Sejatinya Perang Dunia II menjadi sarana bagi dimulainya intervensi luas Amerika dan sekutunya di berbagai penjuru dunia. Menyusul perang ini, negara-negara imperialis Eropa berkurang kekuatannya yang membuat Amerika berusaha memperluas kehadiran militernya di dunia. Perang Dunia II telah menguras biaya yang sangat besar bagi Amerika dan sekutunya, dan di sisi lain dalam masa ini terjadi perubahan suhu politik internasional yang sangat besar dan memunculkan isu-isu anti perang, kemerdekaan untuk daerah yang terjajah, hubungan internasional yang adil, demokrasi, HAM dan akhirnya memaksa kapitalisme harus merubah strategi dan taktik dalam melakukan penghisapan ekonomi.
Kondisi ini akhirnya pada awal 60-an lahirnya sebuah gagasan untuk bagaimana menstabilkan modal di Negara-negara jajahan dengan teori konspirasi global bertema “keseimbangan” yang diwujudkan dalam bentuk organisasi-organisasi Non pemerintah atau yang sering disebut NGO, dan akan berfungsi sebagai agen pencari data, infiltrasi, ataupun bergerak dalam isu-isu pemerintahan yang baik, demokrasi dan HAM, yang jika ditelaah lebih luas akan mendorong dan terbangunnya sebuah gerakan masyarakat yang justru menguatkan ide-ide utopis yaitu Negara yang demokratis.
Lembaga-lembaga ini memiliki aktivitas di bidang sosial. Sebagian dari LSM-LSM ini secara sadar atau tidak bertindak sesuai dengan tujuan Korporasi raksasa ataupun Amerika dan sekutunya, Di sisi lain, lembaga-lembaga Amerika seperti Ford Foundation, Albert Einstein, khususnya Lembaga Masyarat Terbuka yang dipimpin oleh George Soros memainkan peran penting dalam sistem dan pemerintah yang menentang Amerika. Menjamurnya LSM merupakan fenomena yang harus kita cermati. Dalam alam penjajahan model Neo-Liberalisme sekarang ini rakyat dimana-mana dihadapkan pada kontradiksi ekonomi yang sangat masif. Karena progresifitas modal membutuhkan ruang gerak yang lebih besar bagi akumulasinya. Akibatnya keadilan dan kesejahteraan rakyat diabaikan dimanamun modal itu tertanam. Di Negara Dunia Ketiga (Sebutan bagi negara miskin) tidak jarang pemerintahannya menjadi algojo bagi sistem Neo-Liberalisme."Peoples Centered Development" yang bervisi untuk menciptakan masyarakat adil, tidak tertindas, hak asasinya dihargai dan mendapatkan kehidupan yang layak. Begitulah motivasi mereka dalam berbagai lapangan mereka dengungkan soal motivasi mereka dan melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada massa dan kerap mendampingi massa dalam persoalan-persoalan yang berhadapan dengan kekuasaan serta modal.
Istilah "kekuatan pengimbang' (countervailing power) ini sebenarnya berasal dari John Kenneth Galbraith dalam bukunya, American Capitalism: the Concept of Countervailing Power (1952). Kekuatan pengimbang ini, menurut ekonomi AS ini tumbuh dalam kapitalisme yang telah matang. Dalam sistem perekonomian campuran (mixed economy), persaingan bebas yang murni, digantikan dengan sistem keseimbangan di antara berbagai kekuatan (balance of powers).
Kekuatan-kekuatan baru seperti serikat buruh, lembaga konsumen atau asosiasi pedagang. Dengan peraturan pemerintah, berbagai kekuatan itu membentuk sistem kekuatan pengimbang terhadap kekuatan monopoli dan oligopoli atau kekuatan bisnis besar. Dengan demikian maka kekuatan pengimbang itu mengarah kepada dua kekuatan lainnya, disatu pihak kepada pemerintah atau negara dan di lain pihak kepada bisnis besar. Itulah yang kemudian disebut sebagai Sektor Ketiga (Third Sector) yang membuat kapitalisme-demokratis (democratic capitalism) dapat bekerja.
Sebagai penengah, NGO kerap kali memang menyuarakan kepentingan masyarakat kepada pemerintah. harus bersikap kritis. Tetapi, NGO ada kalanya harus memberi penjelasan kepada masyarakat tentang kebijaksanaan pemerintah agar tidak terjadi konflik. Karena itu maka NGO disebut sebagai agen pembangunan modal, yang bekerja seperti layaknya tim evaluasi antara korporasi dan Negara.
Banyak telaah tentang teori-teori kapitalisme kontemporer melihat neoliberalisme pada prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru dari praktik imperialisme. Fase ini dimulai ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neo klasik yang masih menerapkan intervensi “regulasi pemerintah” Memberikan titik tekan pada ”regulasi pemerintah” untuk menghindari kekeliruan asumsi bahwa dengan praktik neoliberalisme maka peran negara dihabisi. Negara sekiranya pada posisi tertentu sebenarnya justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih meningkat dalam sistem neoliberalisme. Teori menghilangnya negara dalam sistem neoliberalisme sebenarnya justru banyak hal dipakai oleh kaum imperialisme untuk mendorong keyakinan ideologis bahwa negara memang sangat penting bagi perlindungan rakyat sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi penggagas neoliberalisme pasar seyogyanya harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang menghambat dinamika pasar.
Yang terjadi setelah neoliberalisme menjadi mazhab dominan dalam pola ekonomi politik dunia maka terbentuk aktor-aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini adalah : pertama, adalah World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994 dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade) Organisasi perdagangan ini saat ini lebih beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh kepentingan negara-negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembag melainkan terjebak mereka dalam hisapan imperialisme.
Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nyata mereka juga memberi pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang nampak pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang tertuang dalam syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. ketiga, adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB, dan seluruh lembaga pemberi donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga bentukan dalam kepentingan Imperialisme. Keempat, adalah perusahaan-perusahaan multinasional (TNC dan MNC) yang saat ini banyak berebut untuk mengeksploitasi kekayaan negara-negara dunia ketiga dan juga menetapkan sebagai pasar konsumsi produktif bagai akumulasi keuntungan. Kelima, adalah lembaga-lembaga non pemerintah internasional maupun nasional (NGO) yang kerap kali hanya menjadi tangan-tangan panjang dari kepentingan terselubung imperialisme. NGO adalah sebagai agen penting neoliberalisme merupakan kritik tajam pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang banyak justru tenggelam dalam mainstream kepentingan imperialisme yang sadar dan tidak sadar justru meredam kemungkinan perlawanan-perlawanan rakyat yang saat ini mulai geram.
0 komentar:
Posting Komentar