Enclosure di Ruang Cyber dan Ancaman Komodifikasi Pengetahuan

Kontinum

Kebebasan di internet seperti berbagi dan menyebarluaskan informasi direpresi lewat rancangan kontrol bertitel Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect Intellectual Property Act (PIPA), maupun ACTA atau Anti-Counterfeiting Trade Agreement. Sejak beberapa waktu lalu isu ini terus bergulir hingga sekarang. Jika diberlakukan aturan tersebut tidak hanya akan berdampak di Amerika Serikat dan Eropa namun dapat berpengaruh ke seluruh dunia mengingat karakter internet yang fleksibel dan relatif tak berbatas.SOPA adalah RUU Anti Pembajakan Online, sedangkan PIPA adalah RUU Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Draft kontrol ini diusulkan tahun lalu oleh politisi dan pejabat tinggi Amerika Serikat untuk melindungi hak cipta materi internet seperti video, musik, perangkat lunak (software) dan semua barang digital dari pembajakan. Pada intinya, SOPA dan PIPA adalah instrumen untuk mengatur bagaimana dunia maya seharusnya menurut para borjuis dan teknokrat.Komunitas dunia maya dan pemerhati kebebasan informasi bereaksi dan merespon upaya mengkanalisasi kebebasan dalam internet melalui peraturan hak cipta ini. Serangkaian protes baik dalam skala besar maupun kecil, melalui medium dunia maya maupun protes sosial, dilakukan sejak akhir 2011. Setidaknya lebih dari 115.000 situs web dan puluhan juta orang bergabung dalam protes internet. Sementara di beberapa wilayah di AS dan Eropa aksi protes juga digelar secara langsung dan besar-besaran.

Di sisi lain, terdapat pula protes dari korporat yang cemas dengan masa depan bisnis mereka. Situs-situs seperti Google dan WordPress melakukan aksi blackout, mendompleng ‘kebebasan informasi’ untuk menekan Kongres menghentikan proses legislasi tersebut. 

Bagaimana Dunia Maya Seharusnya Menurut Mereka ? 

Inti dari aturan-aturan tersebut adalah penyensoran (censorship),  dimana pemerintah AS dan organisasi hak cipta berwenang penuh untuk memblokir akses ke situs web masuk dalam ‘klasifikasi’, yaitu situs-situs yang mengandung layanan yang melanggar hak cipta dan konten-konten tertentu. Ini dilakukan dengan memerintahkan penyedia layanan internet (ISP) mengubah domain name server-nya (DNS), sehingga situs-situs yang dimaksud terblokir dan tidak bisa diakses pengguna internet. Pihak otoritas juga dapat mengambil tindakan hukum dengan menggugat situs-situs mesin pencari, blog, direktori, atau situs umum yang menampilkan situs-situs blacklist. 

Praktek penyensoran seperti ini secara terbatas sebenarnya sudah berlangsung di berbagai negara misalnya di China, Thailand, Iran dan negara-negara Arab. Disebabkan situasi politik dan gejolak sosial yang sensitif, pemerintah China berupaya mengontrol keadaan dengan memaksa layanan mesin pencari untuk mengubah query pencarian sehingga pengguna internet di negara itu tidak akan menemukan hasil apapun jika mencari dengan kata kunci seperti ‘protes’, ‘Tibet’, ‘Tiananmen’ atau ‘Xianjing’ –kota yang sempat dilanda kerusuhan buruh beberapa waktu lalu[1]. Praktek serupa terjadi di Iran saat pergolakan menentang razim Ahmadinejad atau di Thailand untuk menghalau pendukung Takzim[2] 

Secara lebih luas, akibat pengaruh SOPA, kita tidak akan sebebas sebelumnya untuk mendapatkan sesuatu yang disebar secara terbuka (tidak berbayar), karena apa yang disensor nantinya bukan lagi sekedar subyek tertentu, tetapi keseluruhan hal yang ‘dianggap ilegal’. Dalam status ini, menyebar dan menyediakan kopian materi berhak-cipta dinyatakan ilegal. Sementara berbagai kalangan menganggap bahwa potensi ancamannya lebih dari itu karena banyak definisi-definisi dalam klausul SOPA dianggap bersayap dan luas. Mendatang, obyek sensor bisa saja bukan lagi urusan hak cipta dan komersial saja, melainkan hal-hal dengan tuduhan mengganggu ‘stabilitas nasional’, terorisme, dan sebagainya.

Dalam item lain yang lebih aktual seperti perjanjian ACTA misalnya, kita bisa memeriksa betapa berbahanya penyensoran dan pembatasan di internet. Kesepakatan tersebut merupakan  suatu bentuk traktat anti-pembajakan antar negara yang mengikat hukum di masing-masing negara untuk memastikan berlangsungnya kontrol menyeluruh atas persebaran materi berhak-cipta di kehidupan sehari-hari termasuk pendistribusiannya melalui internet dan media informasi lainnya.

Dalam ACTA, di masa mendatang seseorang tidak bisa lagi secara bebas menyebarkan dan menerima materi-materi yang termasuk dalam daftar perjanjian tersebut, bahkan sampai pada item-item yang bersifat common seperti resep masakan, ramuan obat-obatan, cerita rakyat, pengetahuan lokal dan sejenisnya. Ini merupakan bentuk advance dari TRIP’s. 

Apa di Balik Upaya Kontrol Dan Pembatasan Ini ? 

Mari kita kesampingkan untuk sementara, bahwa pergolakan di dunia Arab dan Afrika Utara disebabkan oleh liberalisasi media sosial berbasis internet seperti Twitter dan Facebook, juga gelombang protes sosial di Amerika yang menyebar ke seluruh dunia, distimulasi oleh penggunaan media-media sejenis. Artinya kita bisa menunda dulu kesimpulan bahwa pembatasan ini berhubungan erat dengan ketakutan pemerintah berbagai negara untuk menghadapi situasi yang diciptakan dari terbukanya media internet termasuk dalam hal perjuangan sosial, seperti kasus pensensoran di China dan Iran. Karena pada dasarnya, pembatasan dan kontrol ini, selain sebagai upaya mengendalikan masyarakat, juga merupakan respon atas krisis yang melanda kapitalisme. Untuk memahami itu, kita juga perlu melangkah dalam kerangka kritik ekonomi politik yakni kapitalisme.

Kita paham bahwa kapitalisme tengah menghadapi dan senantiasa krisis, sesuatu yang endemik di dalamnya. Sistem ini berkonsekuensi menghancurkan ‘profit reguler’ yang telah dihasilkannya dari eksploitasi selama ini. Kapitalisme membutuhkan suntikan baru, melalui akumulasi primitif, sebagai cara kapitalis menyembuhkan diri. Tanpa akumulasi primitif yang terus-menerus ini, proses produksi akan berhenti dan setiap krisis akan menjadi permanen.

Dalam hal ini, langkah historis yang ditempuh adalah melalui enclosure –pemagaran terhadap sesuatu yang bersifat komunal dengan mendepak para produsen dari alat produksinya, untuk menjamin hal tersebut terinkorporasikan ke dalam relasi kapital.

Di abad 19 dan 20 akselerasi dan pelebaran rekapitulasi kapital dilakukan dengan menghapus kontrol komunal atas alat produksi, merampas tanah melalui mekanisme hutang, menciptakan suplai tenaga kerja yang mobile, menghancurkan sistem sosial non-pasar, dan mengeksploitasi lingkungan. Pola-pola tersebut tidak berubah di abad 21, kecuali mediumnya yang bersesuaian dengan perubahan teknologi  canggih, dimana ekspresi tersebut ada dalam perlakukannya terhadap ruang-ruang komunal baru dalam versi modern : internet. 

Internet dalam Masyarakat Modern 

Secara sederhana internet adalah sistem yang dibangun untuk menghubungkan berjuta-juta komputer sehingga penggunanya bisa berinteraksi satu sama lain. Awal sejarahnya dimulai dari tahun 1969 melalui ARPANET Project, sebuah riset Departemen Pertahanan AS untuk menghubungkan komputer dan membangun jaringan organik. Riset tersebut menemukan bentuk jaringan sederhana yang hanya menghubungkan satu komputer dengan komputer lain yang saling berdekatan dan dihubungkan dengan kabel serat optik untuk memudahkan proses pertukaran informasi local area network (LAN). Perkembangan berikutnya telah berhasil menghubungkan LAN yang satu dengan LAN yang lain, yang di dalamnya terintegrasi banyak komputer. Kemudian, teknologi nirkabel dan penemuan format world wide web kemudian menstimulasi kemajuan jaringan komputer yang lebih luas, seperti yang kita kenal saat ini.

baru bagi interaksi sosial yang di dalamnya mengandung fitur-fitur seperti komunikasi, berbagi, dan berjejaring.Di abad 21 ini, internet bukanlah sesuatu yang mewah. Hampir semua orang pernah dan bisa mengaksesnya, baik dari komputer personal maupun perkakas lain yang lebih populer seperti telepon seluler. Lebih dari itu, internet bukan hanya ruang informasi bagi kita, melainkan dalam beberapa dua dekade terakhir telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan harian masyarakat modern. Kebutuhan yang melibatkan internet makin banyak dan kompleks, dari perdagangan online, perekonomian dan moneter, pendidikan, pers, mengatur lampu lalu lintas hingga yang ‘remeh temeh’ seperti sosialita dan pergaulan. Internet pun telah menjadi sphere.

Kini, kita hidup di dalam tatanan dunia baru yang tak mungkin ada tanpa jaringan telekomunikasi dan komputer yang membentuk mode elektronik atas sirkulasi uang, komoditi dan kekuasaan. Perkembangan-perkembangan tersebut adalah puncak dari logika lama sebagai respon atas krisis yang terjadi sebelumnya yang menjerembabkan struktur akumulasi internasional ke dalam krisis di era 60 dan 70-an. Dengan restrukturisasi, kapitalisme hari ini berkecenderungan untuk memapankan sebuah masyarakat yang berbasis informasi, komunikasi, teknologi canggih dan aspek-aspek kognitif lainnya[3] 

Di dalam masyarakat seperti inilah peran teknologi dan internet sangat vital. Seluruh relasi ekonomi  hingga kehidupan sosial diaransemen dengan mengintegrasikannya dengan internet sebagai  wahana yang mampu memediasi kecenderungan alami manusia untuk berhubungan satu sama lain, dan memediasi kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Disebabkan karena sifat dan utilitasnya, internet dalam masyarakat baru yang berkecenderungan tinggi terhadap teknologi informasi dan komunikasi dapat digambarkan serupa dengan tanah dalam masyarakat agrikultur sebagai alat produksi. Berkat internet berkembanglah produktifitas baru dalam proses akumulasi kapital.

Studi McKinsey Global Institute (2011) misalnya, menunjukkan kontribusi signifikan internet bagi perekonomian global. Kini ada sekitar 2 milyar orang terhubung di internet. Dari jumlah tersebut dihasilkan transaksi senilai 8 trilyun dollar melalui e-commerce dan transaksi online lainnya. Di 13 negara yang menjadi kajian, internet menyumbang hingga rata-rata 3,4% dari total GDP masing-masing negara. Sebuah nilai yang luar biasa yang bahkan melampaui sektor energi (1,7 %) maupun pertanian (2,2 %). Sementara dari total nilai transaksi yang ada, internet telah menyuntikkan nilai baru yang mencapai 75% bagi perdagangan tradisional.[4]

Kajian tersebut menyimpulkan bahwa pengaruh medium maya dalam perekonomian konvensional sangatlah signifikan, dan internet merupakan penggerak yang kuat terhadap pertumbuhan ekonomi, tercermin dari kontribusinya sebagai sektor di beberapa negara seperti India, Brazil, China, AS, Jerman, Perancis atau Swedia.

Meskipun terminologi ‘pertumbuhan ekonomi’ adalah takaran-takaran borjuis dalam memahami kesejahteraan, namun pencapaian ini hanya dimungkinkan berkat jaringan internet yang menjadikan flexibilitas dan mobilitas kapital bisa menjadi sangat tinggi.

Dan dalam kaitan dengan itulah, internet atau spesifiknya ruang siber (cyberspace) sebagai sesuatu yang common sekaligus prospektif secara ekonomi, dan menjadi penopang dalam mode masyarakat baru, mesti di-enclose untuk menjamin keberlangsungan siklus kapital.

Dengan sifat dasar dan tekanannya, kapitalisme tanpa henti berupaya mengembangkan produksi dan sirkulasi, yang mendorong perluasan geografis secara terus menerus, dalam sebuah sirkuit melingkar yang akan melingkupi keseluruhan bumi. Melalui internetlah tugas historis tersebut dipermudah. 

Struktur Perjuangan Elektronik dan ‘Komunisme Spontan’ 

Meskipun internet menopang pertumbuhan ekonomi dan kapitalisme, ia juga seperti pisau bermata dua. Karena utilitasnya, internet sesungguhnya mengandung kesamaan dengan telegraf, rel kereta api atau kapal uap di zaman awal kapitalisme, dimana Karl Marx mengatakan bahwa hal tersebut mengandung dua aspek yang bertentangan : eksploitatif dan emansipatoris.

Sebabnya, bahwa kapital mampu menerobos setiap rintangan ruang yang pada akhirnya menciptakan kondisi pertukaran fisik melalui alat-alat komunikasi dan transportasi. Di satu sisi, “kemudahan alat-alat komunikasi” menyediakan cara bagi kapital untuk memaksakan logikanya di seluruh dunia agar seluruh bangsa mengadopsi mode produksi borjuis, memaksa mereka berkenalan dengan peradaban, atau dengan kata lain untuk memborjuiskan mereka. Bersamaan dengan itu, proses ini juga justru menciptakan kondisi yang baik bagi gerakan revolusioner, yang terbantukan oleh penyempurnaan alat-alat komunikasi yang dihasilkan dari industri modern yang memungkinkan para pekerja di berbagai tempat berbeda dapat bertemu satu sama lainnya.

Sekarang, jejaring pasar dunia terbuat dari kabel serat optik dan jaringan satelit yang memungkinkan fleksibilitas kapital untuk memacu produktifitas, memudahkan laju mobilitas kapital, memediasi pasar dan distribusi komoditi, serta mengontrol kehidupan sosial. Akan tetapi, aktivis dan lingkar anti-kapitalis juga memanfaatkan cyberspace untuk memungkinkan globalisasi perjuangan, mengorganisir perlawanan dan solidaritas yang pada akhirnya menjelma dalam istilah Harry Cleaver sebagai struktur perjuangan elektronik (electronic fabric of struggles).[5] 

Selain itu, muncul pula kecenderungan yang berlawanan dengan tradisi dalam relasi kapital, yakni berdasarkan sifat dan karakter internet yang relatif plural, rizomatik dan egalitarian. Hal ini dapat dijumpai dalam proyek-proyek dominan dalam aktivitas internet seperti penyebaran dan berbagi informasi, proyek free software, open source, dan common creative, maupun jejaring diskusi dan informasi gratis. Paul Bowman mencatat bahwa hanya dalam kurun waktu 10 tahun saja, proyek-proyek free software dan open source telah sampai pada pencapaian yang setara dengan para kapitalis mengorganisir produksi hal yang sama. Windows oleh Microsoft yang dibuat selama berpuluh tahun, dapat ditandingi oleh Linux yang dibuat hanya beberapa tahun oleh berbagai kreator bebas yang hanya mengerjakannya dari waktu senggang. Bahkan dalam beberapa aspek, Linux melampaui Windows.[6] 

Proyek-proyek lain yang serupa telah menjelma menjadi kekuatan signifikan dalam kultur internet. Hal ini adalah pembuktian bahwa proyek-proyek kolaboratif seperti Linux dan Apache tersebut telah mendemonstrasikan secara empirik dimana sebuah sistem kode yang kompleks dan besar dapat dibangun, dikelola, dirawat dan dikembangkan dalam sebuah latar non-kepemilikan (non-propriertary). Tentu saja ini merupakan sebuah produktifitas yang luar biasa mengingat para partisipan pengembang sistem ini bekerja dengan model yang paralel dan relatif tidak terstruktur, dan pula tanpa kompensasi uang secara langsung.

Internet khususnya struktur peer to peer (P2P) merupakan bentuk ‘komunisme dasar dan spontan’, dalam terma yang digadang oleh Hardt dan Negri (2000). Dalam interaksi dan berjejaring, terbentuk sebuah struktur distribusi dan protokol yang memfasilitasi aliran data byte per byte melalui internet. Protokol tersebut tidak lain adalah hukum dalam alam cyberspace (Pedersen, 2010). Dalam protokol itulah terdapat kode-kode teknis yang membangun sebuah struktur distribusi, pertukaran dan komunikasi mengenai berbagai hal antar manusia.

Berdasarkan protokol tersebut, internet adalah sesuatu yang bersifat common atau sebuah arsitektur yang bersifat end to end, dimana setiap orang dapat saling berbagi berdasarkan susunan properti yang diperbolehkan secara nyata. Para penghuni cyberspace telah mengartikulasikan protokolnya sendiri tentang pertukaran, yang ironisnya berbeda dengan relasi kapital itu sendiri.

Dalam kondisi ini, ada satu hal penting yang harus dicatat bahwa dengan eksis dan berkembangnya relasi non-kapitalis di internet menjadikannya sebagai kanker dalam infrastruktur kapital itu sendiri. Ini merupakan bentuk dari retakan atau crack yang menganga. Dengan begitu tidak semua hal bisa dikomodifikasi dan dipertukarkan untuk mengakumulasi. Dalam relasi yang liyan ini, logika kapital tidak relevan dalam tradisi komunal online yang nyata-nyata mendelegitimasi dan melecehkan kepemilikan hak cipta, menegasikan lalu memapankannya sebagai mode relasi antar pengguna tanpa dilandasi motivasi untuk mengakumulasi kapital.

Babak baru akan dimulai setelah kapitalis mesti meng-enclosure wilayah dan atribut esensial dalam internet. Lalu, segera setelahnya, mentransformasikan tradisi komunal cyber ini untuk mendukung struktur akumulasi baru. Dalam struktur akumulasi ini internet sebagai medium berbagi ide, informasi dan hasil karya dari banyak pengguna dari berbagai belahan dunia, harus menjadi instrumen yang mendukung penegasan akan hak cipta dan kepemilikan intelektual. Internet harus melayani proses memprivatisasi ide, pemikiran dan karya agar menjadi komoditas yang hanya bisa diperoleh dengan jalur jual beli.

Di tahun 1994, kecenderungan ini sudah dimulai lewat traktat TRIP’s melalui organisasi perdagangan dunia (WTO). Secara historis, inilah tonggak awal enclosure pengetahuan dan internet. Yaitu upaya untuk memagari dan memprivatisasi pengetahuan, sesuatu yang sesungguhnya tidak dihasilkan secara berdiri sendiri namun bersumber dari ide dan pengalaman kolektif sebelumnya, yang berjalan lebih dinamis dan terus berkembang, sehingga ilmu pengetahuan sejatinya tidak dimiliki oleh siapapun. Dengan begitu argumentasi-argumentasi yang mendasari upaya kontrol dan pembatasan dalam SOPA maupun ACTA ini adalah semangat akumulasi. Dan program anti-pembajakan adalah alat untuk merepresi dan menekan karakter masyarakat/pengguna internet dalam berbagi dan memanfaatkan secara bersama, sesuatu yang identik dengan model gift economy. 

Untuk Tidak Sekedar Merasakannya Di Dunia Maya 

Meskipun pada akhirnya legislasi SOPA kandas di Amerika oleh protes yang merebak, ini tidak bermakna bahwa enclosure dalam ruang siber juga berhenti. Makin maraknya protes-protes terhadap ACTA menunjukkan bahwa skema ini masih terus berlanjut. Kita hanya bisa menjamin bahwa ancaman ini tidak bisa dihentikan tanpa perjuangan revolusioner yang menyeluruh, untuk juga menjamin keberlangsungan ruang-ruang komunal di dunia nyata maupun maya.

Oleh karenanya perjuangan melawan enclosure di ruang siber atau dunia maya juga mesti dimaknai sebagai ekspresi melawan dominasi dan kontrol kapital. Internet telah memberikan kita ruang untuk saling berbagi dan menyemangati, mengkonsolidasikan kekuatan, mengimajinasikan sebuah dunia lain yang mungkin untuk diwujudkan di dunia nyata secara sosial, dan menyusun struktur perlawanan. Itulah alasan mendasar untuk mempertahankannya.

Meskipun begitu, perjuangan revolusioner yang menyeluruh mestilah membuang seluruh kenaïfan yang dikandungnya, bahwa teknologi dapat dikontrol oleh sebuah ‘masyarakat yang ideal’. Bagaimana pun logika inheren dalam teknologi berlawanan dengan kehendak kita untuk bebas dan hidup yang otentik serta berkualitas. Dengan mendasar pada itu dan seluruh faedah yang bisa diambil dari internet, kita juga seharusnya lebih fokus bagaimana mewujudkan komunisme di dunia nyata untuk tidak sekedar merasakannya di dunia maya !
* * *

[2] Informasi tentang sensor internet di negeri-negeri Arab dapat dilihat di http://www.arabipcentre.com/
[3] Untuk topik ini lihat di Manufakturisasi Pendidikan: Represi Akademis dan Kapitalisme Kognitif di Universitas, Kontinum (2011)
[4] Matthieu Pélissié du Rausas, et al. 2011. Internet Matters : The Net’s Sweeping Impact on Growth, Jobs, and Prosperity. McKinsey Global Institute
[5] Harry Cleaver (1994) The Chiapas Uprising and the Future of Class Struggle in the New World Order, dalam Common Sense 15 halaman 5-15.
[6] Paul Bowman (2005) What is Communism? What’s in A Word ?

0 komentar:

Posting Komentar