Kapitalisme

(Bermain-main dalam taman Sosialisme dan Kapitalisme) 
Ojudista

BAGIAN PERTAMA
A. Runtuhnya Model Marxis

Pemikiran Marx menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekonomi, dan filsafat kritis. Yang terakhir filsafat kritis, berinspirasi dari pemikiran Karl Marx, menjadi salah satu aliran utama dalam filsafat abad ke-20. Sementara ini banyak kategori pemikiran Marx sudah memasuki kawasan filsafat dan ilmu-ilmu sosial lain, bahkan dalam diskursus politik, sosial, ekonomis, dan budaya kaum intelktual hamper di seluruh dunia. Ada satu unsure khas bagi pemikiran Karl Marx : pemikirannya tidak tinggal dalam wilayah teori, melainkan sebagai ideology Marxisme dan komunisme, menjadi sebuah kekuatan sosial dan politik. Marx dan hanya Marx, mengembangkan sebuah pemikiran yang pada dasarnya filosofis, namun kemudian menjadi teori perjuangan sekian banyak generasi gerakan pembebasan. Marx sendiri memang tidak pernah memahami pemikirannya sebagai usaha teoritis-intelektual semata-mata, melainkan sebagai usaha nyata dan praktis untuk menciptakan kondisi-kondisi kehidupan yang lebih baik. Marxisme tidak sama dengan komunisme, komunisme yang juga disebut komunisme internasional adalah nama gerakan kaum komunis. Komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis yang sejak revolusi Oktober 1917 di bawah pimpinan W.I Lenin menjadi kekuatan politis dan ideologis internasional. Istilah komunisme juga dipakai untuk ajaran komunisme atau Marxisme-leninisme yang merupakan ajaran atau ideology resmi komunisme. Jadi Marxisme menjadi salah satu komponen dalam system ideologis komunisme. Kaum Komunis memang selalu mengklaim monopoli atas interpretasi ajaran Marx dengan maksud untuk memperlihatkan diri sebagai pewaris sah ajaran Marx tersebut. Perlu diperhatikan bahwa sebelum dimonopoli oleh Lenin, istilah komunisme dipakai untuk cita-cita utopis masyarakat, di mana segala hak milik pribadi dihapus dan semuanya dimiliki bersama. 

Apakah sebenarnya Marxisme itu? Secara praktis dan ringkas pemikiran Karl Marx sebenarnya muncul dikarenakan adanya eksploitasi dari kaum borjuis terhadap kaum proletar dalam suatu proses produksi sebagai akibat dari adanya sistem kapitalisme (Woodfin, 2008). Sistem kapitalisme awal yang dimaksud disini adalah kapitalisme pada masa setelah revolusi industri berlangsung (yang menandai berakhirnya sistem feodal) dimana dipergunakan teknologi dalam industri yang menyebabkan peran buruh menjadi kurang. Pihak borjuis yang menguasai sarana produksi dapat dengan mudahnya mendapatkan penghasilan karena bisa melakukan proses produksi. Sebaliknya kaum proletar (para buruh) yang pendapatannya tergantung dengan kaum borjuis semakin terpojok akibat kapitalisme yang menggantikan posisi mereka dengan teknologi baru (Pozzolini, 2006). Berawal dari sinilah terjadilah antagonisme kelas antara kaum borjuis dan proletar. Puncak dari antagonisme ini adalah revolusi yang menghasilkan persamaan kedudukan antara kaum borjuis dan proletar (Woodfin, 2008).

Marx sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hegel, seorang filsuf politik yang menempatkan rasionalitas dan kebebasan sebagai nilai tertinggi. Marx muda sangat tertarik dengan filsafat Hegel dan dari filsafat Hegel inilah ia mengajukan sebuah pertanyaan (yang berkaitan dengan kondisi reaksioner Prussia terhadap masyarakatnya) yang selanjutnya akan menjadi dasar teori Marxisnya yakni, ”bagaimana membebaskan manusia dari penindasan sistem politik reaksioner (Prussia)?” Saat itu Marx tergabung dalam suatu kelompok bernama Klub Para Doktor dan menjadi kaum Hegelian-muda yang sangat mengkritisi pemerintah Prussia. Yang unik dari statusnya sebagai penganut Hegelian-muda adalah ia sendiri oposisi terhadap filsafat Hegel sebab Hegel diklaim sebagai teolog Protestan yang mendukung Prussia dan Marx tidak setuju akan hal ini. Oleh karena itu Marx disebut juga sebagai Hegelian Kiri.

Berstatus sebagai seorang Hegelian kiri pemikiran Marx terus mencoba menggali filsafat Hegel dan menemukan sebuah ketidakkonsistenan pada kondisi masyarakat Prussia yang berada dibawah tekanan pemerintah dengan kondisi masyarakat Prussia yang digambarkan sebagai masyarakat rasional dan bebas oleh Hegel Pemikiran ini terus berkecamuk dalam pikiran Marx hingga akhirnya ia menemukan teori Feuerbach yang mengungkapkan bahwa ciri reaksioner negara Prussia adalah suatu ungkapan sebuah keterasingan manusia dari dirinya sendiri.

Pindah ke Paris Marx kembali menelusuri pertanyaannya tadi dengan pertanyaan dimanakah Marx bisa menemukan keterasingan itu. Dari interaksinya dengan beberapa tokoh sosialis seperti Proudhon dan Friederich Engels ia menemukan jawaban bahwa keterasingan berlangsung dalam proses pekerjaan manusia, dan pekerjaan akan menjadi identitas manusia. Namun sistem hak milik pribadi kapitalis yang sarat eksploitasi justru membuat manusia mengasingkan diri.

Mengerti akan hal ini Marx kemudian semakin memusatkan perhatian kepada syarat-syarat penghapusan hak milik pribadi. Ia mengklaim bahwa konsep sosialisme yang dimilikinya adalah sosialisme ilmiah yangtidak hanya didorong oleh cita-cita moral, melainkan berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat. Dari sinilah pendekatan Marx akhirnya berubah dari yang bersifat filosofis menjadi semakin sosiologis. Sosialisme dipandang sebagai paham sejarah yang materialistik yang mana dimengerti sebagai dialektika antara perkembangan bidang ekonomi dengan struktur kelas sosial. 

Dari pemahaman tersebut Marx berpendapat bahwa faktor yang menentukan sejarah bukanlah politik atau ideologi melainkan ekonomi. Perkembangan dalam cara produksi lama-kelamaan akan membuat struktur hak milik lama menjadi hambatan kemajuan. Dalam situasi ini akantimbul revolusi sosial yang melahirkan bentuk masyarakat yang lebih tinggi.

Sebagai kesimpulan dari pemikirannya, Marx menjelaskan bahwa kapitalisme tidak akan pernah berjaya karena akan timbul revolusi buruh yang akan menghapus hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan mewujudkan masyarakat sosialis tanpa kelas Inilah yang selanjutnya disebut sebagai paham Marxisme oleh pengikutnya (Marx sendiri tidak pernah berkata bahwa pendapatnya ini adalah sebuah teori atau paham, bahkan ia sendiri mengelak untuk disebut sebagai seorang Marxis).

Satu hal yang bisa digaris bawahi dari penjelasan sedikit ini adalah Marx menolak secara tegas adanya ketidakseimbangan kelas antara proletar dan borjuis dan menghendaki adanya revolusi proletariat. Inilah tugas yang seharusnya dilakukan oleh kaum proletar untuk mendapatkan kesetaraan dan haknya kembali yakni menggulingkan kapitalisme dengan menggebrak kaum borjuis (Pozzolini, 2008). Dengan adanya revolusi maka kesetaraan akan didapatkan kembali dan utopianisme untuk membuat masyarakat dunia yang sosialis akan terbantahkan. Dunia yang dicita-citakan dimana hak milik pribadi dihapuskan dan menjadi hak bersama bukanlah hal yang mustahil (Suseno, 1999). Hal ini pun akan semakin membuktikan bahwa pemikiran Karl Marx bukan hanya bersifat filsafati namun sangat ilmiah (sosiologis) dan dapat diaplikasikan. Namun demikian sepertinya utopianisme itu benar-benar terjadi, terbukti dengan runtuhnya rezim komunis terbesar di dunia yakni bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 setelah partai komunis gagal mendapatkan suara dalam pemerintahan (Suseno, 1999). Berakhirnya Perang Dingin antara blok Barat (Amerika Serikat) dan Timur (USSR) yang kemudian dimenangkan oleh Amerika Serikat memicu dunia untuk meniru sistem politik dan ekonomi yang dianutnya. Nilai-nilai liberal mengenai demokrasi dan individualisme kembali mencuat ke permukaan dan kapitalisme mucul dengan wajah baru, globalisasi (Gilpin, 2000). Era pasar bebas ini menuntut setiap negara untuk berjuang memperdagangkan keunggulan komoditas negaranya ke pasar internasional. Kemajuan teknologi dalam bidang informasi terutama semakin memacu percepatan denyut nadi globalisasi.

Melihat kenyataan ini maka akan secara jelas kita pertanyaan, ”Mengapa hipotesis marxisme terhadap runtuhnya kapitalisme di kemudian hari tidak terbukti?” Sebelum menjawab pertanyaan ini penulis akan menjelaskan pembahasan ini ke dalam 3 pembahasan yakni pembahasan mengenai pemikiran Karl Marx terhadap Marxisme, pembehasan mengenai globalisasi, serta pembahasan mengenai ketidak relevansian Marxisme dalam era globalisasi. 

B. Globalisasi: suatu kritik terhadap Marxisme I 
Melihat fenomena runtuhnya komunisme internasional dan munculnya kambali sistem kapitalis maka dapat dengan tegas dikatakan bahwa teori Marxisme tidak terbukti dengan melihat realita bahwa momok kapitalis kembali muncul dan bahkan semakin meluas pahamnya. Marxisme pun dikatakan gagal karena pemikirannya tentang ’buruh’ dan ’tuan tanah’ hanya bertahan hingga revolusi komunis yang menyebabkan ekspansi gerakan sosialis-komunis ke seluruh dunia dan dengan sekejap muncullah negara-negara sosialis-komunis pada awal tahun 1900an.

Datangnya globalisasi yang semakin gencar menggaung pasca Perang Dingin dengan hadirnya Amerika sebagai negara adikuasa membuat kekuasaan komunis di dunia serasa tergerus oleh revolusi kapitalis (yang mirip terjadi pada revolusi borjuis dari sistem feodal menuju sistem kapitalis). Hal yang terjadi justru mengalahkan paham Marxis-Leninis dunia dimana kapitalisme globalisasi menghantui dunia hingga saat ini. Pemikiran kritis mengenai kegagalan ini segera di tangkap oleh Antonio Gramsci, seorang penganut sosialis Marxis yang kembali merekonstruksi ideologi Marx. Menurut Gramsci munculnya globalisasi yang sangat berkebalikan dengan ramalan Marx bahwa negara sosialis akan tumbuh di seluruh dunia dan menghancurkan kapitalis Barat pasca lahirnya negara-negara komunis justru diakibatkan karena deteriminisme ekonomi Marx yang memilih proletar industri sebagai kelas yang dianggap bisa mewakili revolusi buruh. Menurut Gramsci proletar dapat menjadi tidak revolusioner karena kaum borjuis mengontrol ide kaum proletar dengan memanipulasi kesadaran sosial mereka (ini disebut dengan hegemoni pemikiran). Akibatnya dalam masyarakat liberal yang demokratis perjuangan revolusioner akan menjadi lebih lama dan melibatkan ide-ide kebudayaan daripada sekedar perjuangan ekonomi dan politik (Pozzolini, 2006).

Berdasarkan penjelasan Gramsci di atas terbukalah jawaban mengapa Marxisme tetap tidak dapat membendung masuknya kembali ideologi ekonomi kapitalis dalam era globalisasi. Lenin pun angkat bicara dan meramalkan bahwa globalisasi adalah puncak dari keruntuhan ideologi kapitalis (Woodfin, 2008).

Masuk dalam pemikiran Lenin ini, penulis mencoba menalarkan kondisi globalisasi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi sosial ekonomi pada masa borjuis dan proletar Marx. Seperti yang sudah penulis ungkap sebelumnya adanya globalisasi ternyata membawa efek buruk pada negara kecil dan lemah yang tidak bisa mengendalikan pola globalisasi dunia karena keterbatasannya di bidang ekonomi dan teknologi. Hal ini akan membuat negara yang memiliki kekuatan kecil (dalam hal ini sering dikatakan sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga) akan hidup di bawah bayang-bayang negara maju. Kondisi ini sama seperti kondisi dimana negara dunia ketiga identik dengan kaum proletar sedangkan negara dunia pertama identik dengan negara maju yang umumnya adalah negara eksportir/ negara produsen. Realisasinya negara dunia ketiga hanya berfungsi sebagai pasar negara maju dimana negara dunia ketiga ’terpaksa’ untuk mengimpor komoditas negara maju. Gagasan Gramsci-Lenin kembali bermain di sini dimana menurut mereka revolusi akan terjadi pada era globalisasi ini.

Analisis di atas bisa saja benar atau salah. Menurut penulis sendiri analisis tersebut bisa saja salah dengan tetap langgengnya ideologi kapitalis di dunia ini. Hal ini penulis dasarkan dengan anggapan bahwa globalisasi tidak akan pernah terhenti dengan munculnya grup-grup ekonomi regional yang terintegrasi. Sebagaimana diketahui tujuan dari integrasi regional adalah memberikan benteng perlindungan bagi setiap negara yang turut di dalamnya untuk bersatu menghadapi globlisasi ekonomi. Terintegrasinya beberapa negara menjadi sebuah kesatuan justru akan memperkuat posisi negara tersebut. Walaupun nantinya konsep kedaulatan negara akan sedikit kacau karena integrasi membawa kepada kesatuan komunitas internasional yang penuh integrasi akan mampu menyeimbangkan posisi multipolar dunia sehingga berada pada posisi balance of power. Dalam posisi seperti ini penulis meyakini bahwa paham Post-Marxisme maupun Neo-Marxisme akan sulit untuk menembus dinding integrasi. 

C. Suatu kritik terhadap Marxisme II
Hegemoni 
Tafsir atas hegemoni Gramsci mengatakan hegemoni berarti “kepemimpinan moral dan filosofis”, kepemimpinan yang dicapai lewat persetujuan yang aktif kelompok-kelompok utama dalam suatu masyarakat (Bocock, 2007:1). Sedangkan Steve Jones memahami hegemoni Gramsci sebagai cultural and political leadership (Jones, 2006:3). Ditinjau dari istilahnya, kepemimpinan meluas pada arti proses/operasi, pembentukan/pengarahan. Sementara jika ditinjau dari ruangnya, hegemoni bekerja pada wilayah yang menyeluruh: moral, filosofi, budaya, dan politik. Dari ruang tersebut bisa dipahami bahwa hegemoni bekerja melalui instrumen-instrumen yang sangat masif, yaitu negara, modal, agama, pendidikan, media massa, dan lain sebagainya. 

Teori hegemoni Gramsci berangkat dari refleksi terhadap marxisme yang ekonomisme, yang memandang perekonomian –perekonomian adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dominan produksi dalam suatu wilayah dan waktu tertentu. Perekonomian terdiri dari sarana teknis produksi dan hubungan-hubungan sosial yang dibangun berdasarkan kepemilikan atas sarana produksi (lihat Bocock, 2007:34-35) –sebagai pusat terjadinya masalah sosial. Ketika masalah dalam perekonomian selesai, maka selesai pula masalah sosial. Gramsci melihat pandangan itu keliru. Menurutnya, apa yang terjadi pada kehidupan sosial tidak hanya karena pengaruh perekonomian, tetapi juga karena negara dan lembaga-lembaga masyarakat. Dengan kata lain, Gramsci ingin menekankan aspek lain yang tak kalah penting dari pemikiran Marx: politik. Gramsci melihat hegemoni tidak hanya terjadi pada kelas-kelas tertentu yang dibedakan berdasarkan ekonomi, tetapi juga pada masyarakat sipil yang jauh lebih kompleks. 

Gramsci terinspirasi pula oleh apa yang dilakukan Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) dalam usaha mendapatkan dukungan rakyatnya. Misalnya pada saat menghadapi Tsarisme. Lenin sadar dirinya harus mendapat dukungan sebagian besar rakyatnya agar dapat menggulingkan Tsarisme. Lenin kemudian memikirkan strategi untuk mencapai kesadaran para pekerja untuk beraliansi dengan kelompok-kelompok lain, yang di dalamnya termasuk kritikus borjuis, petani, dan intelektual. Kesadaran kelompok-kelompok ini bagi Lenin merupakan modal utama untuk menggulingkan Tsarisme. Lenin menyebarkan pengetahuan politik kepada para pekerja dan membaurkan para pengikut Partai Sosial Demokrat dengan segala kelas di masyarakat untuk mencapai kesadaran yang ia inginkan. Apa yang dilakukan Lenin itulah yang disebut Gramsci sebagai contoh hegemoni. Hegemoni beroperasi pada ranah suprastruktur. Oleh karena itu, seperti telah disampaikan di muka, hegemoni dicapai melalui persetujuan-persetujuan masyarakat, bukan dengan cara pemaksaan-pemaksaan fisik. 

Sampai di sini mungkin muncul pertanyaan tentang nilai hegemoni, mengingat hegemoni dicapai melalui persetujuan kelompok-kelompok utama dalam masyarakat. Persetujuan tidak mengandung makna negatif, tetapi justru sebaliknya. Suatu tindakan, aturan, atau kebijakan yang diambil berdasarkan persetujuan berarti baik. Dengan kata lain, hegemoni tidak berkonotasi negatif, karena ia dicapai melalui persetujuan. Jika muncul pernyataan demikian sebaiknya dipinggirkan terlebih dahulu. Ulasan soal strategi Lenin yang disampaikan di atas bisa ditinjau kembali. Dari ulasan tersebut bisa dipahami bahwa sesungguhnya persetujuan para pekerja terhadap Lenin adalah persetujuan semu. Artinya, persetujuan tidak dicapai secara murni oleh para pekerja sendiri. Ada kekuatan lain yang membentuk/mengarahkan sehingga tercapai persetujuan. Pada titik ini, hubungan dialogis yang menjadi poin krusial dari persetujuan perlu diragukan.

Dalam ulasan yang disampaikan oleh Bocock di atas, Lenin sadar betul dirinya mesti memberi pendidikan politik kepada para pekerja sebagai usaha memperoleh dukungan untuk menggulingkan Tsarisme. Ada tujuan dan ada kesadaran untuk membentuk/mengarahkan sehingga publik menyetujui. Lenin mengikat para pekerja dan kelompok-kelompok lainnya dalam satu ideologi dengan tujuan menghancurkan Tsarisme. Di sinilah hegemoni menunjukkan nilainya.

Melihat fenomena runtuhnya komunisme internasional dan munculnya kembali sistem kapitalis maka dapat dengan tegas dikatakan bahwa teori Marxisme tidak terbukti dengan melihat realita bahwa momok kapitalis kembali muncul dan bahkan semakin meluas pahamnya. Datangnya globalisasi yang semakin gencar menggaung pasca Perang Dingin dengan hadirnya Amerika sebagai negara adikuasa membuat kekuasaan komunis di dunia serasa tergerus oleh revolusi kapitalis (yang mirip terjadi pada revolusi borjuis dari sistem feodal menuju sistem kapitalis).

Hal yang terjadi justru mengalahkan paham Marxis-Leninis dunia dimana kapitalisme globalisasi menghantui dunia hingga saat ini. Pemikiran kritis mengenai kegagalan ini segera di tangkap oleh Antonio Gramsci, seorang penganut sosialis Marxis yang kembali merekonstruksi ideologi Marx. Menurut Gramsci munculnya globalisasi yang sangat berkebalikan dengan ramalan Marx bahwa negara sosialis akan tumbuh di seluruh dunia dan menghancurkan kapitalis Barat pasca lahirnya negara-negara komunis justru diakibatkan karena determinisme ekonomi Marx yang memilih proletar industri sebagai kelas yang dianggap bisa mewakili revolusi buruh. Menurut Gramsci proletar dapat menjadi tidak revolusioner karena kaum borjuis mengontrol ide kaum proletar dengan memanipulasi kesadaran sosial mereka (ini disebut dengan hegemoni pemikiran). Akibatnya dalam masyarakat liberal yang demokratis perjuangan revolusioner akan menjadi lebih lama dan melibatkan ide-ide kebudayaan daripada sekedar perjuangan ekonomi dan politik.

Berdasarkan penjelasan Gramsci di atas terbukalah jawaban mengapa Marxisme tetap tidak dapat membendung masuknya kembali ideologi ekonomi kapitalis dalam era globalisasi. Globalisasi ternyata membawa efek buruk pada negara kecil dan lemah yang tidak bisa mengendalikan pola globalisasi dunia karena keterbatasannya di bidang ekonomi dan teknologi. Hal ini akan membuat negara yang memiliki kekuatan kecil (dalam hal ini sering dikatakan sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga) akan hidup di bawah bayang-bayang negara maju. Kondisi ini sama seperti kondisi dimana negara dunia ketiga identik dengan kaum proletar sedangkan negara dunia pertama identik dengan negara maju yang umumnya adalah negara eksportir/ negara produsen. Realisasinya negara dunia ketiga hanya berfungsi sebagai pasar negara maju dimana negara dunia ketiga ’terpaksa’ untuk mengimpor komoditas negara maju.

Karya Gramsci banyak dipengaruhi berbagai bentuk ekonomisme, yang melibatkan suatu hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan historis yang mirip dengan hukum-hukum alam, mirip dengan kepercayaan dalam suatu teleologi seperti yang terdapat pada paham agama. Dalil dasar mengenai materialisme historis menyebutkan bahwa setiap fluktuasi politik dan ideologi dapat digambarkan dan diuraikan sebagai suatu ungkapan struktur, dan harus diuji dan dibuktikan berdasarkan pandangan Marx. 

Realitas terstruktur adalah teori yang cukup mengejutkan dari Louis Althusser, sekaligus kritik atas Marx yang menurutnya terlalu terpukau dengan klausul ekomoni sebagai faktor mekanisme terjadinya kekuasaan. Louis Althusser cukup berhasil menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk ideologi (ideologi di sini dalam arti negatif) disosialisasikan kepada masyarakat luas. Tapi, ada beberapa hal krusial yang membuat bagaimana mekanisme ideologi bisa tersebar luas dengan sangat efektif, yaitu teori hegemoni. 

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi ngetrend setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah: 

Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral. 

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. 

Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa . 

Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: 

Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni. 

John Storey menjelaskan konsep hegemoni untuk mengacu kepada proses sebagai berikut: 

…sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada. 

Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana kita bisa merasa rela saat ada orang lain membeli tanah sawah (tanah resapan), yang akan dibangun mall atau perumahan elit. Dan kita seerti merasa lumrah bicara seperti ini: “Ya wajarlah dia punya duit”.

Beberapa Catatan :
  • Apakah hanya bidang ekonomi yang menentukan ? Bukankah kepentingan politik dan cita-cita juga mempunyai dampak terhadap bidang ekonomi ? Berdasarkan apa Marx menyatakan bahwa, secara primer, kepentingan ekonomis menentukan kepentingan politis dan ideologis bukan sebaliknya ? Marx tidak menjawab pertanyaan itu, masalahnya bukan bahwa ia menegaskan pengaruh kekuasaan ekonomis atas kekuasaan politis serta cara berpikir masyarakat yang bersangkutan, melainkan bahwa bidang kenegaraan juga mempunyai dampak pada bidang ekonomi dan ideologis dan bahwa cara berpikir, beragama, apa yang dinilainya baik dan buruk, juga mempengaruhi bidang politik dan bahkan cara manusia berekonomi. Analisis Marx menjadi miring karena ia tanpa pendasaran apa pun mengesampingkan kemungkinan dampak timbal balik antara bidang-bidang itu, Marx sebenarnya mengakui bahwa bidang politis dan ideologis mempunyai dampak terhadap basis ekonomis, tetapi pengaruh itu hanya sekunder, bukan hanya ekonomi yang mempengaruhi politik dan kepercayaan manusia, tetapi politik dan kepercayaan manusia juga mempengaruhi bidang ekonomi.
  • Anggapan Marx bahwa bidang politik tidak perlu diberi banyak perhatian karena perkembangan-perkembangan yang menentukan terjadi dalam bidang ekonomi sekarang tidak dapat dipertahankan lagi, bahkan oleh orang Marxis sekalipun. Hampir di semua masyarakat pusat politik memainkan peranan penting.
  • Pandangan Marx tentang revolusi sosialis dan komunisme menimbulkan beberapa pertanyaan, yang pertama, apakah kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme memang niscaya akan membawa ke revolusi sosialis ? Yang tidak dipertimbangkan Marx adalah kemungkinan bahwa kaum kapitalis, untuk menjaga ketentraman dalam hubungan kerja dan untuk meningkatkan motivasi dan produktivitas kerja buruh-buruh, justru menaikkan upah dan memberikan lebih banyak fasilitas. Argumen bahwa kenaikan upah tidak mungkin karena ketatnya saingan tidak mengijinkannya melupakan bahwa produktivitas buruh dan ketenangan di tempat kerja, sama seperti persaingan, merupakan factor yang berpengaruh atas biaya produk, apabila menaikan upah dan memanusiakan kondisi-kondisi kerja meningkatkan motivasi kerja buruh, dua kebijakan itu justru akan menghemat banyak biaya karena produktivitas kerja buruh akan naik, kenyataan menunjukkan bahwa di semua Negara kapitalis upah buruh dan fasilitas lain terus meningkat, dan memang tak satu Negara kapitalis pun yang mengalami revolusi buruh.
  • Masalah penghapusan pembagian kerja, yang perlu kalau hak milik pribadi hendak dihapus dalam sosialisme, menyisahkan pertanyaan siapa yang mau membagi pekerjaan yang tidak enak, yang tidak pernah akan dilakukan secara sukarela tidak dijawab oleh Marx.
  • Konsentrasi dan akumulasi modal serta krisis-krisis kelebihan produksi memang terjadi, tetapi tidak mencapai titik kritis. Ramalan lain yang tidak terpenuhi adalah konsentrasi pada hanya dua kelas sosial saja, kelas kapitalis dan kelas buruh. Di Negara-negara industri modern terdapat kelas menengah yang kuat dan majemuk yang merupakan tulang belakang ekonomi Negara-negara tersebut.
BAGIAN KEDUA
A. Post-Marxisme 

Howarth menjelaskan bahwa terdapat empat cara dalam mendefinisikan Post-Marxisme. Pertama, mengacu kepada para pemikir yang terpengaruh oleh tulisan Marx, walaupun kategorisasi ini sangat luas dan memiliki sedikit nilai analitis. Kedua, mengacu kepada tulisan Marxis setelah Marx, walaupun konseptualisasi ini, sekali lagi, tidak berakti dalam mengklasifikasi pemikiran. Ketiga, mengarah kepada penulis yang secara eksplisit mengidentifikasikan diri mereka sebagai post-Marxist. Dan keempat, mengacu kepada representasi ideal untuk memperjuangkan Marxisme, meminjam istilah Derrida ‘a post-Marxism to come’ (3). Howarth menggunakan kombinasi definisi ketiga dan keempat untuk karakter post-Marxisme dalam tulisannya ini khususnya pada pengaruh tulisan dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe karena klaim mereka pada posisi post-Marxist dan penjelasan rasional mereka pada pilihan ini. 

Materialisme Radikal: Prioritas dalam Politik
Substansi dari pendekatan Laclau dan Mouffe berpusat pada dua kontradiksi utama dalam teori sosial Marxis. Mouffe menyarankan Marxisme untuk mengkontradiksikan apa yang mereka namakan  logika kebutuhan (logic of necessity) dan logika kemungkinan (logic of contingency). Bahwa proposisi Marxist tidak dapat dihindaru oleh kontradiksi antara kekuatan dan relasi dari produksi dan sistem ekonomi seperti kapitalisme yang memiliki hasil yang tidak dapat dihindari dan dapat ditemukan dengan objektif.  Walau begitu meskipun dua logika terdapat di dalam teori Marxist mereka tidak memiliki status yang sama. Laclau dan Mouffe berargumen bahwa tradisi Marxist telah secara sistematis mengistimewakan pendahulunya terhadap mereka yang muncul kemudian (the former over the latter).

Mereka meredefinisikan konsep antagonisme dan memberikan prioritas pada teori relasi sosial sebagaimana menetang ide Marxis akan kontradiksi ekonomi dan sumber dari antagonisme sosial. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dan tidak boleh ada satu agens tunggal dari perubahan sosial –kaum proletar– dengan tujuan menyingkirkan kapitalisme. Alih-alih mereka memungkinkan ide menggandakan posisi dan identitas, bahwa tidak ada yang dapat membuat klaim superior atas alam.

Mengenai keistimewaan gerakan sosial, Laclau dan Mouffe memperkenalkan ide demokrasi radikal. Dalam proyek ini, perjuangan melawan relasi kapitalis dalam produksi oleh kelas pekerja hanyalah satu aspek dalam perjuangan yang lebih luas. Perjuangan sosialis bukanlah fondasi dari politik demokrasi radikal, mereka hanyalah satu aspek penting dalam perjuangan melawan dominasi yang tidak demokratis dalam area produksi. Demokrasi radikal ala Laclau dan Mouffe terdiri dari tuntutan atas kebebasan dan kesetaraan dalam area yang lebih luas dalam masyarakat.

Dalam area politik, misalnya, terwujud dalam hak warga negara yang sama dan dalam area relasi sosial ekonomi terwujud lewat kondisi pekerjaan yang lebih baik, upah yang lebih tinggi, hak membentuk serikat pekerja dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan kolektif. Hal ini menurut Laclau dan Mouffe dapat menyatukan berbagai grup dalam masyarakat terlepas dari apapun perbedaannya mereka masih memiliki isu yang sama yaitu menuntut demokrasi dan menentang rezim anti-demokratik. 

Evaluasi Post Marxisme 
Howarth menjelaskan pada akhir babnya bahwa kunci dari bentuk Marxis adalah formasi sosial secara sejarah lewat kombinasi ekonomi dan aspek lainnya, masing-masing dari mereka memiliki makna dan logika yang relevan terhadap poin penting dalam sejarah. Kritik terhadap posisi Laclau dan Mouffe adalah hilangnya spesifikasi sejarah ini.  Walaupun mereka mengidentifikasi beberapa elemen didalam diskursu seperti faktor yang membentuk diskursus akan tetapi mereka tidak menspesifikasikan elemen apakah sebenarnya mereka. Terlepas dari pendekatan prularis Laclau dan Mouffe, Marxist seperti Ralph Milliband dan Nicos Poulantzas mengkritisi  mereka atas kegagalannya melihat beberapa kepentingan mendominasi proses pembentukan kebijakan. Pada akhirnya Howarth menekankan akan kemungkinan berkembangnya post-Marxisme, mengingat belum selesainya alternatif radikal dari teori Marxis Laclau dan Mouffe. Spesialisasi Howard terhadap pemikiran Laclau dan Mouffe membuatnya tidak menyebutkan pemikir post-Marxist lainnya seperti Louis Althusser degan teori ideologinya atau Faucault dengan pendapat ideology sebagai diskursusnya (4) 

Penulis pribadi mendukung teori demokrasi radikal dan penggandaan posisi dan identitas walaupun para Marxist kemudian menyerang cita-cita ini dengan klaim bahwa post-Marxist gagal mengidentifikasi krisis kapitalisme (stagnasi dan kepanikan finansial) dan kontradiksi sosisal (ketidak setaraan dan polarisasi sosial) dalam level nasional dan internasional yang berimbas pada fokus spesifik lokal mereka (5)

Dalam hal ini Laclau dan Mouffe menjawab: In our book we made reference to something that has been shown by numerous recent studies: namely, that the transition from absolute to relative surplus value, far from being the simple outcome of the internal logic of capital accumulation, is, to a large extent, the result of the efficacy of working-class struggles. (6) 

B. Konflik ideologi 
Ideologi sebagai keyakinan yang diperjuangkan, penganutnya rela berkorban  demi perjuangan ideologinya. Oleh sebab itu ideologi tidak pernah mati  sepanjang sejarah perkembangan masyarakat. Di dunia dewasa ini hanya ada dua idologi yaitu kapitalisme dan sosialisme. Dua ideologi itu konflik antagonis sepanjang masa. Dengan konflik itu melahirkan kemajuan ilmu sosial yang makin berkembang maju dan melahirkan berbagai paradigma baru. 

Kapitalisme 

Kapitalisme adalah suatu ideologi yang mengagungkan kapital milik perorangan atau milik sekelompok kecil masyarakat sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Kepemilikan kapital perorangan atau kepemilikan kapital oleh sekelompok kecil masyarakat adalah dewa di atas segala dewa, artinya semua yang ada di dunia ini harus dijadikan kapital perorangan atau kelompok kecil orang untuk memperoleh keuntungan melalui sistem kerja upahan, di mana kaum pekerja (buruh) sebagai produsen diperas, ditindas, dan dihisap oleh kaum kapitalis.

Bapak ideologi kapitalisme adalah Adam Smith dengan teorinya The Wealth of Nations yaitu kemakmuran bangsa-bansa akan tercapai melalui ekonomi persaingan bebas, artinya ekonomi yang  bebas dari campur tangan negara. Kemudian Ideologi kapitalisme diperbaharui dan dikembangkan  oleh Keynes dengan teorinya Campur Tangan Negara dalam Ekonomi khususnya dalam menciptakan kesempatan kerja, menetapkan tingkat suku bunga, tabungan, dan investasi,  W.W. Rostow dengan teorinya The Five Stage Scheme, Harrod-Domar dengan teorinya Tabungan dan Investasi, Mc Clelland dengan teorinya The Need for Achievement, Reagan dan Tacher dengan teorinya Neo-Liberalisme atau Globalisasi Pasar Bebas atau teori Kedalualatan Pasar Bebas. Pelaksanaan teori-teori tersebut di atas didukung oleh IMF (International Monetary Fund), World Bank, dan para konglomerat internasional. 

Sosialisme 
Sosialisme ialah suatu ideologi yang mengagungkan kapital milik bersama seluruh masyarakat atau milik negara sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Kepemilikan bersama kapital atau kepemilikan kapital oleh negara adalah dewa di atas segala dewa, artinya semua yang ada di dunia ini harus dijadikan capital bersama seluruh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan melalui sistem kerja sama, hasilnya untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama, dan distribusi hasil kerja berdasar prestasi kerja yang telah diberikan.

Ideologi sosialisme hakikatnya adalah menelanjangi keserakahan kapitalisme. Bapak ideologi   sosialisme adalah Karl Marx dengan teorinya Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis, dan Das Kapital. Kemudian ideologi sosialisme dikembangkan oleh Althusser dengan teorinya Strukturalisme, Antonio Gramsci dengan teorinya Hegemoni, Samir Amin dan Adre Gunder Frank dengan teorinya Ketergantungan, Max Hokreimer, Hebert Marcuse, Theodor W. Adorno dengan teori Kritisnya yang ingin membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan penghisapan, tetapi anti dogmatisme yang artinya Marxisme tidak boleh dijadikan dogma (keyakinan membuta). 

Post Modernisme dan Post Marxisme 
Kedua ideologi ini lahir karena kontradiksi antara kapitalisme dan sosialisme yang makin menajam. Mereka mencari jalan keluar, pemikir kapitalis mencari jalan keluar berupa Post Modernisme sedangkan pemikir sosialis mencari jalan keluar berupa  Post Marxisme. Kedua ideologi ini hakikatnya adalah revisionisme, mengaburkan paham kapitalisme dan sosialisme. 

Post Modernisme 
Post Modernisme ialah ideologi tentang hak untuk berbeda (The Right of Different) yang menolak penyelamatan manusia dari penghisapan manusia atas manusia yang dikumandangkan oleh ideologi sosialisme, dan menolak hegemoni dan dominasi kapital terhadap kehidupan manusia. Hakikatnya post modernisme menolak ideologi kanan (kapitalisme) dan ideologi kiri (sosialisme). Menurut George Ritzer (jurnal The American Sosilogist No 10, 1975 yang dikutip oleh Widodo Dwi Putro, Kompas, 23 September 2002), konfik kanan-kiri yang menang adalah kanan (kapitalisme) karena kapitalisme mempunyai kekuatan kapital dan kekuasaan politik.

Kemenangan kapitalisme atas sosialisme dewasa ini (akhir abad 20) dikukuhkan oleh tesis Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man, yang menjelaskan bahwa evolusi terakhir ideologi manusia adalah demokrasi liberal karena diterima diseluruh dunia dan menerima kapitalisme sebagai cara produksi yang paling efektif, produktif, dan efisien.

Selanjutnya Fukuyama menjelaskan bahwa dewasa ini kekuasaan tertinggi manusia adalah Konsumerisme karena ideologi inilah yang paling otoriter pada kehidupan manusia, dan ideologi ini disebut The Late Capitalisme (kapitalisme akhir). Kesadaran manusia tidak lagi dipersatukan oleh ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi oleh konsumerisme dan daya tarik gaya hidup; manusia tidak peduli pada ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi tertarik pada gaya hidup. 

Post Marxisme 
Post  Marxisme adalah ideologi kaum intelektual bekas kaum Marxist yang ingin memperbaiki nasib rakyat jelata melalui program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan bourjuis. Post-Marxisme berlawanan dengan Marxisme yaitu ideologi kaum buruh yang ingin memperbaiki nasibnya melalui suatu revolusi sosial.Dua ideologi itu memiliki sejarah yang berbeda.

Ideologi Marxisme, lahir  dari kesadaran kaum buruh untuk mengubah nasibnya dari penindasan dan penghisapan kaum kapitalis melalui revolusi sosial. Marxisme merupakan sejata idiil kaum buruh, dan buruh menjadi senjata materiil Marxisme. Di atas kemenangan revolusi sosial itu didirikan pemerintahan Demokrasi Rakyat kemudian berkembang menjadi Diktatur Proletariat yang mempunyai tugas utama memperbaiki nasib kaum buruh dan kaum miskin lainnya. Sedangkan ideologi Post-Marxisme, lahir dari bekas kaum Marxist yang mengkritik beberapa point teori Marx antara lain teori revolusi dan teori Negara Diktatur  Proletariat.

Di samping itu post marxisme lahir dari kekosongan posisi sosial pada saat perjuangan kelas pekerja (kaum kiri) mengalami kemunduran, dan lahir dari pengaruh kaum Neo-Liberalisme dengan tesis globalisme, di mana kesejahteraan sosial harus diatur oleh “Kedaulatan Pasar Bebas”. Dalam tesis globalisme, kapital, ilmu, teknologi, dan tenaga ahli adalah bebas mengarungi samudera dan bebas menjelajah ke pelosok penjuru dunia untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. 

Analisis 
Konflik ideologi antara kapitalisme dan sosialisme merupakan keharusan sejarah. Karena kapitalisme ingin mempertahankan pemilikan perorangan atas alat-alat produksi dan ingin mempertahankan penghisapan manusia atas manusia melalui sistem kerja upahan di mana besarnya upah ditentukan oleh pemilik kapital.

Sedangkan sosialisme ingin membebaskan manusia dari belenggu rantai penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa melalui revolusi di mana alat-alat produksi harus menjadi  milik bersama seluruh masyarakat, digunakan bersama, dan hasilnya untuk memenuhi kepentingan hidup bersama di bawah pengaturan negara.

Dalam kapitalisme, negara adalah pelayan kaum kapitalis. Negara harus membuat undang-undang untuk  melindungi kepemilikikan kapital kaum kapitalis. Di samping itu negara harus melaksanakan kebijakan politik yang melindungi dan menguntungkan kaum kapitalis. Sedangkan sosialisme, negara adalah pelayan rakyat. Negara harus membuat undang-undang untuk melindungi kepemilikan bersama seluruh masyarakat atas alat-alat produksi.

Di samping itu negara harus melaksanakan kebijakan politik yang melindungi  dan menguntungkan kaum pekerja (buruh). 

Tentang lahirnya paham baru post modernisme dan post marxisme yang dewasa ini sedang diminati oleh banyak pemikir, itu hakikatnya adalah revisionisme yang akan mengaburkan kesrakahan kapitalisme dan tesis revolusi sosial menuju sosialisme. Post modernisme dan post marxisme hanya “kembang pemikiran” yang sedang mekar tanpa didasari oleh kekuatan basis (sistem ekonomi). Oleh sebab itu kembang pemikiran tersebut akan segera layu dan berguguran.  Seperti tulisan Fukuyama, yang menjelaskan bahwa kapitalisme akhir adalah hegemoninya dan dominasinya konsumerisme, ia hanya melihat permukaan gejala sosial saja, ia tidak melihat hakikat dari gejala social tersebut. Demikian juga tentang post Marxisme, paradigma itu hanya sebagai “hiburan kaum intelektual kiri” saja yang tidak sabar menunggu datangnya revolusi sosial. Oleh sebab itu dengan lahirnya post marxisme, bukan berarti Marxisme sudah mati. Post Marxisme itu hanya aliran segelintir pemikir kiri yang menyimpang  dari Marxisme dan dapat  dipastikan tidak akan didengar oleh kaum pekerja (buruh), apalagi dijadikan senjata morilnya. Kaum pekerja  (buruh) di mana pun selama masih ada kapitalisme tetap akan menggunakan Marxisme sebagai senjata morilnya (senjata perjuangannya).

Post modernisme hakikatnya adalah paradigma “pemikir bingung”, karena landasan berpikirnya adalah pikiran itu sendiri, bukan kondisi riil kehidupan sosial. Oleh sebab itu paradigma post modernisme dapat dipastikan cenderung ke idealisme (pikiran yang melahirkan kondisi obyektif, bukan kondisi obyektif yang melahirkan pikiran). Baik post marxisme maupun post modernisme hanya sebagai buah pikiran berdasar pikiran, bukan buah pikiran berdasar kondisi obyektif kehidupan sosial, akhirnya keduanya akan ditelan dan hilang  oleh sejarah perkembangan masyarakat, karena hakikatnya sejarah adalah sejarah konflik kepentingan kehidupan riil (kehidupan ekonomi) antara golongan penguasa dengan golongan yang dikuasai, kemudian berkembang menjadi  konflik ideologi.

0 komentar:

Posting Komentar