lebih umum lagi bagian terbesar dari kaum penerima upah merasa muak dengan republik kapitalis." Oleh sebab itu kaum pekerja menunggu langkah selanjutnya de Gaulle; keberaniannya akan menentukan reaksi mereka. Jika proyek ini berhasil memodernisasi hubungan kapitalis di Prancis, maka sebuah demokratisasi non kekerasan tampaknya mungkin terjadi. Jika di lain pihak proyek de Gaulle sebagian atau seluruhnya gagal, dan situasi secara politik dan ekonomi memburuk maka protes pekerja kemungkinan besar bisa terjadi.

Dalam situasi ini Castoriadis melihat dua tugas bagi bagi kaum revolusioner sosialis: di satu pihak mereka mesti membantu mendirikan organisasi dan surat kabar pekerja, mirip dengan yang mulai muncul pertama kali di pabrik mobil Renault dan sejumlah perusahaan lain; sekaligus mesti membangun koordinasi dari berbagai komite perlawanan dan surat kabar pekerja nasional. Di pihak lain kaum revolusioner, yang saat ini menyebarkan diri ke seluruh negeri dan ke sejumlah kelompok (konsep "kepeloporan tersebar"), mesti diajak ke dalam satu organisasi - ke dalam sebuah partai tipe baru, berdasarkan pengalaman sejak 1917: "Program dari organisasi ini mesti sosialisme, mencantumkan kontrol kaum pekerja, kekuasaan total dewan pekerja yang akan diwujudkan pengelola mandiri perusahaan dan masyarakat. Struktur organisasi tersebut mestilah demokratik-proletarian, dan memperlihatkan dominasi golongan akar rumpur di segala aspek kehidupan dan aktivitas organisasional, dan yang didalamnya melawan pembedaan pemimpin dan pengikut. Metode kerjanya mesti disepakati kepada akar rumput dan mesti memberikan akses kepada seluruh kaum militan untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan organisasi, dan mengontrolnya".[45]

Pendapat Castoriadis mengenai tugas kaum revolusioner Prancis tentunya tidak secara merata diterima anggota-anggota Socialisme ou Barbarie.

Pada bulan September 1958 Socialisme ou Barbarie benar-benar pecah. Dua orang kaum Council Communists Belanda hadir dalam peristiwa itu. Dalam laporan mereka mengenai peristiwa itu - dipublikasi di dalam koran Spartacus - mereka menilai terdapat tiga arus utama dalam kelompok tersebut:  

  1. Sebuah kelompok yang masih sangat kuat terinspirasi oleh Leninisme, kelompok mantan pengikut Bordigist, Véga; arus ini dituding sebagai "sayap kanan" oleh pengamat asal Belanda itu; 
  2. Kelompok "tengah" di sekitar Castoriadis;  
  3. Kelompok "kiri" di sekitar Lefort.

    Menggunakan ukuran ini, mereka menulis:

    "Bukan sayap kiri yang sepenuhnya memisahkan diri, tetapi sayap kanan dan tengah, yang dengan sengaja memintanya. Dengan sangat sengaja, sehingga perpecahan terjadi sebelum kongres dimana kelompok kiri, tengah, dan kanan mendiskusikan perbedaan pendapat mereka. Kongres yang berlangsung di Paris Sabtu, 27 dan Minggu, 28 September 1958. Kongres tidak jadi berlangsung. Sekurang-kurangnya tidak berjalan sesuai rencana sebelumnya.[46] Dua pertemuan diorganisir, pada Kamis 18 dan 25 September, untuk menyiapkan kongres. Baik sayap kanan[47] dan kiri telah menyiapkan teks yang akan menjadi titik tolak diskusi. Kedua teks [...] secara alamiah memiliki karakter yang sangat berbeda; seseorang dengan mudah dapat melihat perbedaan mendasar yang hadir di antara dua arus ini sejak waktu yang lama: namun tidak terdapat tanda-tanda dari situasi ini, bahwa kelompok kiri dan kanan yang bekerja di dalam satu kelompok, akan segera berakhir.'" [...] perbedaan yang ada tidak akan muncul sebagai berita utama di buletin, yang terutama banyak dikerjakan anggota-anggota sayap kiri. [...] Perdebatan terhadap kedua teks, yang dimulai Kamis, 18 September, tentu saja berakibat besar namun pada saat yang sama memiliki karakter yang bersahabat. Pada hari Rabu 24 September sesuatu yang tidak harapkan terjadi. Kelompok kanan menerbitkan rangkaian teksnya, yang terutama menggungat posisi dan presentasi kelompok kiri. Nada dari teks kedua ini sangat tajam. Kelompok kiri dituduh menyembunyikan teori mereka "padahal tahu lebih banyak", dan "secara sengaja memperdaya kaum pekerja". Sikap tersebut bahkan digambarkan sebagai sesuatu yang "tidak jujur", sementara kritik dari kelompok kanan dan tengah oleh kelompok kiri, dibalikan menjadi bahan olok-olokan semata. Di tengah situasi seperti ini pertemuan persiapan berlangsung pada Kamis 25 September kehilangan setiap ceceran keramamah-tamahannya. Pihak kiri mengharapkan sekurang-kurangnya, ada pernyataan yang menyangkut tudingan "kebohongan" dan "kecurangan" akan dibatalkan karena dengan tetap mempertahankan tudingan ini diskusi menjadi tak mungkin terjadi. Juru bicara utama kelompok tengah menolaknya. Dia menyatakan bukan kebiasaannya larut secara emosi dan telah menimbang dengan tenang setiap kata di dalam teks dan tidak berharap untuk menarik satu kata atau kalimat pun. Mendengar hal itu kawan-kawan dari sayap kiri langsung berdiri dan meninggalkan ruangan. Pada Jumat 26 September mereka bertemu secara terpisah dan mengambil keputusan bahwa mereka tidak akan hadir di kongres, yang dimulai tanggal 27 September. Maka terjadilah perpecahan.[48]

    Perpecahan Socialisme ou Barbarie merupakan buntut dari kenyataan bahwa mayoritas anggota kelompok ini ingin membentuk sebuah organisasi pelopor dalam waktu singkat, karena mereka menilai kondisinya telah tepat (kudeta De Gaulle, pertumbuhan kelompok mereka sendiri)." Kelompok minoritas, yang tidak tertarik dengan proyek semacam ini, merupakan ganguan menyusahkan, karenanya mesti "dilepaskan" melalui sebuah pemisahan yang telah disusun terlebih dulu.

    Di masa-masa sebelumnya, sikap berseberangan Lefort memang telah menguat. Ia sendiri telah mengindikasi dua alasan bagi sikapnya ini. Di satu sisi, terdapat hubungan kerja yang tumbuh dengan erat antara Castoriadis dan Dunayevskaya di tahun 1950-an. Lefort secara umum menghargai pandangan Dunayevskaya menyangkut perlawanan sehari-hari kaum pekerja industrial dan gagasannya mengenai bentuk-bentuk organisasi otonom. Meski demikian ketidaksukaan Lefort terhadap pendekatan filosofinya, yang menurut Lefort, ingin menciptakan "istilah-istilah Hegelian yang tidak jelas", sebuah sintesis antara sejarah dunia dan kehidupan sosial, cukup kuat. "Kedekatan hubungan Castoriadis dan Raya Dunayevskaya untuk pertama kali membuatku sadar betapa dalamnya perbedaan konseptual yang membentuk dasar dari perbedaan politik kami."[49] Di sisi lain, Lefort memperkuat penolakannya sebagai reaksi terhadap arus di dalam Socialisme ou Barbarie sendiri yang masih cukup gandrung dengan pemikiran kaum Bolshevik. Di dalam kelompok ini yang kebanyakan pendatang baru - termasuk diantaranya Jean-Francois Lyotard dan Pierre-Francois Souyri[50] - demikian pula Véga.

    Perpecahan ini hanyalah pengakhiran mendadak sebuah proses keterasingan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Setelah perpecahan Socialisme ou Barbarie, Castoriadis dan Lefort menerbitkan teks yang mengarisbawahi posisi mereka yang berlawanan. Tawaran kunci yang disodorkan artikel Castoriadis adalah setiap organisasi dapat terjerembab menjadi monster birokratik, namun kemerosotan semacam ini tentu dapat dicegah jika perjuangan permanen secara sadar dikobarkan terhadap proses seperti itu. Lebih jauh lagi, hal ini bisa dengan baik dilakukan dengan menyusun struktur organisasi berbasis akar rumput. Kelas pekerja sangat membutuhkan sebuah organisasi tipe baru yang mengacu pada semangat ini, mengingat kebutuhan bertukar informasi, berdiskusi, bertukar pengalaman, dan aksi bersama.[51] Dalam artikelnya, Lefort mengakui kebutuhan aksi bersama kaum pekerja demikian juga koordinasi dan pertukaran pengalaman; namun dia menolak partai tersendiri dibutuhkan untuk hal-hal seperti ini, sebagaimana yang dikemukakan Castoriadis. Tugas ini dapat dirampungkan oleh kelompok pekerja dan buruh di perusahaan-perusahaan, tanpa intervensi organisasi pelopor yang terpisah. Kaum revolusioner mesti, sejauh mereka sendiri adalah pekerja upahan di sebuah perusahaan, berpartisipasi secara aktif. Dan jika mereka sebagai intelektual, yang berdiri di luar proses produksi, mereka dapat memberi bantuan teoritis dan praktis kepada perjuangan dalam kondisi mereka sendiri bersedia merendahkan diri dihadapan pergerakan yang lebih luas.[52]

    Kelompok lain yang memisahkan diri di bersama Claude Lefort, yang juga termasuk Henri Simon, pekerja kerah putih yang akan memainkan peranan di masa-masa berikutnya, mendirikan Informations et Liaisons Ouvriéres (ILO). Kelompok itu menerbitkan surat kabar dengan nama yang sama. Mereka kemudian berganti nama di tahun 1960 menjadi Infonmations et Corresporance Ouvriéres (ICO) dan berdiri hingga 1973.[53] ICO mengambil posisi bahwa serikat buruh memiliki fungsi penyeimbang sistem di dalam kapitalisme. Gambaran inilah yang ditangkap kaum borjuis pada diri serikat buruh. Inilah alasannya aparat negara menyerap mereka ke dalam sejumlah organ konsultatif dan komisi-komisi.

    Pekerja mengerti hal ini. Mereka tidak melihat serikat buruh sebagai organisasi milik mereka. Namun sebagai penyedia jasa, yang dapat mereka mintai layanan. Hubungan antara pekerja dan serikat buruh layaknya hubungan bisnis, sebuah hubungan yang "realistis": "Serikat buruh menggunakan pekerja sebagai pasukan tempurnya yang dapat dipergunakan untuk manuver di papan percaturan politik. Kaum pekerja juga menggunakan serikat buruh untuk hal yang sama."

    Serupa halnya di skala nasional, serikat buruh hanyalah perantara pekerja dan kapitalis (dan bukan perwakilan langsung pekerja) demikian juga delegasi serikat buruh di tingkat perusahaan hanyalah perantara para staf dan pihak manajemen. Meski demikian, menurut ICO hal ini tidak berarti serikat buruh merosot sifatnya, sebagaimana pemikiran Castoriadis. Sebaliknya, mereka menciptakan mesin birokrasi "yang sangat hidup dan efisien", yang memang ada gunanya bagi pekerja. Di samping aparat serikat buruh resmi dan berjarak terdapat barisan kedua: yakni kelompok solidaritas praktis yang sadar di berbagai departemen dan tempat kerja di dalam perusahaan. Kepentingan bersama yang digulirkan disini berlangsung tanpa serikat buruh. Di tempat-tempat seperti ini masih ada aktivitas bersifat otonom, yang mesti didukung kaum revolusioner - bukan sebagai perwakilan pihak luar namun sebagai sahabat.[54]

    ICO tidak ingin memainkan peran kepeloporan apapun; satu-satunya tugas yang mereka siapkan adalah membangun kontak dengan berbagai (kelompok) kaum pekerja. Terbitan ICO merupakan alat berbagi ide; yang tidak didistribusikan sebagai bagian dari propaganda dari sebuah kelompok. Namun, hanya untuk bertukar informasi dan pengalaman. ICO bertahan selama 15 tahun lamanya. Bagaimanapun, menjadi makin jelas bahwa kelompok ini menipu dirinya sendiri. Karena terbitan mereka jelas bukan hanya alat bertukar ide. Yvon Bourdet, yang pernah menjadi anggota ICO untuk waktu yang lama menulis:

    "Anggota-anggota militan di dalam kelompok I.C.O. tidak berhasil mewujudkan teori mereka atau pernyataan mereka mengenai ketiadaan teori; mereka tidak mengurangi peran mereka menjadi sekedar penyedia informasi yang netral, yang membatasi diri untuk mengabarkan sejumlah perjuangan pekerja di luar tempat kejadian; mereka mengetahui dengan baik bahwa cerita yang mereka sebarkan bukan hanya sembarangan cerita-cerita usang. Apakah mereka mau mempublikasi cerita tentang aktivis serikat yang baru terpilih (kecuali untuk menelanjanginya)? Tak bisa diragukan lagi bahwa mereka menyensor koresponden potensial mereka."[55]

    Meski keinginan mereka tetap mengambil peran yang tidak kelihatan, aktivis ICO tidak dapat mencegah diri untuk beroperasi sebagai sebuah kelompok dengan ide-ide sangat khusus. Satu-satunya alternatif untuk situasi semacam ini adalah mengabaikan tujuan kelompok dan hanya mencetak segala hal tanpa pembatasan. Namun, ini merupakan tindakan yang berseberangan dengan tujuan untuk memuculkan suara dari perjuangan yang otonom. Setelah pemberontakan Mei 1968 saat keanggotaan ICO mengelembung dilema ini muncul kembali. Sebagian dari anggota baru mulai menuntut aktivitas yang lebih maju ketimbang yang selama ini dikembangkan ICO dan menyebabkan ketegangan yang pada akhirnya membawa kepada pembubaran organisasi.

    Secara perlahan-lahan Socialisme ou Barbarie berkembang dari tahun 1958 seterusnya. Banyak pertemuan publik diselenggarakan[56] dan pengaruhnya pada mahasiswa Paris dan pekerja di Renault terus tumbuh. Surat kabar Pouvoir Ouvrier, yang berfungsi sebagai koran payung dari berbagai kelompok pekerja independen cukup sukses. Meski demikian, Castoriadis tidak hanya melihat perkembangan menguntungan ini sebagai "konfirmasi" atas kebenaran pendapatnya. Sikapnya terutama menyangkut pendapat kelompok, beberapa yang disusunnya sendiri, malah bertambah kritis. Di pertengahan 1950 dia mulai mengetengahkan keraguannya mengenai aspek-aspek penting teori Marx dalam serangkaian artikel yang berjudul "On the Content of Socialism." Di awal-awal perjalanannya Castoriadis mengkritik dua elemen khusus materialisme historis: teori ekonomi Marx dan posisi Marx tentang teknologi. Pengarang Das Kapital itu telah mengasumsikan bahwa dalam kapitalisme kekuatan kerja buruh merupakan komoditi, sama seperti hal lainnya. Meskipun demikian, dengan cara ini Marx membuat kesalahan fatal. Karena tenaga kerja tidak memiliki nilai guna dan tukar yang dapat tentukan secara jelas. Kapitalis yang membeli satu ton batu bara memahami berapa energi yang dapat diperolehnya dari benda itu dengan tingkat teknologi tertentu; namun jika dia membeli tenaga kerja untuk sebulan misalnya, dia tidak pernah dapat memastikan berapa hasil yang dapat dihasilkan dari tenaga kerja tersebut. Karena tenaga kerja merupakan komoditas manusia, yang dapat melawan pengunaan tenaganya. Dengan alasan yang sama tenaga kerja tidak miliki harga, yang secara ilmiah dapat ditetapkan, karena tingginya upah bukanlah hasil dari hukum-hukum ekonomi yang tidak tampak, tetapi hubungan kekuatan-kekuatan antara kapitalis dan pekerja. Apa yang ditemukan Castoriadis adalah bahwa Marx menyembunyikan konsep perjuangan kelas - yang justru sangat penting dalam teorinya yang lain - dari teori ekonominya, dan karena itu teori ekonomi Marx tidak cukup radikal. Jika saja dia menyertakan konsep tenaga kerja sebagai komoditas manusia di dalam analisisnya, maka semua hukum yang dirumuskan Marx (nilai kerja, peningkatan komposisi organik kapital, kencederungan turunnya tingkat keuntungan) akan tersingkap sebagai bukan hukum sama sekali, namun lebih atau kurang sebuah akibat kecelakaan dari hubungan di antara kekuatan-kekuatan dan situasi konflik. Untuk sebuah visi sosialisme, kritik ini memiliki akibat yang sangat jauh. Jika tidak ada yang namanya hukum-hukum ekonomi, maka seseorang tidak bisa lagi mempertahankan bahwa kapitalisme akan menemui ajalnya akibat masalah ekonomi. Sifat sejarah menjadi tidak dapat diperkirakan dan setiap situasi sejarah memiliki definisi yang terbuka.

    Dalam "sosialisme ilmiah" tradisional, teknologi kekuatan produksi (mesin) dianggap faktor yang independen dan netral. Pabrik, misalnya, digambarkan dalam Kapital sebagai puncak dari efesiensi dan rasionalitas. Teknologi kapitalis yang digunakan di dalam pabrik semata-mata dilihat sebagai teknologi. Masalah di dalam sebuah masyarakat yang didasarkan pada persaingan dan keuntungan terletak sepenuhnya pada penerapan teknologi: di dalam sosialisme prioritas lain di dalam produksi siapkan dan pekerja sendiri akan mengelola pabrik-pabrik. Castoriadis, di lain pihak, tidak menganggap teknologi sebagai sesuatu yang netral; di bidang ini juga, dia memandangnya sebagai masalah kekuatan hubungan dan perjuangan. Dia menganggap berlanjutnya pemisahan tugas-tugas tertentu sebagai metode yang digunakan manajeman untuk meningkatkan kontrol mereka atas para pekerja. Dengan mengharamkan setiap gerakan tubuh dalam kaitan dengan mesin, independensi mereka pada gilirannya terpengaruh. Di dalam sosialisme, sebuah teknologi baru mesti dikembangkan, yang justru memperkaya proses kerja dan meningkatkan otonomi pekerja. Dengan secara ketat mengharamkan setiap gerakan tubuh dalam kaitan dengan mesin kemerdekaan mereka lebih jauh terpengaruhi. Teknologi, karena, pertama dan yang paling utama adalah teknologi kelas. Di dalam sosialisme, sebuah teknologi baru mesti dikembangkan yang akan memperkaya proses kerja dan meningkatkan otonomi pekerja.[58]

    Dari tahun 1958-59 Castoriadis mengabungkan analisis awalnya mengenai kontradiksi utama di dalam kapitalisme (kontradiksi antar manajemen dan mereka yang sebenarnya bekerja) dengan kiritiknya terhadap ide-ide Marx mengenai ekonomi dan teknologi. Teori baru kritik masyarakat yang berkembang dari pemikiran bahwa kontradiksi utama kapitalisme tidak lagi dapat dicari di bidang ekonomi (kontradiksi Marxis antara bentuk produksi sosial dan kepemilikan pribadi atas alat produksi) namun di dalam produksi itu sendiri. Di setiap perusahaan dan kantor, kata Castoriadis, berlangsung perjuangan permanen antara manajer, yang ingin agar setiap orang bekerja sekuat dan sekeras mungkin, dan pekeja kerah biru atau putih yang terasing dari kerjanya sendiri. Managemen menghadapi masalah yang sangat mendasar: sangat tidak mungkin untuk merumuskan hukum dan aturan yang meliputi semua penugasan kerja bagi semua pekerja di perusahaan. Sebuah ruang minimum selalu dibutuhkan untuk improvisasi dan individualitas, karena tidak ada sesungguhnya pengetahuan menyeluruh yang dapat dipakai bagi semua orang dan di semua situasi. Itu bermakna bahwa usaha tertentu selalu diperlukan dari pekeja, upaya yang selalu lebih dari diwajibkan perusahaan. Sebab itu fakta paradoks ini, adalah proses produksi akan segera terhenti, saat semua orang bekerja sesuai kewajibannya, sesuai aturan manajemen. Ini juga penjelasan mengenai kemungkinan "penguasaan kaum pekerja". Sementara manajemen memaksa di satu pihak untuk mewajibkan kerjasama diantara staf, mereka berusaha keras membatasi ruang bagi aktivitas yang tak terjadwal. Inilah alasannya mereka memperkenalkan 'organisasi kerja yang ilmiah" dan eksperimen serupa. Namun manajemen tidak akan benar-benar berhasil dalam upaya mengubah manusia menjadi robot.[59]

    0 komentar:

    Posting Komentar