Saya menganggap bahwa apabila pemerintah dan korporasi melakukan suatu tindakan merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat; misalnya ketika Lapindo dan Bakrie Group (Aburizal Bakrie) menyebabkan bah lumpur menenggelamkan Sidoarjo, Newmont menggusur masyarakat Buyat dengan mencemarkan limbah tailing di pesisir pantainya, Freeport mendanai militer untuk menembaki masyarakat Papua agar dapat terus menerus mengeksploitasi alam Papua; jika di setiap saat ada hal-hal seperti itu terjadi, ketika kemanusiaan diinjak-injak dan alam sekitar dihancurkan, saya akan menyimpan amarah saya di dalam kepala, sehingga pada suatu saat nanti ketika terjadi insureksi (pemberontakan), saya akan memiliki kesempatan untuk mengeluarkan energi yang saya simpan tadi.
Jadi sebelum insureksi itu terjadi, saya akan terus-menerus menyimpan amarah tersebut dengan terus mengikuti ‘kegilaan’ yang diperbuat oleh pemerintah dan korporasi hari demi hari. Sebagai sampingan, saya akan menghadiri aksi-aksi menentang semua tindakan-tindakan semacam itu, meneriakkan slogan-slogan, dan pada penghujung hari saya akan kembali menyimpan satu kemarahan yang baru lagi di dalam kepala saya. Semua saya lakukan sebagai antisipasi bahwa suatu hari nanti saya akan membutuhkannya untuk meruntuhkan sistem kapitalistik ini.
Tapi, belakangan ini saya mulai gelisah. Kemarahan yang saya simpan mulai menggaduhi kepala dan pertanyaan tak terduga ini tiba-tiba hinggap di pikiran: Bagaimana saya tahu kapan waktu yang tepat untuk insureksi?
Apakah ketika kehancuran lingkungan sudah terasa sangat dekat dengan hidup kita? Ketika mata air tercemar dan udara tak lagi layak dihirup? Ataukah ketika sungai di sekitar kita sudah penuh dengan limbah dan banjir menenggelamkan Depok sampai Jakarta dan menyebabkan jutaan orang kelaparan?
Ketika itukah waktu yang tepat untuk insureksi?
Atau ketika pembangunan tenaga nuklir di Indonesia berubah menjadi bencana Chernobyl kedua dan zat radioaktif menjadi udara yang kita hirup? Ketika terjadi resesi ekonomi yang hebat dan kondisi sosial sudah semakin tak teperi?
Ketika itukah waktu yang tepat untuk insureksi?
Ketika korporasi dunia benar-benar telah melebarkan pembolongan lapisan ozon dan menyebabkan sebagian Bumi tenggelam karena es mencair? Atau ketika nilai-nilai saling berbagi, mengerti, dan menghargai antar sesama sudah bukan lagi nilai yang dipakai, ketika yang ada hanyalah saling menginjak untuk bertahan hidup?
Ketika itukah waktu yang tepat untuk insureksi?
Ketika sistem kontrol telah menjadi sedemikian hebat dengan paramiliter dan milisi sipil bentukan mafia-mafia politik (yang beridentitas agama, bangsa, maupun etnis) berkeliaran di setiap ruang sosial; dan kamera-kamera pengawas berada di setiap sudut kota dan yang ada hanya rasa takut serta amnesia dalam pikiran setiap orang?
Ketika itukah waktu yang tepat untuk insureksi?
Ketika segelintir “elit-elit pembebasan” berkoar-koar soal nasionalisasi, sosialisme negara, dan komando satu partai telah meraih konsen masyarakat dan kembali menjadi penguasa di atas kehidupan kita semua di mana partisipasi, otonomi, dan kebebasan dinafikan?
Ketika itukah waktu yang tepat untuk insureksi?
Atau kita akan tetap terus-terusan mengadakan demonstrasi, menyebarkan petisi, berharap sistem ini akan sadar diri akan kesalahannya dan berubah; atau berharap akan terjadi sebuah revolusi di masa depan nanti, ketika kita berhasil memengaruhi masyarakat untuk berdiri di samping kita dan barulah kita bisa memperbaiki semuanya? Apakah kita terus-menerus berharap, sementara sistem ini terus-terusan menghancurkan kita dan planet ini sampai pada tahap dunia menjadi tidak dapat ditinggali lagi?
Apakah kita akan menunggu, menunggu, dan menunggu sampai situasi menjadi sangat kritis? Pada saat itukah waktu yang tepat untuk insureksi?
Ataukah akan terlalu terlambat?
0 komentar:
Posting Komentar