Rencana pertambangan pasir besi di Kulon Progo dan di sepanjang pantai selatan Jawa bukanlah sebuah proyek sederhana. Jejaring kekuasaan yang bersilangan antara alat-alat Negara dan para pengendali Kapital tidak bisa ditutupi. Bahwa penculikan yang disertai penyekapan Tukijo, semenjak Mei 2011 hingga hari ini adalah salah satu bukti bahwa semua cara akan mereka lakukan untuk mempertebal kantong mereka. Siapapun yang ingin menghalangi mesti menghadapi represi dari alat-alat kekuasaan mereka seperti Lembaga Peradilan, Militer (TNI & Polisi), Media Massa, Tokoh Masyarakat dan instrumen pendukung lain.
Pesisir pantai selatan Jawa termasuk di dalamnya daerah kabupaten Kulon Progo memang begitu menggiurkan bagi para investor yang bergerak di bidang tambang pasir besi. Itu mengapa meski sangat jelas proyek ini menuai resistensi, Negara tetap bersikeras menggolkan projek ini. Salah satu buktinya adalah dibukanya pilot projek di Pantai Trisik, Karangsewu Galur. Kemudian disusul dengan bergabungnya OTOTECH, sebuah perusahaan internasional yang bergerak di bidang pengolahan pasir besi. Restu dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terlihat jelas melalui penegasan ulang pernyataan Direktur Industri Material Dasar Logam, Ir. I. Gusti Putu Suryawiryawan di berbagai media massa mengenai dukungan penuh pemerintah terhadap rencana pertambangan ini.
Investasi pertambangan ini bernilai US$ 500.000.000 (lima ratus juta dolar Amerika) tidak bisa ditampik oleh kerakusan Negara. Mengingat saat ini, produksi industri besi baja dalam negeri hanya berkisar 4-6 juta ton per tahun. Jumlah yang berbanding terbalik dengan besarnya permintaan industri besi baja yang melebihi 10 juta ton per tahun. Itu mengapa, PT. Jogja Magasa Iron dan Indo Mines Ltd terus mendapatkan berbagai dukungan melanjutkan mega proyek ini meski harus mengorbankan petani pesisir pantai selatan Jawa. Alasan pemenuhan produksi dalam negeri untuk mengurangi impor besi baja adalah omong kosong. Sebab jelas bahwa mega industri ini hanya akan menguntungkan para pemilik modal dan birokrat-birokrat korup di sekitar lingkaran investasi ini.
Terbitnya Peraturan Daerah Daerah Istimewa Jogjakarta (Perda DIY) Nomor 2 Tahun 2010, adalah bukti jelas dukungan tanpa batas para birokrat terhadap aktifitas biadab ini. Undang-undang ini kemudian menjadi basis dasar penetapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari aktifitas tambang pasir besi. Sejauh ini AMDAL memang masih menjadi tarik ulur, namun kita semua pasti tahu seperti apa cerita ini akan berakhir. Sehingga bukanlah sesuatu yang mengada-ada kalau terbaca adanya keterlibatan gubernur Jogjakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Bupati Kulon Progo sendiri.
Tuntutan dua tahun penjara yang dibacakan oleh tim penuntut Nicholas Ahuluhelu, Ferdian Adi Nugroho dan Rohmanto Nugroho di Pengadilan Negeri Wates, jelas merupakan taktik teror agar perjuangan horizontal yang telah dibangun masyarakat Kulon Progo segera padam. Para penguasa menebarkan ketakutan agar perang asimetris ini segera berakhir dan investasi bisa kembali beroperasi. Persidangan yang tidak adil ini sudah jelas merupakan konspirasi busuk antara Negara dan Kapital di panggung peradilan. Sehingga mempercayai bahwa hukum dan lembaga peradilan netral dan tak berpihak merupakan kebodohan.
Namun penting untuk diketahui bahwa Kulon Progo tidak akan menjadi korban terakhir dari keganasan investasi Kapital. Para petani di pesisir pantai selatan di daerah Lumajang, Jember, Kebumen, Cilacap, Tasikmalaya, Indramayu dan Garut juga mesti bersiap-siap menghadapi persoalan yang sama. Sementara di daerah lain, akan selalu ada alasan bagi Negara dan Kapital menyingkirkan semua orang demi memuluskan kepentingan mereka. Dan hal ini bukan omong kosong. Lihat apa yang terjadi Pandang Raya dan Takalar (Sulawesi Selatan), Papua, Bima (NTB) dan di banyak tempat lain.
Tim NEGASI LIBERTANIA
1 komentar:
keren juga tulisannya bung...btw, negasi nyediain tuker link g? za biar nambah kawan gitu...thanks before,,,,
Posting Komentar