Seberapa Damai Perlawanan Damai


Ishmael Yahalah
Burhan May Lee 


Di Koran Tempo edisi 20 Mei 2011, Ihsan Ali-Fauzi dosen Paramadina Graduate School menulis tentang mana perlawanan yang lebih efektif : dengan kekerasankah atau cara-cara damai?

Mengacu dari studi akademis Kurt Schock dalam Unarmed Insurrection (2005) serta Maria Stephan dan Erica Chenoweth (Why Civil Resistance Works?, 2010), Ihsan berargumen bahwa ketimbang cara-cara yang keras, metode perlawanan damai memiliki kemungkinan berhasil lebih besar. Contoh terkininya terpapar di Mesir dan Tunisia yang berhasil mencongkel Husni Mubarak atau Ben Ali, dimana Libya tak kunjung sukses menjungkal Kolonel Qhadafi. Keberhasilan di Mesir dan Tunisia tersebut menurut Ihsan tidak lepas dari metode yang ditempuh dalam perlawanan. Di Mesir dan Tunisia, pemrotes mengusung cara-cara damai, sementara di Libya oposisi mengangkat senjata hingga terlibat perang sipil tanpa ujung.

Studi Stephan & Chenoweth (2008) yang menganalisa perlawanan-perlawanan dari 1900 hingga 2006,  memunculkan kesimpulan bahwa keberhasilan gerakan tak bersenjata lebih tinggi yakni 53 persen dibanding gerakan perlawanan bersenjata yang hanya 26 persen.

Untuk tidak terjebak dalam pengglorifikasian metode damai maupun cara-cara kekerasan, kami tidak akan mendebatinya secara biner dan dikotomis. Ini karena bagi kami, keharusan mendasar pertama dalam hal ini adalah melakukan demistifikasi pada banyak mitos-mitos yang senantiasa melekat pada diskursus gerakan perlawanan non-kekerasan (non-violence movement).  Selain itu, konsentrasi juga mesti kita arahkan pada perubahan-perubahan esensial dalam perlawanan. 

Kebingungan-kebingungan Kontemporer 
Ada beberapa hal yang absen dalam hampir setiap tulisan yang mengadvokasi cara-cara damai sebagai satu-satunya jalan yang memungkinkan untuk sebuah perubahan. 

Pertama, kita tidak mendapatkan klarifikasi yang jernih tentang apa yang disebut perjuangan-perjuangan damai. Tidak ada penjelasan seperti apa rentangan atau definisi minimumnya, termasuk ruang  mutasi metodologisnya jika diperlukan.

Dalam contoh kontemporer misalnya, definisi-definisi tersebut menjadi gamang. Apakah rakyat Mesir yang marah dan menduduki pusat-pusat kota di Kairo masih bisa disebut berjuang secara damai saat aksi-aksi tersebut berubah menjadi amuk massal? Bagaimana pula di Yunani 2009, untuk melawan pasukan negara bersenjata lengkap para anarkis mempersenjatai diri dengan botol berisi gasolin dan sumpal sumbu. Atau para piquetteros di Argentina tahun 2001 yang bersenjatakan gagang baseball dan rantai mesin saat bahu membahu dengan buruh untuk mempertahankan pabrik dari polisi dan preman bayaran. Apakah insurgen yang mengangkat senjata berjuang menentang diktator Qhadaffi sekaligus menolak tentara NATO di Libya, seutuhnya disebut pengguna kekerasan? Lalu bagaimana pula Intifada di Palestina dimana para pejuang bahkan tidak melihat lagi kemungkinan memenangkan perlawanan terhadap Zionis melalui cara-cara damai?

Dalam penjelasannya, Stephan dan Chenoweth juga mengadopsi bahwa “metode-metode non-kekerasan meliputi protes-protes simbolik, boikot, pemogokan, pembangkangan sosial dan politik, serta intervensi damai, dimana kecenderungannya mengambil posisi di luar kanal politik tradisional –yang membedakannya dengan proses-proses politik non-kekerasan lainnya seperti lobi, jalur elektoral (pemilu ataupun pilkadal) maupun proses legislasi”. Meski menggambarkan keragaman taktik perlawanan non-kekerasan dari akan tetapi highlight ini justru mengkonfirmasi kebingungan metodologis sekaligus teoritis kebanyakan pasifis.

Kegamangan aksi dan metode non-kekerasan ini hanya berpijak pada prinsip “jika pun memang akan ada darah yang tumpah, biarlah itu darah kita,” dengan tujuan menarik perhatian internasional dan liputan pers untuk menekan pemerintah agar memenuhi tuntutan para pemrotes. Untuk itu, moral utama gerakan non-kekerasan adalah tidak menggunakan kekerasan dalam bentuk dan alasan apapun.

Mayoritas pasifis atau penganjur cara damai selalu menempatkan dirinya berseberangan dengan kekerasan tipe dan alasan apapun, termasuk ‘kekerasan revolusioner’, sebuah frasa yang mungkin terdengar sangat klise. Sehingga tiada hal yang pasti untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar seperti apakah yang dimaksud cara-cara damai adalah saat absennya penggunaan senjata organik atau bahan peledak? Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan gerakan bersenjata, apakah hanya ketika insurgen menggunakan senjata organik atau bom rakitan, dan bukan balok kayu, batu bata, atau pentungan?

Dan tentu saja pertanyaan yang tidak pernah terjawab adalah seberapa damaikah gerakan perlawanan damai? 

Kedua, terdapat hal yang sangat mengganggu mengenai ukuran-ukuran keberhasilan yang dicapai sebuah gerakan. Jika klaim bahwa perlawanan damai lebih efektif, maka tentu saja efektif dalam mencapai sebuah ukuran-ukuran tertentu.

Stephan dan Chenowenth menuliskan perlawanan damai di Mesir dikatakan berhasil saat menjungkal Hosni Mubarak, Gandhi dikatakan berhasil dalam pembebasan nasional India, atau Timor Timur berhasil lepas dan berdiri sendiri dari Indonesia. Semuanya dicapai lewat gerakan perlawanan damai dan bukan dengan penggunaan kekerasan.

Ukuran keberhasilan sebagai pangkal kategori yang disebut efektif, tentu saja sangat debatable tergantung sudut pandang serta gambaran dunia yang kita bangun. Teori ini ambigu, dan kita bisa simpulkan bahwa jika untuk mencapai ukuran tersebut, semua metode dan taktik dapat sejajarkan.

Inilah rekahan dalam teori perlawanan damai. Hanya akan efektif bila ukuran dan capaian-capaian maksimumnya yang reformis dan normatif. Angka 53 persen yang muncul dalam studi tersebut nyaris kesemuanya adalah capaian-capaian normatif seperti penggantian kepemimpinan nasional, pengesahaan undang-undang tertentu, dan sejenisnya.

Kami berpendapat bahwa ukuran keberhasilan tidak bisa sesederhana itu, melainkan mesti mendasar dan esensial serta radikal. Tentu saja tidak ada platform yang baku untuk menawarkan seperti apa konsepsi capaian radikal dalam sebuah pergerakan. Menurut kami keberhasilan sebuah gerakan baik menggunakan cara-cara damai maupun yang menambahkan dengan aksi-aksi kekerasan, terletak pada bangunan dasarnya serta situasi yang dipengaruhinya.

Apakah aksi-aksi tersebut berhasil mendorong pembangunan dewan-dewan warga atau pekerja dalam rangka mentransformasikan kapitalisme sesegara mungkin, atau komite-komite dalam mengelola dan mengontrol perjuangan agar tetap otonom dan tidak direkuperasi oleh partai politik, yayasan-yayasan kelas menengah, atau negara? Apakah partisipasi warga terbangun secara aktif dan dominan untuk mengorganisir dan mempertahankan kemenangan merebut kontrol hidup mereka sendiri? Apakah terbangun solidaritas horizontal lintas batas untuk mempertahankan capaian-capaian yang telah diraih? Apakah insureksi tersebut, baik bersenjata atau tidak, menjalar ke tempat-tempat lain? Dan seterusnya.

Dalam beberapa contoh historik misalnya Revolusi Rusia 1917 (sebelum revolusi dikalahkan oleh kapitalisme negaranya Bolshevik), Revolusi Spanyol 1936-1937 (sebelum revolusi digadaikan oleh pihak Komunis dan kolaboratornya dengan kaum republikan), hingga perlawanan rakyat dalam Dewan Rakyat APPO di Oaxaca tahun 2001 (sebelum dikoptasi oleh politisi Kiri), semuanya tidak diorganisir oleh aksi-aksi yang menihilkan kekerasan, baik sebagai konsekuensi maupun taktik.

Untuk memberangus sistem ekonomi dominan yang menghisap dan menindas dengan memonopoli kekerasan sebagai modusnya, diperlukan sebuah upaya yang melampaui kanal-kanal normal. Dan kita tidak mungkin menggadai capaian radikal dan mendasar dengan percaya bahwa “untuk menuju ke arah sana hanya ada satu-satunya cara yang mungkin”. 

Ketiga, mayoritas orang terjebak pada distorsi bahkan falsifikasi sejarah sebagai basis argumen gerakan-gerakan non-kekerasan. Ada tiga contoh yang sering diajukan sebagai rujukan keberhasilan gerakan non-kekerasan yakni 1) gerakan pembebasan nasional di India yang dimotori oleh Mahatma Gandhi, 2) gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, dan 3) gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat di bawah Martin Luther King Jr.

Nyatanya, sebagaimana Michael Neumann (2003) jelaskan, argumen-argumen atas kesuksesan gerakan tersebut lebih banyak bertabur mitos ketimbang penjelasan jernih. Bahkan Peter Gelderloos dalam How Non-Violence Protect The State (2007) menuliskan bahwa sebagai taktik, non-kekerasan tidaklah (sepenuhnya) efektif, memiliki kecenderungan rasis, mendukung dan memperkuat negara, bersifat patriarkis, inferior dan mengilusi. Ini terbukti di banyak contoh sejarah. 

Demistifikasi Sejarah

INDIA
Di India, Mahatma Gandhi mendorong gerakan pembebasan nasional India melawan kolonial Inggris, dengan prinsip non-kekerasan. Tujuannya tentu saja mengusir penjajah dan membebaskan India sebagai tanah merdeka dan berdaulat, yang bersatu tanpa pertikaian etnis dan keyakinan. Namun jauh dari apa yang sering digambarkan, Gandhi dan gerakannya tidak berhasil mewujudkan ideal-idealnya, terlebih melalui taktik-taktik damai. India selepas gerakan Gandhi adalah India yang terbelah dengan berdirinya Pakistan, yang penuh dengan perseteruan berdarah paling mengerikan paska perang dunia, terutama antara kaum Muslim dan Hindu.

Kemerdekaan India secara formal tidaklah sepenuhnya buah dari taktik non-kekerasan. Fakta yang terjadi lebih kompleks ketimbang analisa sederhana dari kalangan pasifis mengenai keberhasilan metode non-kekerasan Gandhi dan pengikutnya. Runtuhnya kekuasaan penjajah Inggris di India juga dipengaruhi faktor internal penjajah. Saat gerakan rakyat di India bangkit, kekuatan Inggris dalam mengontrol kekuasaan kolonialnya sebenarnya telah merosot tajam setelah kehilangan jutaan tentara dalam perang dunia. Resistensi melawan imperium Inggris di tempat lain juga berkontribusi besar dalam pelemahan tersebut, seperti perjuangan militan Arab dan Yahudi di Palestina dari tahun 1945 hingga 1948. Posisi tersebut memaksa penjajah Inggris mengambil keputusan penting untuk melepas kekuasaan langsung di tanah jajahan, demi memperbaiki stabilitas di negeri induk.

Lagipula India tidak sepenuhnya berdaulat seperti yang selalu diklaim. Inggris tidak hengkang dari India, melainkan hanya mengalihkan wilayah jajahannya dalam kekuasaan neo-kolonial.

Analisa tersebut berhubungan dengan kekeliruan-kekeliruan dalam menghubungkan berbagai faktor yang berpengaruh dalam peristiwa tersebut.

Kekeliruan pertama adalah heterogenitas taktik dalam sejarah perlawanan India. Berkebalikan dengan argumen-argumen umum, non-kekerasan bukanlah satu-satunya metode yang dipakai oleh militan India. Ada banyak taktik dan metode lain yang bahkan berseberangan dengan ahimsa.

Sementara kekeliruan kedua adalah bahwa Gandhi bukanlah satu-satunya figur penting dalam resistensi di India. Salah satu yang terlupakan adalah Chandrasekhar Azad (1906 – 1931) dan Bhagat Singh (1907 – 1931). Azad dan Singh adalah figur penting yang tidak mungkin dipisahkan dari sejarah gerakan pembebasan di India. Para militan tersebut menempuh jalur bersenjata, pemboman kantor dan markas tentara Inggris, dan pembunuhan opsir-opsir penjajah. Pilihan yang sungguh bertolak belakang dengan yang ditempuh Ghandi itu diambil karena menganggap metode non-kekerasan sesungguhnya kompromis dan hanya akan mengganti satu penindas dengan penindas lain, serta berpotensial memoderasi perlawanan. Tahun 1922, selepas kerusuhan besar-besaran, Ghandi menyerukan kepada rakyat India untuk menghentikan perlawanan, sebuah posisi yang menyebabkan ia kehilangan banyak dukungan.

Amerika Serikat 
Gerakan menuntut persamaan hak-hak sipil di Amerika yang berkembang sejak akhir 50-an dan hingga pertengahan 60-an juga selalu menjadi rujukan dari kelompok-kelompok pasifis. Martin Luther King Jr. adalah salah satu figur penting dalam gerakan ini. Ia juga menekankan prinsip non-kekerasan sebagai bagian dari gerakan tersebut. Namun tidak ada kesuksesan dari gerakan tersebut kecuali pada beberapa aturan legal yang hanya menguntungkan borjuis kulit hitam.

Gerakan persamaan hak yang diusung kaum kulit hitam menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar perubahan undang-undang saja. Black Movement menuntut persamaan penuh dalam hal politik, sosial dan ekonomi, dan bahkan menuntut kedaulatan penuh dari imperialisme kulit putih. Karenanya kita tidak mungkin memisahkan gerakan kulit hitam dari sayap revolusioner seperti Black Panther, sebuah grup yang haluannya sangat kontras dengan Martin dan pengikutnya. Sebuah jajak pendapat di tahun 1970 menyimpulkan mencatat bahwa popularitas dan kepercayaan kaum kulit hitam kepada Black Panther secara politik sangat tinggi. Mayoritas menganggap bahwa aksi-aksi militant Black Panther telah mendorong kebanggaan atas identitas mereka –sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi, menginspirasi untuk terlibat dalam gerakan, dan sepakat dengan pandangan-pandangannya yang radikal mengenai persamaan hak.

Sementara mitos tentang pendekatan non-kekerasan dalam gerakan tersebut sebenarnya juga lemah. Dalam beberapa aksi-aksi populer seperti kampanye Birmingham, partisipan gerakan telah banyak meninggalkan pasifisme yang dipakai oleh King dan pendukungnya. Pada tanggal 24 Juli 1962 di Albany, Georgia, aksi protes damai berubah menjadi rusuh dimana kaum muda kulit hitam berhasil memaksa polisi keluar dari perkampungan mereka.

7 Mei 1963 di Birmingham, lebih dari 3000 kaum kulit hitam marah dan melakukan balas dendam ke polisi. Hanya butuh 2 hari, aksi ini kemudian direspon cepat oleh pemerintah negara bagian maupun pemerintah federal dengan mengesahkan tuntutan kaum kulit hitam tentang diskriminasi rasial. Pengesahan ini keesokan harinya mengundang kemarahan kalangan fasis kulit putih, yang membom rumah dan toko-toko milik orang kulit hitam. Akibatnya, tidak bisa dibendung lagi. Berselang satu hari kemudian, kemarahan kulit hitam memuncak. Ribuan orang turun ke jalan, membakar properti bisnis orang-orang kulit putih, menghancurkan mobil-mobil polisi dan melukai beberapa aparat termasuk kepala polisi lokal. Seluruh Amerika terhentak oleh peristiwa tersebut. Selama sebulan lebih media massa terus menerus mengangkat hal ini. Kaum kulit hitam telah menanggalkan kepercayaan mereka sebelumnya dan bersikeras bahwa aksi-aksi damai sudah gagal dan tidak lagi efektif. Dengan tetap berjuang melawan rasisme tanpa berkompromi lagi, aksi inilah yang akhirnya mengakhiri beberapa tahun episode pasif dari gerakan hak-hak sipil.

Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, terlalu naif untuk menyimpulkan bahwa sejarah gerakan anti-apartheid dikendalikan dalam platform non-kekerasan. African National Congress atau ANC yang memainkan peranan penting dalam gerakan tersebut, tidak pernah memiliki komitmen non-kekerasan ala Gandhian. Ini adalah hal jamak di berbagai pergerakan anti-apartheid lainnya di Afrika. Meskipun ANC tidak secara langsung menggunakan taktik-taktik kekerasan , kedekatan dan relasi mereka dengan kelompok-kelompok atau sayap bersenjata seperti Umkhonto we Sizwe (MK) adalah indikasi bahwa ANC mendorong perjuangan skala luas dan bukan dalam taktik tunggal.

Penggunaan kekerasan adalah hal tak terhindarkan dalam perjuangan yang penuh represi tersebut. Namun berkebalikan dengan prinsip gerakan non-kekerasan yang tidak mentolerir alasan apapun bahkan jika untuk membela diri, kaum kulit hitam Afrika Selatan justru kerap kali menggunakan metode kekerasan secara luas, tidak hanya dalam situasi bertahan atau membela diri. Ini adalah fakta yang memposisikan bahwa gerakan tersebut tidaklah semata menggunakan taktik non-kekerasan.

Taktik-taktik kekerasan memainkan peranan penting dalam memajukan perjuangan di Afrika Selatan. Di tahun 1959, Presiden ANC Albert Luthuli mulai menyerukan kepada pendukungnya untuk memboikot perekonomian nasional. Gerakan non-kekerasan ANC sebenarnya dimulai tujuh tahun sebelum seruan pertama boikot tersebut. Akan tetapi, seruan boikot tersebut baru ditanggapi dan berhasil semenjak 1977, yaitu setahun setelah peristiwa kerusuhan di Soweto. Seruan serupa juga bersambut di tahun 1985-1986, yakni setelah kerusuhan demi kerusuhan berkembang dimana para pemrotes mengambil aksi-aksi keras termasuk menyerang kantor-kantor polisi.

Selain partisipasi rakyat dalam aksi-aksi kolektif, aksi-aksi gerilyawan sayap bersenjata juga turut melemahkan pemerintah apartheid Afrika Selatan. Aksi-aksi ini terutama menyasar pada musuh-musuh politik gerakan anti-apartheid, hingga aparat maupun intel-intel polisi.

Sejarawan selalu luput mengenai aksi-aksi tersebut, terutama karena aksi-aksi jalanan dan radikal diorganisir oleh geng-geng kecil maupun gerombolan-gerombolan tanpa identitas organisasi formal yang tidak dikenal. Inilah yang menyebabkan bahwa kebanyakan falsifikasi sejarah berawal dari kekeliruan memahami karakter disorganisasi dari sebuah aksi-aksi radikal.

Kejatuhan rezim apartheid Afrika Selatan sama sekali bukan karenan tekanan aksi-aksi simpatik non-kekerasan, beban moral para tiran, atau sesuatu yang dalam bahasa Gandhian disebut penderitaan pasif (passive suffering). Apartheid di Afrika Selatan runtuh karena para penguasa kulit putih dan sekutunya di luar Afrika Selatan telah tersudutkan oleh situasi dan kondisi yang sudah di luar kontrol mereka, terutama situasi ekonomi yang terus memburuk karena boikot, melemahnya birokrasi, dan meningkatnya aksi-aksi kekerasan melawan rezim apartheid.

Melampaui Dikotomi
Tentu saja menolak pasifisme atau non-kekerasan bukanlah mempromosikan kekerasan sebagai resep mujarab. Hal itu tidaklah sepenuhnya menggaransi keberhasilan sebuah perjuangan. Namun secara realistis kita harus menerima bahwa terkadang kekerasan itu dapat dibenarkan, terlebih kekerasan untuk bertahan atau untuk melawan kekerasan dari pihak lain. Sementara di seberang sisi, para pasifis selalu merawat kepercayaan dan logikanya dengan cara yang tidak kritis, bahwa tak satupun jenis kekerasan yang bisa ditoleransi.

Karenanya kita mesti melampaui dikotomi kekerasan dan non-kekerasan. Yang diperlukan adalah mengembangkan berbagai taktik yang relevan dengan situasi hari ini dalam konteks ‘perang sosial’ (social war). Karena yang kita ingin capai bukan sekedar mengganti undang-undang, merombak kepemimpinan nasional dengan menggulingkan yang lama dan mengganti dengan yang baru, serta hal-hal lain yang tidak esensial, maka kita harus mengkonsentrasikan perubahan pada hal-hal mendasar.

Esensi sebuah perubahan radikal juga bukanlah terletak pada konfrontasinya dengan negara dan kapital, melainkan sifat dasar dari gerakan yang berkonfrontasi tersebut. Ini berarti hanya bisa termanifes dalam relasi sosial pada organisasi, dewan-dewan, atau wadah-wadah lain yang muncul dalam konflik sosial yang berlangsung. Ini merupakan proses mutlak yang dibutuhkan, yakni mendemistifikasi tawaran dan agenda reformis serta otoritarian yang hanya menjebak perlawanan dalam logika yang itu-itu saja.

Sehingga selain memenangkan perlawanan kita juga seharusnya berkonsentrasi pada pertanyaan : apakah relasi sosial yang terbangun dalam perjuangan tersebut berhasil menegasikan relasi sosial sebelumnya dan mengekspresikan tatanan yang ingin dicapai (non-hirarkis, swakelola dan swadaya, otonom, dll)? Ataukah masih mereplikasi tatanan sosial yang eksis saat ini (hirarkis, terpusat, terkomandoi, dll) ?

*****
Rujukan
  1. Why Civil Resistance Works? The Strategic Logic of Nonviolent Conflict, Maria Stephan dan Erica Chenoweth (International Security Vol 33 No 1, 2008)
  2. How Non-Violence Protect The State, Peter Gelderloos (South End Press, 2007), Cambridge
  3. Nonviolence Its Histories and Myths, Michael Neumann (CounterPunch, 2003)

0 komentar:

Posting Komentar